Seorang lelaki yang larut dalam kesedihan dan kejengkelan di hari Valentine, merenungkan kenangan pahit tentang mantan kekasihnya di tengah hujan Karawang yang murung.
Valentine

Aku tahu ini klise dan sedikit agak menjijikkan, tapi begitulah, aku tak bisa menahannya. Pikiran ini, dorongan untuk menulis ini, dan keinginan untuk menendang rak coklat di Indomaret tadi itu—semua teraduk di kepalaku seperti sampah dapur.
Kau mungkin belum pernah dengan sengaja memperhatikan dengan teliti kiamat dalam plastik itu. Aromanya, bentuknya, warnanya—membuatku berpikir tak ada yang lebih buruk dari apa pun yang telah disentuh oleh tangan manusia. Sampah dapur bukanlah tahi, kita tahu itu. Tapi, tahi kadang-kadang lebih enak dilihat daripada sampah dapurmu.
Saranku, cobalah kau ke dapur, bukalah tempat sampah di sana, dan lihatlah sendiri apa yang sedang kubicarakan ini.
Intinya, aku sedang tidak merasa pink. Aku biru tua sekarang, hampir menghitam malahan.
Kalau pun ada yang kusyukuri saat ini, aku tak jadi menendang rak coklat yang berdiri lebih tinggi dari badanku sendiri. Apa pun bisa terasa seperti hinaan saat sedang rujit begini. Oh, ngomong-ngomong, tukang parkir itu terlalu orange dan membuatku kesal. Haruskah kutinju dia di rahangnya?
Masih hujan dan bangku besi ini terlalu dingin di pantat. Aku jadi memperhatikan hal remeh begini, seolah-olah penting. Namun, lagi-lagi, aku sedang biru tua kali ini. Hampir menghitam malahan. Apa pun bisa terbalik-balik.
Langit Karawang yang biasanya panas, belakangan murung melulu. Langit terasa seperti bujang lapuk yang menangisi nasibnya. Jadi ada banjir di Dawuan, Telukjambe, Cilamaya, terus di Subang—tapi bodo amat deh.
Aku tidak sedang dalam kondisi ingin menunjukkan simpati atau apa. Lagian, semua orang sedang berusaha jadi pahlawan saat ini. Sementara aku sendiri, seperti biasa, tak banyak yang bisa kulakukan selain mengirim seratus ribu ke satu dari sekian rekening pengepul donasi itu. Cukuplah untuk membuatku merasa sedikit lebih tak jahat. Tak jahat saja sudah cukup buatku.
Intinya sih bukan itu.
Intinya adalah semua yang terjadi ini—yang jelas-jelas tak ada hubungannya denganmu—tiba-tiba jadi soal kamu. Seperti yang kubilang tadi, saat kau merasa biru-hampir-menghitam, apa pun bisa terbalik-balik.
Aku harusnya mikirin gimana caranya menembus hujan dingin ini untuk pulang. Minimal membeli jas hujan plastik atau apalah. Tapi malah jadi ingat saat-saat menembus hujan menujumu, saat memasuki kosanmu di Purwakarta dengan keadaan kuyup, dan kau menghandukiku.
Atau saat kau terus-terusan merangkul punggungku supaya aku menunda pulang, menunggu reda hujan.
Aku merasa ngantuk berat dan kedinginan. Betapa beruntungnya menjadi beruang kutub di saat begini. Harusnya kupakai saja jaket kotor di ember tadi. Saat kedinginan begini, hujan kecil saja membuat rumahku terasa jadi sepuluh kali lipat jauhnya.
Agaknya belakangan ini, langit mendung atau pun tidak, cuma berarti panggilan tidur saja. Aku merasa mengantuk setiap hari. Benar-benar mengantuk seperti yang… aduh, gobloklah pokoknya! Rasanya betul-betul ingin tidur setiap saat.
Kantuk itu terus menyorot mata terjagaku setiap waktu. Benar-benar setiap waktu. Pagi, siang, sore, dan bahkan awal malam hari, aku selalu ingin tidur. Bukannya menyelesaikan utang-utang pekerjaanku yang merepotkan.
Sore tadi, sebelum aku menghapus kontakmu, kau bertanya, apakah aku menulis soal kamu lagi. Aku bilang, tak tertarik menulis kisah orang palsu. Kau mengirim emoji kepala merah. Aku membalas dengan meme Jokowi pakai seragam Pemuda Pancasila dengan bubble: Siap. Tanpa konteks apa pun.
Tentu saja aku menulis soal kita. Aku cuma tidak melihat apa baiknya memperlihatkannya padamu.
Apa hanya karena ini tentang kita, maka kau juga harus tahu? Entahlah, aku tak sepakat soal itu.
Entah kenapa, ini menyedihkan dan tampak terlalu berlebihan. Alay atau apalah. Tapi kurasa aku menulis ini semua untuk berdamai dengan kenyataan sederhana: bahwa kita pernah ada.
Kita pernah jadi kata, di mana kau dan aku adalah dua warga kota yang berlainan. Kau di ujung jauh Purwakarta, aku di tengah kabupaten yang sedang banjir gila-gilaan di Karawang.
Kita pernah bertemu di tengah-tengahnya: Cikampek yang bingung. Di tengah kepungan pembangunan dua kota yang kian membandung, atau kian Jakarta, sementara di tengah-tengahnya ormas-ormas lawak saling mengancam dengan golok.
Akhirnya, inilah dia. Omong kosong lainnya.
Selamat Valentine untukku. Aku membeli coklat untukku sendiri alih-alih menendang rak sialan itu. Mungkin tukang parkir itu akan kuberi dua puluh ribu karena membuatku kesal hanya karena ia terlalu orange.
Semoga kamu mati keracunan.
Mungkin di booth Teh Poci Bu Elin, atau di kios seblak Mang Salman, dan makanan yang kita suka dulu.
Intinya, mau kamu tersedak tulang ayam atau mencret-mencret seminggu lalu nyawamu melayang, tidaklah masalah bagiku.
Yang penting, sebab-sebab matimu itu ada lucu-lucunya.
Amin.
Leave a Comment