Di platform-platform digital yang menjadi ruang tampil untuk webnovel, kerap dijumpai kasus di mana webnovel yang satu ceritanya mirip sekali dengan webnovel yang lain, dan keduanya tetap ditayangkan seolah-olah itu bukan masalah. Ini tentu saja aneh, seolah-olah semacam praktik untuk melanggengkan plagiarisme. Namun, kasus ini akan terlihat berbeda jika kita menggunakan sudut pandang para pelaku utama industri ini, yakni bahwa webnovel lebih cenderung dilihat sebagai produk industri alih-alih karya sastra.
Meski mungkin terdengar konyol, kenyataannya begitulah adanya. Sebuah webnovel, kendati ia meminjam bentuk novel, sejatinya bukanlah novel dalam pengertian yang selama ini kita tahu. Ia tidak didesain sebagai sebuah teks yang menuntut untuk dibedah dengan alat-alat sastra; tidak juga ia menuntut orisinalitas yang mengharuskannya, sebisa mungkin, benar-benar berbeda dari webnovel-webnovel lain. Tentu saja sampai taraf tertentu perbedaan itu pastilah ada, tapi sekadar untuk membedakannya saja dari webnovel-webnovel lain. Selama perbedaan ini ada, kemiripan bisa diterima, keserupaan diperbolehkan. Adapun kemiripan atau keserupaan ini sendiri bisa soal premis, konflik, hingga plot. Sebuah webnovel diperbolehkan begitu serupa dengan webnovel lain asalkan ia menawarkan sejumlah modifikasi yang menjadikannya cukup jauh berbeda dari webnovel rujukannya tersebut.
Sebagai contoh, katakanlah ada sebuah webnovel yang sedang bertengger di rank teratas buku-buku terlaris di sebuah platform digital. Inti ceritanya adalah soal seorang pria yang dulunya pernah berkarier dan berprestasi di militer hingga dia menjadi sosok legendaris di institusi atau organisasi militer yang dipimpinnya. Karena satu dan lain hal, selama bertahun-tahun dia menghilang. Ketika akhirnya dia muncul kembali di kota kelahirannya, sembari menyembunyikan identitas aslinya, dia berhadapan dengan tokoh-tokoh antagonis untuk kemudian membungkam mereka satu per satu. Konflik di sepanjang cerita berkisar di seputar kontras antara identitas aslinya sebagai sesosok Dewa Perang dan perlakuan buruk tokoh-tokoh antagonis yang tidak tahu dia siapa, juga bagaimana dia membungkam mereka dengan cara-cara yang memberi kepuasan maksimal kepada pembaca.
Seorang penulis, mendapati webnovel ini sukses di pasaran, mencoba menulis webnovel serupa. Premisnya kurang lebih sama, inti ceritanya juga sama, begitu juga konfliknya. Tapi si penulis melakukan sejumlah modifikasi penting terhadap tokoh-tokohnya, detail plotnya, juga bagaimana si tokoh utama pria membungkam tokoh-tokoh antagonis. Dengan cara seperti ini si penulis akan terhindar dari jebakan plagiarisme dalam dunia webnovel, terutama jika dia memasukkan elemen baru ke dalam webnovelnya itu–sesuatu yang tidak ada di karya rujukannya. Karya yang ditulisnya itu hanya akan disebut serupa dengan karya aslinya tetapi bukan jiplakannya. Si penulis akan aman, dan dia bahkan berpeluang besar mendapatkan pendapatan bulanan yang besar dari hasil penjualan bab-bab berbayar webnovelnya tersebut.
Mengapa bisa begitu? Itu karena, di dalam industri ini, sebuah webnovel pada dasarnya tak lebih dari sebuah produk industri yang, sampai taraf tertentu, boleh diproduksi ulang selama itu menguntungkan. Katakanlah ada sebuah minuman kemasan baru yang laris-manis penjualannya, dan industri menghendaki produk baru ini diproduksi ulang, secara massal, untuk kemudian ditawarkan ke pasar yang sama, demi mendulang keuntungan berlipat-lipat. Seperti itulah gambaran konkretnya. Dan dari sudut pandang para pelaku industri, hal ini bukan sebuah kesalahan, bukan pula sesuatu yang buruk. Mereka tinggal menentukan batas-batas yang jelas soal keserupaan yang diperbolehkan itu.
Sampai di sini, kedengarannya mungkin cukup logis, dan cukup adil. Tapi tentu saja logika berpikir ini memiliki celah. Dan salah satu celahnya, yang kerap membuat gusar dan geram para penulis dan pembaca, justru adalah soal klaim bahwa webnovel adalah produk industri. Oleh sebagian penulis dan pembaca, klaim ini dianggap sesat dan merusak.
Akar masalahnya terletak pada cara pandang konvensional bahwa sebuah cerita, termasuk yang berwujud novel, adalah karya sastra–paling tidak karya sastra populer kalaupun bukan karya sastra adiluhung. Cara pandang ini mengikat industri webnovel ke dalam semesta kesusastraan dan memaksa para pelaku industri tersebut untuk menggunakan standar-standar yang berlaku di dunia sastra, termasuk soal plagiarisme. Seorang penulis webnovel melancarkan protes sebab ia menemukan sebuah webnovel yang ditulis oleh penulis lain memiliki bab pembuka yang mirip dengan bab pembuka di webnovelnya. Seorang pembaca melontarkan keluhan bahwa di salah satu bab dari webnovel yang sedang dibacanya dia mendapati adegan yang nyaris sama dengan adegan di webnovel lain yang pernah dibacanya.
Kedua pihak, baik yang memandang webnovel sebagai produk industri maupun yang bersikukuh melihatnya sebagai karya sastra, bisa sama-sama mengemukakan argumentasi-argumentasi mereka dan semuanya itu bisa sama-sama kuat sekaligus sama-sama lemah. Itu karena posisi berdiri mereka berbeda; bahkan berseberangan, hingga taraf tertentu. Perlu ada negosiasi yang berkelanjutan dan konstruktif untuk bisa sampai pada titik temu, pada konsensus, supaya keresahan para penulis dan pembaca itu teratasi. Sayangnya, setidaknya selama 3 tahun pengalaman saya di industri ini, negosiasi semacam ini masih belum begitu diperhatikan, masih belum dianggap perlu oleh para pelaku industri. Sebuah arogansi yang berbahaya, tentu saja, sebab bukan tidak mungkin kelak ia akan berdampak buruk pada eksistensi industri webnovel di tanah air.
Tapi untuk sementara, kita kesampingkan dulu hal itu. Kembali ke klaim awal bahwa webnovel adalah produk industri, kita tentu bertanya-tanya apa fungsi utama webnovel, apa peran yang dimilikinya dalam kaitannya dengan relasi antara teks dan pembaca. Jelas, sebab ia bukanlah karya sastra, membangkitkan kesadaran dan menawarkan cara pandang baru bukanlah fungsi utamanya. Lantas apa? Apa fungsi utamanya?
Sebagai produk industri, webnovel diproduksi (dan selanjutnya dipasarkan) untuk memberi keuntungan terus-menerus bagi perusahaan, bagi para pelaku industri, sehingga fungsi utamanya adalah memenuhi ekspektasi pasar. Apa yang diinginkan pasar, ia harus memberikannya. Apa yang diharapkan pembaca, ia harus sebisa mungkin memenuhinya. Itulah kenapa seorang penulis webnovel diperbolehkan, bahkan didorong, untuk menulis webnovel yang menyerupai webnovel lain yang laris-manis di pasaran. Dengan melakukan itu, dia turut andil, secara aktif, dalam memenuhi ekspektasi pasar.
Semakin banyak webnovel yang didesain untuk bisa masuk ke pasar yang ada, semakin besar kemungkinan keuntungan yang akan didapatkan (termasuk oleh penulis), semakin positif dampaknya bagi pertumbuhan industri ini. Begitulah logikanya. Dalam hal ini, kejelian dalam melihat dan membaca pergerakan pasar menjadi sangat penting. Itu karena yang namanya pasar, sejatinya, tak pernah tetap, selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dan ketika pasar webnovel di tanah air mengalami perubahan, para pelaku industrinya, termasuk para penulis, dihadapkan pada tuntutan spesifik lain mengenai webnovel seperti apa yang sebaiknya mereka buat, dan pasarkan. Keberlangsungan industri ini sangat bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan efisien dengan perubahan pasar yang bisa terjadi kapan saja.(*)