Sebagai tulang punggung, saya berperan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, utilities, sampai kuota setiap anggota keluarga di rumah yang juga saya bayar cicilannya setiap bulan. Berat, memang. Sangat.
Kadang saya ingin mengambil shortcut pulang ke Bandung, duduk di singgasana dan terus-terusan jadi nyonya tanpa khawatir Ibu-Bapak saya bisa makan atau enggak, tapi zodiak saya Cancer, jadi tentu saja hal itu gak bisa dilakukan apalagi kalau dalam bahasa gaulnya mah saya teh generasi roti lapis cenah. Saat ini saya bekerja di perusahaan mining dan yes, hal yang untuk beberapa orang ‘memalukan’ karena intinya sama seperti: selama ini saya julidin Anne Ratna, eh besok-besok saya malah jadi staff-nya. Ya ngerti gak sih? antara harus tetap idealis tapi being idealist juga gak bakal bikin perutmu kenyang.
Perasaan awkward yang sama berlaku saat saya dan Koko membantu membuat opsi slogan waktu Papi mencalonkan diri jadi Bupati 2019 lalu. Malu, tapi demi keberlangsungan hidup ya harus dilakukan, sama seperti saya saat ini.
Saya pernah tanya ke Farid,
“Menurutmu, mendingan seniman yang banyak fafifu atau pejabat yang to the point?” dan tentu saja pertanyaan ini memiliki beberapa layer. Terlepas dari perkara fafifu atau enggaknya seseorang, pertanyaan saya kurang lebih akan berlanjut begini “Mending hidup ngawang ngeresapin nilai-nilai filosofi tapi nganggur dan keluarga terlantar, atau jadi pejabat banyak duit dan kebutuhan keluarga tercukupi?” (semua pejabat adalah kotor buat saya, no debate)
Farid lalu menjawab “Hm, kalau pertanyaanmu yang pertama, aku lebih suka orang yang taktis. Ya maksudku, kadang politikus dan pejabat itu kan memang tahu kebutuhan dia apa, dan dia tahu hal apa yang bisa bantu dia ke tujuannya itu.”
Memang, gak semua seniman banyak bacot dan gak semua politikus straight to the point, tapi sebagai hyper yang wajib mengambil semua buff di Land of Dawn, saya jadi mikir mungkin saya emang ditakdirkan buat jadi politikus atau pejabat kali, ya? Soalnya saya pesimis kalau saya tetap nulis buku atau melukis, keluarga saya gak bakal makan. Atau, kalau pun makan, bisa jadi gak setiap hari. Saya yakin ketakutan ini bukan cuma saya yang punya~
Semua orang yang jadi tulang punggung apa pun profesinya, akan selalu mengupayakan kebutuhan dan keinginan orang yang ia tanggung. Merelakan dirinya untuk gak beli kebutuhannya sendiri supaya orang lain tercukupi keinginannya. Buat saya, itu something. Gak semua orang bisa seperti itu. Tapi khusus untuk pejabat, itu mah tulang punggung atau bukan sudah pasti rakus.
Dalam hal ini, saya gak butuh validasi siapa pun untuk bilang bahwa sebagai tulang punggung, saya hebat! Berkali-kali pun saya selalu menegaskan, orang hebat itu pasti berteman sama orang hebat, sebab energi itu menyebar, sayangku~
Saya berteman dengan seorang ibu muda yang singkatnya, suaminya tidak bertanggung jawab dan sering main tangan. Iya, tidak bertanggung jawab secara lahir, batin, termasuk finansial, ya. Selama ini, ibu muda itu menjadi tulang punggung buat anak-anaknya dengan bekerja sana-sini, mural sana mural sini. Bahkan H+2 lahiran, teman saya itu belanja berkaleng-kaleng Mowilex untuk mural keesokan harinya. Habis melahirkan, belanja Mowilex, pakai motor, besoknya mural. Edan! kata saya teh. Kalau gak kuat mah gak bakal bisa gitu, atuh.
Teman saya yang lain, beberapa kali saya lagi sama doi, doi selalu ditelepon keluarganya. Setelah itu, dia selalu langsung membuka hp-nya dan bilang,
“Barusan nyokap minta transfer minta kasur baru.“
Padahal saya belum nanya, dan setahu saya doi baru aja transfer uang daftar ulang untuk adiknya yang masih SMA. Saya sangat sering melihatnya tiba-tiba ditelepon keluarga, lalu gak lama setelah mematikan telepon pasti teman saya itu langsung memainkan hp. Pernah sih beberapa kali nangis. Mungkin saldonya tinggal sedikit, karena setelah ngopi dan nangis itu, dia gak ada ngajak ngopi di luar lagi.
Beralih ke cerita selanjutnya. Berbeda dari yang lain, teman saya ini lebih cocok disebut penanggung jawab batin mungkin, ya. Dia perempuan, seorang bungsu dari keluarga yang membutuhkan ‘penjaga’ untuk satu anggota keluarga yang entah saya kurang paham, intinya anggota keluarga itu pikun dan beberapa kali menunjukkan sifat agresif. Saya gak yakin alzheimer atau bukan. Yang jelas, setiap satu anggota keluarga itu kenapa-kenapa, pasti teman saya ini yang diharuskan untuk menengok, menjenguk, sampai berurusan sama pihak kepolisian. Wah, waktu saya seusia dia, saya lagi sering-seringnya dugem dan menghancurkan diri sendiri. Teman saya malah menyelamatkan hidup orang lain dan itu bermakna banget, kan. Kalau waktu itu saya di posisi dia, belum tentu juga saya bisa kuat.
Saya selalu salut kepada teman-teman yang secara sengaja atau pun tidak, sudah bertahan dan menjadi tulang punggung yang hebat! Respect! Saya mau bilang ini bisi weh belum pernah ada yang bilang gini sama kalian:
Kurang lebih saya pernah merasakan hati agak cekit-cekit waktu baru berencana membeli sesuatu dari uang yang sudah terkumpul dengan susah payah itu, lalu tiba-tiba aja keluarga ada kebutuhan, seperti adik nabrak orang, motornya rusak, harus bayar ganti rugi, atau keluarga sakit dan harus bawa ke dokter dengan bla-bla-blanya. Kurang lebih saya pernah merasakan betapa lelahnya bulak-balik nganter orang tua sakit bahkan saat kita sendiri sakit dan baru selesai operasi. Kurang lebih saya pernah merasakan betapa buntu pikiran waktu kita sudah gak punya apa-apa lagi untuk dikasih, tapi kebutuhan belum tercover. Kurang lebih saya pernah merasakan betapa sakit waktu teman-teman yang lain sedang asyik-asyiknya menggunakan uangnya untuk keperluan sendiri tapi kita harus mendahulukan kebutuhan keluarga dan milih buat mengubur kebutuhan kita sendiri. Kurang lebih saya tahu rasanya ninggalin keinginan kita mau jadi apa cuma buat bikin keluarga kita tetap makan, ahuhu beneran menangys. Tapi percaya, deh. Kalian teh hebat, woy! Kalian itu kuat! Hidup kalian itu penuh makna. Iya, tau kok capek. Gakpapa kalau capek, napas dulu, ya. Tidur dulu sedikit, abis itu bangun terus kita berjuang lagi, ya.