Potensi desa bukan melulu soal lahan yang bisa dijadikan destinasi wisata atau tentang kuliner yang bisa dijual. Budaya warga masyarakat yang gotong-royong; guyub rukun sauyunan juga merupakan potensi desa yang jauh lebih inti.
Jadi Saya pikir, selain menggembar-gemborkan ide ekonomi kreatif ke tengah masyarakat, semestinya tata cara menumbuhkan gairah ekonomi kolektif juga mesti diperkenalkan.
Selain memantik masyarakat untuk pandai berwirausaha, semestinya kita juga dapat membuat program tentang bagaimana mengelola keuangan bersama untuk kebutuhan; kepentingan bersama.
Misalnya:
1. Dibuatlah “Uang Kas Desa”
Uang Kas Desa yang sifatnya donasi, atau boleh juga ditarget sehari seribu rupiah per-KK. Atau bisa dimulai dari 15k /bulan per KK. Hal itu dapat digunakan untuk terutama pada kepentingan akomodasi kematian warga dari mulai Sadugna nepi ka Tujuhna alias dari mulai hari H kematian sampai ke 7 hari berikutnya jika hendak mengadakan kegiatan tahlilan (ya kalau uangnya sudah mencukupi akan hal itu tentunya). Sehingga keluarga ahli mayit tidak mengalami financial shock di samping duka yang sedang menimpanya.
Juga supaya segenap warga masyarakat telah turut serta dalam membantu; menyenangkan hati keluarga ahli mayit sekalipun mereka kebetulan tidak dapat hadir ngelayat pada pas hari H, karena solidaritas kolektif berupa materiil sudah mereka kumpulkan dari sebelum-sebelumnya.
Katakanlah, resepsi penguburan kematian pada masyarakat telah terurai dan berjalan sebagaimana mestinya. Selanjutnya, Uang Kas Desa tersebut bisa digunakan untuk hal-hal lainnya yang membantu kebutuhan masyarakat untuk meringankan permasalahan-permasalahan yang dialami.
Namun, bagaimana jika pengadaan Uang Kas Desa ini dianggap malah mempersulit masyarakat yang tak mampu untuk membayar iuran? Ya tentu tidak!
Misalnya ada tetangga saya yang enggak mampu bayar 15k per bulan, saya akan dengan sukarela nalangin kalau ada. Kalau enggak, ya saya yakin tetangga yang lain pasti ada yang ridho untuk nalangin 15k per bulan mah. Simpel sih kalau dengan paradigma yang optimistik mah da.
2. Diadakannya “Pengelolaan Harta Kekayaan dan Kedermawanan”
Kenapa? Sebab suatu desa harus mulai mandiri mengelola harta kekayaan yang dimiliki oleh sebagian masyarakatnya. Yang berpenghasilan tetap dan layak apalagi tinggi, bisa disarankan untuk menyucikan pendapatannya itu dengan diberikan ke desa sebagai pengelola semisal sebanyak 2,5% dari penghasilannya, atau persentasenya sih berapa aja terserah kesepakatannya nanti mau gimana. Juga yang berpendapatan dari hasil bumi, bisa dibagikan ke desa sebanyak itu pula persentasenya.
Artinya, setiap kalangan masyarakat yang tergolong berpenghasilan cukup bahkan lebih, bisa menyucikan harta kekayaannya itu dan pengelola di desa tersebut bisa menampung dan mengalirkannya dengan tepat, cepat, dinamis, dan efektif, begitu.
Ataupun juga materi-materi dari kalangan masyarakat yang dermawan, bisa ditampung dan turut dialirkan. Supaya pembagian harta kekayaan dari sebagian masyarakat itu bisa secara merata tertampung dan teralirkan ke lingkungan desa tersebut.
3. Diadakannya “Dapur Umum”
Untuk memfasilitasi warga masyarakat yang tidak mampu/ kebetulan sedang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok-nya terutama soal makan. Di tempat itu, sementara kita dapat sediakan: mie instan, telur, air minum kemasan, sayuran (mentah), terigu, minyak, kompor dan gas, juga beras. Selain nantinya dapat disediakan juga lah masakan-makanan yang telah matang.
Intinya, dapur umum itu diadakan supaya dapat memastikan bahwa jangan sampai lah ada warga masyarakat yang menahan rasa perih kelaparan. Jadi kalau lagi lapar tapi nggak punya apa-apa, tinggal berangkat lah ke sana. Kita pun bisa terlepas (mungkin) dari dosa setiap hendak makan tanpa pernah nawarin/mikirin tetangga kita.
Adapun dana untuk dapur umum, tentu bisa menggunakan uang kas desa sebagaimana yang dijelaskan pada poin ke 1 atau 2 di atas, karena desa mandiri adalah desa yang tidak menggantungkan hidupnya pada pohon korupsi suatu negara.
Kita harus berani terbebas dari ilusi sebuah negara yang katanya sudah menyiapkan anggaran kematian bagi warganya tapi tata administrasinya ruwet bagi masyarakat desa yang terbelakang itu. Yang mungkin juga berbelit-belit, bertele-tele dan sarat korupsi. Sedangkan prosesi penguburan mayit sudah harus berlangsung sejak awal.
Kita pun harus terbebas dari ilusi lembaga negara yang katanya mengakomodir penyucian harta kekayaan sebagian masyarakatnya itu. Yang transparansinya entah bagaimana bisa sampai dan dipahami ke masyarakat kecil di kampung-kampung itu. Apalagi persoalan pengalirannya.
Bayangkan betapa bodohnya kita kalau berulang kali mendengarkan ceramah perihal “Ingat dan tawarilah tetanggamu saat hendak makan atau masak dan baunya sampai ke tetanggamu“, jika kemudian kita tidak membagi apa-apa, bahkan semisal ide se-sepele membuat dapur umum di setiap desa itu.