Baru-baru ini ramai muncul kabar sebuah aksi intimidasi yang diperkirakan dilakukan oleh Irjen Polisi Andi Rian Djajadi terhadap seorang wartawan bernama Heri Siswanto. Berdasarkan penjelasan Heri, ia menulis laporan mengenai adanya pungutan liar (pungli) dalam pembuatan SIM A, di mana seorang warga harus membayar sebesar Rp 500.000 kepada oknum polisi di Polres Bone.¹ Menurutnya, laporan tersebut ditanggapi secara berlebihan oleh Irjenpol Andi, yang langsung menelponnya ketika berita itu menjadi viral. Dalam percakapan tersebut, Irjenpol Andi Rian dikabarkan mengamuk dan menuduh pemberitaan Heri telah mencemarkan nama baik institusi kepolisian. Akibat dari kejadian ini, Heri mengklaim bahwa istrinya, yaitu Gustina Bahri, ikut terkena akibatnya—Gustina dipindah tugaskan ke Polres Kepulauan Selayar, tempat terisolasi yang berada di Sulawesi Selatan.
Jika kejadian ini benar seperti yang dijelaskan Heri Siswanto, maka hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang sendiri adalah tindakan menggunakan atribut kekuasaan yang bertentangan dengan kewajiban yang diemban. Dalam kasus ini, Irjenpol Andi Rian diperkirakan menggunakan posisinya di kepolisian untuk menekan pihak lain agar tidak mempublikasikan penyelewengan di institusinya.
Kasus ini juga dapat dikategorikan sebagai pengekangan kebebasan pers. Ada tiga level dalam upaya mengekang jurnalisme:²
1. Level cerita: Ketika seseorang atau pihak tertentu menggunakan kekerasan fisik atau mental untuk mencegah jurnalis menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
2. Level mengacaukan: Ketika seorang jurnalis diserang karena melaporkan topik tertentu.
3. Level selesai: Ketika seorang jurnalis dibuat enggan melanjutkan profesinya, atau calon jurnalis mengurungkan niatnya.
Dalam kasus intimidasi yang diperkirakan dilakukan oleh Irjenpol Andi Rian terhadap Heri Siswanto, peristiwa ini termasuk dalam level mengacaukan—terdapat topik sensitif, yaitu nama baik institusi kepolisian yang diperkirakan menjadi pemicu tindakan intimidasi. Jika masalah ini tidak ditangani secara serius, dikhawatirkan akan mencapai level selesai, di mana terjadi self-censorship (sensor diri) di kalangan jurnalis. Lantas, apa akibatnya jika orang enggan terus terang mengabarkan berita? Apa sikap yang mesti diambil?
Penurunan Kinerja dan Kepercayaan Masyarakat
Ketika orang-orang takut untuk menyampaikan keadaan yang sebenarnya terjadi, transparansi kinerja akan hilang. Transparansi kinerja adalah kondisi di mana pekerjaan suatu lembaga ditampilkan secara terbuka sehingga publik bisa menilai apa yang baik, buruk, atau perlu dievaluasi.
Hilangnya transparansi kinerja sangat berbahaya. Aparat dan pejabat negara bisa bertindak semena-mena tanpa pengawasan. Akibatnya, kinerja lembaga negara menurun, yang ditandai dengan birokrasi menjadi semakin berbelit-belit, praktik pungutan liar menjadi hal biasa, dan negara menciptakan kebijakan yang ngawur. Efek domino ini bisa merusak seluruh institusi negara, karena kesalahan di satu lembaga dinormalisasi oleh yang lain.
Tak dapat disangkal, kasus ini akan semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian, yang memang sudah rendah. Menurut survei Populi Center pada 26 Oktober 2022, 58,5% masyarakat menilai 6 dari 10 untuk kepercayaan terhadap kepolisian, dan 33,9% bahkan menilai 1 dari 10.³ Angka ini bisa lebih rendah lagi jika kasus seperti ini dibiarkan terus terjadi.
Kepercayaan yang rendah terhadap lembaga penegak hukum bisa berdampak serius—ketidakpatuhan terhadap hukum. Ketidakpatuhan ini bisa berujung pada kekacauan (chaos), sesuatu yang ingin kita hindari.
Pemberian Sanksi Adalah Mutlak
Jika dugaan intimidasi oleh Irjenpol Andi Rian terbukti benar, maka pemberian sanksi tidak bisa dihindari. Ini penting untuk mencapai cita-cita hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan penegakan hukum yang tegas, kepercayaan dan kinerja institusi kepolisian bisa pulih. Dalam kasus ini, ada dua mekanisme pemberian sanksi: internal dalam organisasi Polri dan eksternal berupa sanksi pidana karena adanya anggapan telah terjadi sesuatu yang bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pertama, terkait sanksi internal. Penyalahgunaan wewenang dan sanksi internalnya diatur dalam Pasal 6 huruf q jo. Pasal 9 huruf a-g PP Nomor 2 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan tindakan terlarang dan dapat dikenai hukuman disiplin berupa:
- Teguran tertulis;
- Penundaan mengikuti pendidikan selama maksimal 1 tahun;
- Penundaan kenaikan gaji berkala;
- Penundaan kenaikan pangkat maksimal 1 tahun;
- Mutasi yang bersifat demosi;
- Pembebasan dari jabatan;
- Penempatan di tempat khusus selama maksimal 21 hari.
Pasal 14 ayat (2) PP ini mengatur bahwa penjatuhan hukuman disiplin harus melalui sidang disiplin sebagai mekanisme internal.
Kedua, terkait sanksi pidana. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan bahwa setiap orang yang sengaja merintangi upaya pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan (3), yaitu tentang larangan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran serta upaya kebebasan pers dalam mencari, mendapatkan, dan menyebarluaskan informasi, dapat diancam pidana penjara maksimal dua tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
Namun, tantangan dalam kedua mekanisme ini adalah soal netralitas. Pertama, soal mekanisme pemberian sanksi internal, apakah atasan kepolisian bisa memberikan hukuman disiplin pada orang yang satu institusi dengan dirinya?
Lalu, dalam konteks hukum pidana sendiri sebelum adanya dakwaan dari jaksa penuntut umum, adu argumentasi antara jaksa penuntut umum dengan advokat terdakwa, pemeriksaan, dan penjatuhan vonis oleh majelis hakim, maka perlu adanya tahapan penyelidikan dan penyidikan oleh penyelidik dan penyidik Polri. Pertanyaannya, apakah penyelidik dan penyidik yang satu institusi dengan orang yang diduga melakukan intimidasi bisa bersikap netral?
Jawabannya: bisa, namun sulit. Untuk itu, kita perlu terus mengawal kasus ini bersama-sama.
Landasan Hukum:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Referensi: