
Agustus kemarin, Indonesia genap berusia delapan puluh tahun. Negeri yang penuh kekayaan sumber daya alamnya ini, dengan kebudayaannya, berdiri dari perjuangan para pendiri bangsa dan rakyat yang rela berkorban dengan keringat, darah, dan air mata. Negeri yang dahulu dibangun atas dasar kebersamaan kini justru berada di tepi jurang. Alih-alih bersyukur atas momentum panjang kemerdekaan, para elite sibuk mempertontonkan kemewahan, jauh dari denyut nadi rakyat yang makin hari kian sesak napas karena kesulitan.
Agustus kemarin seharusnya menjadi perayaan kedaulatan rakyat. Tetapi faktanya, justru berubah menjadi panggung kemarahan. Hampir setiap hari kita menyaksikan berita muram: korupsi merajalela, aparat represif menindas, rakyat terhimpit oleh kebutuhan hidup yang melambung. PHK terjadi di banyak tempat, sementara harga-harga kebutuhan pokok tak terkendali. Aparat yang seharusnya melindungi malah kerap menjadi alat penguasa untuk membungkam suara. Elite terus beretorika tentang demokrasi, tentang pemberantasan korupsi, tentang kesejahteraan rakyat. Namun semua itu hanya bergema dalam pidato yang menggebu-gebu, kosong dari tindakan nyata.
Kenyataan paling telanjang terlihat pada demo 25–31 Agustus 2025 kemarin. Rakyat turun ke jalan untuk menyampaikan keresahan. Tetapi suara itu dibalas dengan gas air mata, peluru karet, bahkan dilindas kendaraan barracuda. Jeritan rakyat dicap makar, tuntutan kesejahteraan disamakan dengan terorisme.
Ironi ketika slogan “suara rakyat suara Tuhan” (Vox Populi Vox Dei) hanya tinggal pepesan kosong. Mending kalau pepes ikan mah. Akh! Uang tunjangan wakil rakyat naik, sementara rakyat sulit mencari kerja. Jalanan menjadi satu-satunya ruang untuk bersuara, tetapi di situlah suara itu dihancurkan.
Negara ini, singkatnya, tak belajar. Alih-alih merangkul kritik, pemerintah justru terus-terusan budeg. Kritik dianggap ancaman, rakyat yang marah dituding pembuat onar. Kekerasan dijadikan jawaban atas aspirasi rakyat, korban terus berjatuhan, lagi dan lagi. Sedangkan aparat yang membela diri dengan menangkap dan memukuli dapat kenaikan jabatan luar biasa. Memang lwar biaza pikirannya, out of the box banget!
Kita tahu, setiap perlawanan selalu lahir dari luka. Sejarah panjang Indonesia menunjukkan hal itu. Dari zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Reformasi 1998, hingga demonstrasi-demonstrasi terakhir, luka menjadi rahim bagi lahirnya perlawanan. Ibu-ibu kehilangan anaknya, pekerja diperas tenaganya, mahasiswa ditembaki gas air mata, petani gagal panen, buruh diperas hingga titik nadir. Semua itu bukan angka, melainkan darah dan air mata yang nyata.
Luka yang menganga ini, jika terus diabaikan, hanya akan melahirkan dendam dan kemarahan yang lebih besar.
Di sinilah pentingnya tunas-tunas perlawanan. Mereka lahir dari masyarakat yang rumah-rumah bocor, dari peluh petani, jeritan buruh, dari keresahan mahasiswa. Dapur yang gak ngebul, dari ruang-ruang diskusi kampus dan desa. Mereka bukan pembuat makar, njir lah. Mereka adalah senyata-nyatanya rakyat. Tunas-tunas ini adalah koreksi terhadap penguasa yang pongah, yang lupa bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Sejarah perlawanan selalu menunjukkan: tunas itu akan terus tumbuh, bahkan lebih kuat berkali-kali lipat. Jika pemerintah terus menutup diri dan larut dalam kemewahan, rakyat akan melipatgandakan perlawanan. Setiap represi hanya melahirkan tunas baru, setiap penindasan hanya menyalakan api perlawanan yang lebih besar. Luka yang tidak sembuh akan melahirkan kekuatan yang lebih dahsyat.
Kita bisa belajar dari Reformasi 1998. Tragedi traumatik yang ditinggalkan Orde Baru tak membuat rakyat menyerah. Justru luka itulah yang melahirkan keberanian untuk menumbangkan tirani. Begitu pula dengan luka hari ini. Luka akibat kekerasan aparat, akibat UU yang menindas, akibat korupsi yang merampok, akan terus menumbuhkan perlawanan baru. Tunas-tunas kecil seperti ojol, pelajar, ibu-ibu, buruh, dan anak-anak muda, suatu saat bisa menjadi ledakan besar yang tak terbendung.
Karena itu, seruan kita jelas: tumbuh, tumbuhlah tunas-tunas perlawanan baru!
Lipatkan tunas-tunas itu, meskipun kecil, meskipun hanya sebiji kacang. Saling jaga, saling menguatkan, hingga kelak tumbuh besar. Indonesia bukan milik oligarki yang memperkaya diri sendiri, bukan milik koruptor rakus, bukan milik penguasa yang menindas. Republik ini milik kita semua.
Mari aktifkan kembali ruang-ruang sunyi kesadaran kita!: di jalanan, di kampus, di pabrik, di desa, di dapur. Mari rawat perlawanan! Meski kecil, agar kelak tumbuh besar. Sebab hanya dengan itu, Indonesia bisa kembali bernapas sebagai negeri yang adil dan merdeka.
L Malaranggi adalah seorang mahasiswa aktif dan penulis. Berbagai tulisannya telah tercecer di sejumlah media. Bisa di sapa di @malaranggiii