“Kalau engkau mau mencari Allah, belajarlah dari Iblis. Edan, novel macam apa ini? Maaf aku tidak bisa melanjutkannya.”
“Lho, kenapa? Sudah lanjutin aja bacanya.”
“TIDAK.”
Sekonyong-konyong aku marah padanya. Kok bisa-bisanya ada pengarang yang menuliskannya begitu? masa iya mencari Allah harus belajar kepada Iblis. Gila.
“Maaf ya aku tidak bisa melanjutkannya.”
Sial, sial, sial! mengapa aku membentak pelangganku? Tapi aneh, mengapa Kanzan tersenyum pada waktu itu?
“Hehe. Ya sudah aku tidak bisa memaksamu. Tapi aku tadi liat kamu marah, manis betul. Dan sialnya kelelakianku mulai merongrong. Jadi aku rasa aku harus pergi sekarang, walau belum 3 jam. Tak apa. Sampai jumpa!”
Dia pergi, aku hanya diam saja tidak bisa menahannya. Bodohnya aku. Lama aku terdiam, setelah tersadar aku langsung berlari ke bawah, memohon maaf pada Mak kalau aku tidak bisa memuaskan pelanggan. Aku menangis waktu itu, takut dimarahi Mak. Tapi Mak heran, kenapa aku menangis.
“Lho, kok menangis? Ini ada titipan dari mas mas yang tadi. Oh iya katanya tadi, dia sangat puas sama pelayanan kamu Ra.”
Apa? Puas? Hah, bagaimana bisa dia mengatakan puas pada pelayananku? Pertama, malam itu aku tidak melakukan pekerjaan ku seperti biasanya dan aku hanya diminta membacakan cerita, tapi itupun aku menolak. Bagaimana bisa itu dikatakan puas?
Aku membuka titipin yang Kanzan berikan pada Mak. Secarik kertas berisikan tulisan,
Oh iya, tadi kita tidak sempat saling berkenalan. Namaku Kanzan. Kanzan Makhfiyan. Namamu Lyra kan? Ibu tadi memberitahuku. Terima kasih, semoga kita bisa bertemu kembali.
Darisanalah aku mengetahui nama Kanzan pertama kali.
Malam itu aku merasa bahagia. Dan merasa beruntung dipertemukan dengan Kanzan. Semenjak malam itulah aku berharap dia selalu mendatangiku kembali. Beruntung, Ia mau menemuiku kembali sampai sekarang dan aku sangat senang dengan kedekatan kami berdua.
***
Kanzan tidak langsung membawaku pulang ke Gang Nikmat, ia membawaku mengunjungi coffeeshop milik kawannya terlebih dulu. Memang waktu masih menunjukkan pukul 17.00 dan aku tidak keberatan. Tapi aku meminta nya jangan terlalu lama kita di coffeeshop, aku harus sudah berada di rumah jam 19.00 dan Kanzan mengiyakan.
“Wah hebat euy kamu mah Zan, anyar deui wae.”
“Hush. Sudah sudah. Dol, ini Lyra dan Lyra, ini Bodol.” Kanzan mengajakku berkenalan dengan temannya.
Kami bertiga mengobrol santai. Dari mengobrol itu barulah aku mengetahui seluk beluk Kanzan yang tidak pernah Ia ceritakan padaku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 Kanzan menepati janjinya untuk pulang. Kami berdua pamitan.
Dalam perjalanan menuju Gang Nikmat, hujan turun sangat deras. Mau tak mau kami harus menunggu dulu hujan reda. Kami berhenti memilih berteduh terlebih dulu daripada memaksakan melanjutkan perjalanan.
Handphone di dalam tasku berdering. Panggilan telepon dari Ratu. Aku angkat panggilan tersebut. Terdengar suara tangis dari telepon.
“Halooo Ca. Iya ada apa, kamu kenapa nangis?”
“Ra, kamu lagi ada di mana? Cepet pulang ya.”
“Ini aku lagi bareng Kanzan, dalam perjalanan pulang. Tapi ini hujan besar, kami berteduh dulu. Ini kami di Pertigaan Legok.”
“Ya sudah kalau bisa cepat pulang ya, hati hati”
“Iyah Ca, tapi kenapa? Ada apa Ca? Kenapa kamu nangis?”
Tut. Tut. Tut. Telepon dimatikan oleh Bianca. Dalam hati aku bertanya apa yang terjadi. Aku meminta Kanzan untuk melanjutkan perjalanan.
“Tunggu sebentar lagi, ya. Masih deras ini hujannya.”
“Tidak, pokoknya kita harus lanjut. Paling sekitar 10 menitan perjalanan kok gak jauh. Gapapa kita hujan-hujanan”
“Ra, tunggu sebentar saja. Takut nanti kamu sakit, kalau nanti kamu sakit bagaimana aku menaruh muka dihadapan Mak?”
“Berangkat sekarang atau aku pakai ojek saja?”
“Ah Raaaa. Ya sudah hayuk.”
Derasnya hujan kami terobos. Basah kuyup memang, tapi tak apa. Sebab kata hatiku, aku harus cepat pulang. Benar, tidak sampai 10 menit kami sampai di Gang Nikmat.
Sesampainya di Gang Nikmat, aku menyaksikan pemandangan yang aneh. Kenapa rumah Mak begitu ramai. Ada apa gerangan. Orang-orang yang ada di sana aku tanyai, tapi tak seorang pun menjawab.
Sampai rumah, aku disambut tangisan Bianca.