Bagaimana jika semasa hidupnya yang terlihat, hanya ada kemungkaran saja mengisi tiap harinya?
Bagaimana jika semasa hidupnya diisi oleh transaksi jual beli yang di mata kita yang hanya melihat satu sisi saja itu menjijikkan?
Dan kita yang hanya mengetahui sebatas kulit saja dengan entengnya kita menilai “bahan bakar neraka”?
Tersebutlah Ia Minati. Perempuan berusia 60 tahunan. Mereka menyebutnya germo penguasa Gang Nikmat yang terkenal di seantero kota M. Gang yang kebanyakan penghuninya adalah perempuan, dan beberapa dari mereka menjajakan kemolekan tubuhnya.
Ya, betul tebakanmu. Mereka pelacur atau
ublag atau
ungkluk dalam bahasa Sunda. Entah sejak kapan Gang Nikmat menjadi daerah pelacuran yang begitu terkenal, tapi menurut beberapa penuturan salah satu penghuni disana, semenjak Mak Minati datang dan menetap di Gang Nikmat tersebut.
Semua penghuni gang nikmat memanggilnya Mak. Dari yang tua sampai yang muda, bahkan anak anak kecil disana juga ikut memanggilnya Mak.
Empat tahun sudah Mak tidak melayani tamu yang datang. Melayani hubungan badan, tapi jika ada yang ingin bertemu dengan nyahanya sekedar mengobrol atau bertukar pikiran, Ia akan melayaninya. Jika kau mengira bahwa seorang germo hanya tau uang dan selangkangan saja, kau salah kira.
Suatu hari di sore yang dingin, Mak memintaku untuk menemaninya di taman belakang rumah. Mak sore itu terlihat berbeda. Ia mengenakan pakaian serba putih, dan sepertinya pakaian yg ia kenakan baru. Entah baru pertama kali aku melihatnya atau memang itu pakaian baru yang dibelinya.
“Lyra, siapa pemuda yang sering datang ke sini dan selalu memilihmu?”
“Namanya Kanzan, Mak”
“Kanzan. Apakah kau menyukainya?”
“…..tidak Mak.”
“Kamu masih sama seperti pertama kali datang ke sini, Nak. Tidak pandai berbohong. Itulah sifat yang Mak suka darimu.”
“Lyra. Walau kau bukan darah dagingku sendiri, tapi aku sudah menganggapmu sebagai anakku. Sudah pantas kiranya jika seorang Ibu berwasiat kepada anaknya. Nak, jika nanti kelak aku mati. Tolong kau sampaikan pada orang-orang yg ikut mengantarku ke tempat pemakaman dan juga orang orang yang mengiringi jenazahku. Ketika mereka mengangkat jenazahku, ucapkanlah dari lisan mereka bahwa aku perempuan baik-baik, penyayang kaum terpinggirkan, dan orang yang selalu berderma. Itu saja.”
Percakapan itu selesai dan aku masih terdiam dibangku yang aku duduki. Mak sudah beranjak masuk kedalam rumah. Dalam hati aku berucap “Apakah ini saat-saat terakhirku bersama dengan Mak?”
***
Kami di Gang Nikmat ini mempunyai waktu libur, tidak banyak. Dua malam dalam satu bulan. Waktu libur itu kami bisa gunakan untuk apa saja. Ada yang hanya beristirahat saja tidak ke mana mana dan ada juga yang berlibur barang mencari udara segar. Seperti menonton bioskop di pusat kota atau barang hanya menikmati seduhan kopi yang disajikan barista, lagi-lagi di pusat kota. Tapi kami mempunyai aturan, ketika waktu libur, jam 12 malam semua yang ada di rumah harus berkumpul.
Di Gang Nikmat, ada 6 rumah yang menyediakan jasa kenikmatan. Rumah Mak satu diantaranya. Di rumah ini aku tumbuh besar menjadi seorang pelacur yang dididik langsung olehnya. Total semua perempuan yg bekerja di rumah ini ada 12, termasuk denganku.
Hari ini aku mengambil jatah libur. Rencananya aku akan pergi menonton bioskop di pusat kota bersama Kanzan. Setiap ke luar ke manapun, aku selalu diizinkan oleh Mak. Asal jelas hendak pergi ke mana dan dengan siapa.
“Mak malam nanti aku mau pergi menonton bioskop dengan Kanzan, bolehkan?”
“Mak perhatikan sudah 3 kali ini Kanzan mengajakmu menonton bioskop, Ra”
“Tidak Ma, kali ini Lyra yang mengajak Kanzan menonton.”
“Oh, ya sudah, hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu malam. Mak Malam ini ingin tidur ditemani Lyra, boleh?”
“Baik Mak, boleh.”
Kanzan menjemputku hari ini. Ia langsung menemui Mak dan meminta izin darinya.
“Mak, malam ini aku ajak Lyra menonton yah, boleh?”
Mak mengangguk dan tersenyum tanda setuju. Senyuman Mak sangat manis sekali. Dalam hati aku berucap syukur, sebab dipertemukan dengan Mak.
Berangkatlah kami menuju pusat kota. Jarak tempuh normal dari gang nikmat lima puluh menit dengan berkendara sepeda motor. Kanzan tidak pernah ngebut, Ia selalu konsisten di kecepatan 40km/jam.
Kadang aku kesal dia begitu pelan mengendarai motor. Tapi semenjak mengetahui alasan dia mengapa, aku menjadi makin suka.
“Mengapa aku selalu pelan berkendara waktu bareng kamu, sebab aku ingin menikmati tiap menitnya.”
Di tengah perjalanan dia meminta izin padaku untuk melaksanakan salat terlebih dulu. Lalu berhentilah kami di salah satu masjid.
“Aku tunggu di sini aja, ya. Di atas motor”
“Loh, kenapa? sudah masuk saja Ra, ayok.”
Entah mengapa aku tidak bisa menolaknya. Ini kali kedua aku diajaknya masuk masjid. Pada saat pertama kali aku menolak ajakan Kanzan untuk menunggunya di dalam masjid, aku menunggunya di atas motor. Mengapa aku menolaknya, sebab aku merasa tak pantas untuk menginjakkan kaki di masjid, kau tau kan aku seorang pelacur? Pada saat itu Kanzan tidak memaksaku. Ia orang yang tidak pernah memaksa.
Setelahnya Kanzan selesai melaksanakan salat, kami berdua kembali melanjutkan perjalanan ke pusat kota. Menonton film di bioskop.
Pertemuan pertamaku dengan Kanzan terjadi tahun lalu. Ia datang ke Gang Nikmat pertama kalinya sewaktu hujan deras mengguyur kota M selama 3 hari 3 malam. Aku ingat betul bagaimana Ia memasuki rumah Mak, memilih perempuan mana yang akan Ia ajak tidur. Raut muka yang akan selalu aku ingat, sorot mata yang selalu aku simpan dalam ingatan. Malam itu, entah mengapa aku sangat berharap Kanzan lah yang akan memilihku. Aku tau betul aku bukan pilihan pertama di rumah Mak, bisa dibilang aku pilihan ketiga atau keempat. Pilihan pertama rumah ini, kalau tidak Ratu, ya Bianca.
Doaku terkabul, Kanzan memilihku. Aku membimbingnya perlahan menuju kamar. Entah mengapa aku sangat girang. Sesampainya di kamar, aku langsung melepas seluruh pakaian ku, menyisakan pakaian dalam saja.
“Ayok aku sudah siap, mau mulai dari mana?”
“Mengapa kamu langsung melepas baju?”
“Sudah SOP nya begini”
“Mengapa sepasang pakaian dalammu berwarna hijau? Suka dengan warna hijau?”
“Iya.”
“Mengapa tidak dengan merah marun atau hitam?”
“Ada, yang kamu sebutkan tadi aku punya juga kok”
“Tapi mengapa hari ini kamu memakai warna hijau?”
“Mau saja”
“Kenapa mau?”
“Ya mau saja. Ah kenapa sih, ribet. Jadi mau tidur?”
“Loh kok tidur? Aku sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit tapi kamu menyuruhku untuk tidur? enak aja, ngga mau.”
“Iyah maksudku kita bersetubuh”
“Loh kata siapa juga aku mau bersetubuh sama kamu?”
“Yavsudah, kamu maunya apa?”
“Aku mau kamu membacakan aku cerita, kita hanya punya waktu 3 jam. Tapi sebelumnya kamu pakai dulu kaos untuk menutupi payudaramu. Sejujurnya aku tidak tahan melihatmu, tapi malam ini aku tidak mau melakukannya”
“Yavsudah ok”
Kanzan mengambil buku dari tas nya lalu menyerahkannya padaku. Aku melihat cover buku itu bergambar wayang, tapi aku tidak tau itu tokoh wyang siapa namanya.
“Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu? Ini Novel?”
“Iya judul novelnya itu. Dan itu adalah ajaran yang tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, dulu Rahwana
khatam belajar itu. Rahwana loh yah.”
“Iya iya, sejujurnya aku tidak tertarik. Jadi aku harus membacakan novel ini dari awal?”
“
Yep, betul. Silakan”
Aku membuka novel itu, rasanya aneh. Ada seorang lelaki yang mendatangi rumah pelacuran hanya untuk memintanya membacakan novel. Edan. Momen pertama membacanya aku kaget.