
Pernahkah kita berpikir, apa yang sebenarnya membedakan teman dan pasangan? Sebagian orang mungkin menjawab, “status”.
Tapi, apa itu “status” sebenarnya? Apakah status itu menunjukkan seberapa “dekat” kamu dengan seseorang? Atau apakah status itu menunjukkan seberapa “berharga” kamu di mata seseorang?
Atau jangan-jangan status itu hanya sebatas validasi identitas, semacam tanda pengenal yang dipasang untuk orang lain agar tahu posisi kita di kehidupan seseorang?
Lalu, validasi identitas? Untuk apa? Tentunya, untuk bisa mengakses “level selanjutnya” dari tingkatan hubungan. Kita sering menyebutnya sebagai “kemajuan hubungan”. Tapi, apakah “kemajuan hubungan” itu selalu berarti kedekatan yang lebih dalam? “Level selanjutnya” yang seperti apa?
Sebagai contoh, jika kamu hanya sebatas “kenal” dengan seseorang dan tidak menganggapnya sebagai “teman”, maka kamu tidak memiliki urgensi untuk membantunya ketika dia kesulitan. Kamu juga tidak bisa, atau mungkin tidak berhak meminta bantuannya ketika kamu sendiri kesulitan. Ada semacam batas tak kasat mata, untuk bisa meminta bantuannya, kamu harus “berteman” dengannya, saling menganggap “teman” satu sama lain agar hubungan itu memiliki nilai tukar emosional. Barulah di titik itu, ada semacam kesepakatan tak tertulis: “Aku temanmu, maka aku bisa meminta bantuan darimu, dan sebaliknya.”
Contoh lainnya, ketika kamu berstatus sebagai “pasangan” seseorang, maka kamu bisa “meminta” sesuatu atau “memberikan” sesuatu yang lebih untuk pasanganmu. Hal-hal itu tidak akan, dan memang tidak seharusnya, kamu berikan kepada orang yang kamu definisikan hanya sebagai “teman”. Begitu pun juga sebaliknya, pasanganmu memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki orang lain.
Singkatnya, ada hal-hal yang hanya bisa didapat dan diakses ketika mendapat “status” tertentu dengan seseorang. Status itu ibarat kunci. Kunci yang membuka pintu-pintu tertentu dalam hubungan.
Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya. Ketika kita telah naik level dari “teman” ke “pasangan”, kita tentunya mengharapkan sesuatu yang lebih dari “pasangan” kita. Begitupun sebaliknya, “pasangan” kita tentunya mengharapkan sesuatu yang lebih dari kita, Benar kan?
Jika kita tidak memberikan sesuatu yang lebih itu kepada pasangan kita—entah apapun alasannya, sibuk, cuek, atau memang tidak terbiasa—bisa jadi “pasangan” kita akan merasa bahwa kita tidak benar-benar serius dengan hubungan ini. “Pasangan” kita mungkin akan selalu bertanya tentang kejelasan “status”-nya karena merasa tidak dianggap sebagai orang yang berstatus “pasangan”, Benar kan?
Kesampingkan dulu soal hubungan suami-istri, aku yakin itu sudah menjadi hal yang berbeda, dengan kedalaman komitmen dan tanggung jawab yang jauh lebih serius. Di sini, aku hanya berbicara tentang status yang dalam tanda kutip “pacar”.
Lantas, kenapa orang-orang sangat ingin divalidasi tentang “status”-nya?
Kenapa orang begitu ingin disebut “pacar”, bukan hanya “teman dekat”?
Kupikir, alasannya satu. Mereka punya Ekspektasi.
Ya, Ekspektasi.
Mereka berekspektasi bahwa ketika mereka menjadi pacar seseorang, maka mereka akan diperlakukan sebagaimana orang lain memperlakukan pacarnya. Mereka berekspektasi bahwa pacar mereka akan melakukan hal yang lebih daripada yang diberikan ketika belum berstatus pacaran. Sesuatu yang lebih intens, lebih istimewa, lebih hangat, lebih meyakinkan.
Kenapa mereka berekspektasi demikian? Sederhana: karena mereka ingin. Mereka ingin ekspektasi mereka itu menjadi nyata.
Segala sesuatu yang mereka pahami, bayangkan, dan impikan, pada akhirnya tertumpuk menjadi satu dalam sebuah bangunan ekspektasi di kepala mereka. Dan apabila seseorang yang pada akhirnya menjadi “pacar” mereka tidak mampu mewujudkan ekspektasi itu, maka dengan mudah ia akan didefinisikan sebagai “bukan orang yang tepat” atau “tidak cocok”.
Beberapa orang mungkin akan segera pergi, memilih mencari orang lain yang lebih bisa memenuhi ekspektasi mereka. Tapi beberapa lainnya akan bertahan, meski dengan perasaan sesak setiap kali mengingat ekspektasi yang tak kunjung terpenuhi. Mereka mungkin akan terus bertanya dalam hati: “Apakah aku benar-benar dicintai selama ini?” Atau mungkin juga berpikir, “Akan sulit bila mencari pacar lagi, jadi lebih baik bertahan meski begini.”
Rujit memang. Hati dan perasaan tidak selalu bisa didefinisikan dengan spesifik. Tidak selalu bisa berjalan beriringan dengan nalar dan logika. Kadang hati menginginkan sesuatu yang tidak rasional, sesuatu yang tidak masuk akal, tapi tetap terasa begitu penting.
Pada akhirnya, semuanya kembali pada diri sendiri. Kita yang akan menerima dan mengambil risikonya, atau tidak. Kita yang akan memutuskan apakah akan bertahan dengan ekspektasi yang tak terpenuhi, atau melepaskan demi mencari kemungkinan lain yang lebih sesuai.
Karena itu, hubungan tidak pernah sekadar tentang status. Status hanyalah pintu. Yang lebih penting adalah apa yang terjadi setelah pintu itu dibuka: bagaimana kita memperlakukan pasangan, bagaimana kita menghargai ekspektasi masing-masing, dan bagaimana kita belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua ekspektasi bisa terpenuhi.
Ekspektasi memang tidak bisa dihindari. Ia akan selalu ada, sekecil apapun bentuknya. Pertanyaannya hanya tinggal satu: apakah kita sanggup memenuhi “ekspektasi” pasangan kita, atau tidak?
Tapi kemudian yang paling penting adalah, “Kenapa kita perlu untuk berpasangan?”
“Kenapa kita harus punya ekspektasi segala?!”