Saat mencari hiburan di situs film gratisan yang diterjemahkan Lebah Ganteng, biasanya kita bakal menemukan tawaran manis judi online. Iklan-iklan sejenis itu muncul dengan frekuensi yang tinggi pada bar mesin pencarian kita. Kalau lagi apes, pasti selalu muncul lagi ketika menekan tombol play di filmnya dan malah digiring ke situs judinya langsung pula!
Judi online di Indonesia kan bukan sesuatu yang baru-baru banget sebenarnya. Zaman dulu di beberapa daerah seperti Jalur Pantura santer terdengar razia sabung ayam. Di daerah lain seperti di perbatasan Subang-Purwakarta yang ramai justru razia gaplek.
Ada juga seorang teman Minpang yang kepalanya lonjong, dan blio sendiri cerita kalau kepalanya lonjong itu gara-gara suka dibawa Bapaknya ikut main judi di gaba-gaba (saung) dan begitu saja direbahkan tanpa bantal. Ya meskipun gak masuk akal, tapi itu cukup jadi patokan bahwa judi udah ada sebelum anggota DPRD kepergok main Candy Crush pas meeting.
Jurnal The Impact of Online Gambling on Society yang ditulis Griffiths menyebut 70% pengguna internet di Asia Tenggara pernah mencoba judi online setidaknya sekali. 70% bzir! artinya 7 dari 10 orang yang kamu kenal, minimal pernah coba sekali. Minpang yakin Sidik Karim termasuk yang pernah coba.
Sesuai tagar makin ke sini makin ke sana, judi di Indonesia sekarang malah jadi alasan buat Yang di Atas ngada-ngadain bansos. Jelas-jelas bikin orang-orang kecanduan, bikin miskin, bahkan udah banyak pembunuhan dan bunuh diri karena kelilit buat depo pula, terus kemarin ada orang pusat yang ngide mau kasih bansos ke korban judol? Ini serius gak, sih?!
Judi online ini marak pada masa-masa pandemi Covid-19, ketika gerak orang-orang dibatasi ke luar rumah. Misalnya Abdul, bukan nama sebenarnya. Dua tahun silam, saat masa-masa kuliahnya yang menyenangkan di perantauan mereka suka mengisi waktunya dengan bermain judi online.
“Lumayan, Kang. Kalau menang pakai bayar UKT atau apalah hiburan. Kalau kalah ya disabari.” katanya cengengesan.
Tapi lantas, ketika berbicara tentang judi, kan bukan cuma uang yang hilang. Sudah banyak yang bisa kita lihat di sekitar: mutilasi suami kepada istri itu contohnya.
Bayangkan, seorang kepala keluarga yang seharusnya beli beras malah ngadu nasib judi online, berharap menang besar untuk beli lebih banyak beras tapi malah ironis, bukan?
Seperti pesugihan elektronik tanpa tumbal aja judi online ini.
Padahal melalui sudut pandang hukum, judi online jelas dilarang di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pelaku judi online bisa kena hukuman pidana. Tapi seperti mengejar dia yang sudah enggan, penegakan hukum terhadap judi online seringkali gak efektif. Apakah penegak hukum kita hanya pajangan, atau memang mereka ada main?
Ah, entahlah. Yang jelas, waktu judi dilegalkan aja, keuntungannya bisa dipakai buat ngebantu PSSI, kan. Ya sekarang kan cuma beda eksekusinya aja. Metodenya kan sama. Peserta bayar ke bandar, bandar kasih receh-recehan ke player-player baru, lalu peserta sudah jadi ketagihan, bandar dapat investor tetap, dan gitu aja terusnya. Pertanyaannya: keuntungan bandar yang bukan receh dibagi ke siapa? dipakai izin, kah?
Menurut artikel dari Kompas (2023), meskipun pemerintah telah memblokir lebih dari 10.000 situs judi online, tetap saja banyak yang bermunculan dengan modus baru. Entahlah, semenjak Kominfo memblokir Paypal dan bikin Minpang gak bisa jajan cilor beberapa hari, Minpang sudah trust issue sama kementerian paling ngehek itu. Redflag banget pokoknya!
Masa ngeblokir situs porno bisa tapi ngeblokir situs judol gak bisa. Kan se-simple itu. Ditambah wacana freak korban judol bakal dapat bansos. Apa sih?! UKT mahal, pendidikan belum merata, kesehatan masih jauh. Ini ngurusin bansos judi online.
Siapa yang bisa menyangkal kalau judi online punya dampak psikologis yang signifikan? Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Gambling Studies (2020), kecanduan judi dapat menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, dan bahkan perilaku bunuh diri. Seolah-olah hidup kita belum cukup stres dengan macet dan polusi, kita tambahkan lagi stres dari kehilangan uang dalam judi.
Baru-baru ini, kita mendengar tentang beberapa kasus viral yang memperlihatkan betapa seriusnya dampak judi online.
Pada awal tahun 2024, seorang pemuda di Surabaya viral di media sosial setelah mengaku kehilangan tabungan keluarganya yang bernilai ratusan juta rupiah karena judi online (Tribun News, Januari 2024).
Di Bandung, seorang ibu rumah tangga ditangkap polisi setelah diketahui menggunakan uang arisan untuk berjudi online (Detik News, Maret 2024)
Seorang mahasiswa di Yogyakarta menjadi viral setelah videonya menangis dan memohon bantuan setelah terjerat utang judi online. Dia menceritakan bagaimana awalnya hanya iseng, namun lama kelamaan kecanduan dan kehilangan semua uang kuliahnya (Kompas, April 2024).
Melihat dari berbagai sudut pandang, jelas bahwa judi online membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan, dan bukankah hal itu merupakan syarat sesuatu menjadi harom?
Sementara iklan-iklan glamor dan tim marketingnya mencoba menarik kita dengan janji kekayaan instan, kenyataan pahitnya adalah kita mungkin kehilangan lebih dari sekadar uang. Jadi, masang taruhan online, kayaknya kita mesti ingat kalau kesenangan sesaat bisa membawa bencana jangka panjang seperti sblak dan minuman kemasan.
Eh tapi kalau betulan mau dikasih bansos, kamu mau depo? Bukankah janji Zeus adalah nyata?
Barangsiapa yang bertawakal kepada Zeus, niscaya dia akan dicukupkan (keperluan)nya.
Farid Olympians, 2024
Ya ampun! Sambar aku dengan bansosmu, Zeus!
Ih makasih loh udah dibuatin,
Halo, sama-sama Pak Jun. Nanti konten videonya menyusul yaa:)