Setelah manusia selesai bekerja dan mengisi perut, muncul sebuah persoalan: kegabutan. Kita sering muak dengan kekosongan yang menempel—tidak ada hal yang bisa kita lakukan selain meratapi masa lalu atau mengkhawatirkan masa depan yang jauh dari napas sehari-hari. Perasaan ini pun menimbulkan rasa bersalah karena seolah-olah tidak ada nilai yang bisa kita berikan untuk diri sendiri atau orang lain. Kita seperti tiang di tengah padang rumput: ada, tapi pasif.
Kegabutan ternyata memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Ketika manusia menemukan cara bercocok tanam di Mesopotamia sekitar sepuluh ribu tahun sebelum Masehi, kita mengalami surplus makanan. Surplus ini membuat manusia tidak perlu bekerja mati-matian hanya untuk bertahan hidup. Dari sinilah waktu luang—dan kegabutan—lahir.
Setiap orang tentu punya cara masing-masing menghadapi kegabutan. Si tukang fafifu was-wes-wos jadi filsuf. Si ngab-ngab kebudayaan bikin kerajinan atau sketsa. Penyair? Ya jelas bikin puisi, bukan cilok di Stasiun Tanah Abang.
Manusia mengatasi kegabutan bukan cuma supaya senang, tapi juga untuk menemukan makna. Waktu itu, saya pernah ngobrol dengan seorang seniman. Di tengah percakapan, dia bilang bahwa membuat kerajinan adalah caranya menemukan alasan untuk hidup. Dari kerajinannya, dia merasa bisa membawa ketenangan dan kegunaan bagi penikmatnya sekaligus menyampaikan pesan yang dimengerti targetnya. Dia percaya keberadaannya memberikan dampak bagi lingkungan sekitar.
Namun, di antara banyaknya cara melawan kegabutan, saya merasa menulis esai kurang dilirik. Biasanya, orang-orang yang gabut akan mabar, mendengarkan musik, menonton konten digital, atau, kalau jadi oknum ormas pas bokek, dan hehehe malakin pedagang kaki lima (yang ini jelas dilarang, ya).
Di sini, saya akan menjelaskan apa itu esai dan bagaimana menulis esai bisa memberikan dampak luar biasa.
Memahami Pengertian Esai
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), esai adalah karya prosa yang menguraikan suatu persoalan secara ringkas dari sudut perspektif penulisnya. Masih dari sumber yang sama, prosa sendiri adalah karya bebas yang tidak mengikuti patokan yang ada di dalam sebuah puisi—tidak ada rima, ritme, atau panjang-pendek suku kata. Jadi, karena esai termasuk prosa nonfiksi, kamu bebas menulisnya tanpa harus repot memikirkan pola rima atau ritme.
Unsur kedua esai adalah persoalan yang diutarakan secara ringkas. Ya iyalah, karena kalau sampai bahasannya sampai 8 bab, itu mah sudah jadi modul mahasiswa semester 1. Hehe. Soal seberapa ringkas esai, ada yang bilang idealnya 550–800 kata. Ada juga yang bilang 600–1.200 kata. Yang jelas, esai itu lebih pendek dari buku atau naskah pidato pejabat di kota kamu.
Unsur ketiga, esai ditulis berdasarkan sudut pandang pribadi penulisnya. Nah, ini yang paling penting! Kamu bukan cuma pengamat pasif yang menyampaikan fakta, tapi juga menyisipkan pandangan dan sikapmu. Kamu bisa bilang, “X salah karena Y,” lalu memberikan solusi berupa A, B, C, D. Menulis esai melatih keberanian kita menyatakan pendapat.
Gabut Terbang, Diri Berkembang: Dampak Menulis Esai
Menulis esai ternyata ampuh mengusir kegabutan! Ketika menulis esai, seseorang larut dalam alur kegiatan. Ia mulai dari gagasan pokok, lalu beranjak ke gagasan penjelas. Matanya sibuk seperti atlet parkour saat mencari data di buku, jurnal, atau kamus. Hal ini penting supaya tulisan tetap runut dan berdasarkan fakta, bukan khayalan dari penghirup lem Aibon.
Menulis esai memberikan makna tersendiri. Penulis bisa berbagi pengetahuan dan perasaan dengan pembaca, berharap karya tersebut menambah wawasan dan empati. Dari sini, penulis merasa lebih bernilai karena karyanya bermanfaat bagi orang lain.
Selain itu, menulis esai juga baik untuk otak. Kita dilatih menulis secara runut, logis, dan memahami hubungan sebab akibat. Kemampuan ini memudahkan kita dalam mencerna informasi dan berkomunikasi dengan jelas.
Dengan banyaknya manfaat dari menulis esai, kenapa kita tidak mencobanya mulai sekarang?