Saya coba mengingat kejadian sederhana di waktu kecil. Waktu itu, saya tanya pada Ibu tentang nama bunga yang ada di tirai jendela rumah baru kami.
“Bu, itu bunga apa?”
Usia saya sepertinya 4 tahunan. Pokoknya saat itu masih tidur dengan Ayah-Ibu.
“Itu bunga tulip,” kata Ibu.
Saya tidak cari tahu asal-muasal tulip atau apa warnanya benar-benar biru seperti tulip pada tirai rumah kami? atau entahlah. Yang jelas, sejak saat itu perjalanan saya menyukai bunga tulip dimulai.
Kami tinggal di rumah baru awal tahun 2001. Belum banyak warna yang bisa menarik perhatian saya selain warna tirai jendela. Setiap saya berlarian sambil mencoret-coret dinding rumah yang putih, hal paling menarik buat saya selain hasil coret-coret itu ya tirai tulip yang berwarna-warni. Biasanya kan anak-anak suka gambar yang colorful seperti pelangi. Saya pun begitu.
Saya selalu menatapnya sebelum lelap dalam tidur siang. Sejak saya tahu nama bunga di tirai, saya selalu menatap warna dan bentuk bunga di gambarnya sambil menduga-duga
“Oh gitu ya batangnya, gitu ya daunnya, gitu ya kalo kuncup, gitu ya kalo mekar.”
Ibu saya tidak pernah membeli tirai baru untuk rumah kami. Satu-satunya tirai yang ada di rumah kami ya cuma tirai tulip. Setahu saya, selama tirainya masih bagus dan pantas ya gak pernah ada yang komplain soal itu. Alih-alih bertanya untuk mengganti warna tirai, saya yang kurang lebih saat itu berusia 10 tahun malah bertanya,
“Bu, bunga tulip emang beneran ada?”
Sepertinya, dengan bertambahnya pengalaman saya melihat bunga-bunga di jalanan kota, saya mulai menganggap bunga tulip terlalu dreamy untuk beneran ada di dunia. Tahun ke tahun, saya tambah besar, udah beberapa kali naik kelas juga, saya semakin butuh bukti dan terus mempertanyakan hal yang sama.
“Beneran ada bunganya,” jawab Ibu,
Saya tanya lagi “Di mana, Bu?”
Saya benar-benar masuk ke fase ‘butuh pembuktian’.
“Di mana, ya? Hm … di Belanda gitu kalo gak salah,” begitu kiranya jawaban Ibu yang saya ingat.
Dalam konsep pendidikan di lingkup keluarga, saya melihat adanya dampak ucapan seorang ibu terhadap anaknya. Jawaban Ibu atas pertanyaan receh saya itu, bisa jadi alasan kalau ibu adalah perempuan pertama yang meyakinkan saya tentang keberadaan bunga tulip di dunia. Keyakinan Ibu menular pada keyakinan saya. Di usia itu, karena Ibu bilang tulip ada, saya jadi berani punya mimpi buat bisa lihat bunga tulip secara langsung.
Beberapa tahun kemudian saya mulai sekolah boarding. Setiap pulang ke rumah sekitar 3 bulan sekali, masih saya lihat tirai itu belum diganti sampai saya lulus. Menariknya, sebelum benar-benar lulus, saya menemukan sebuah buku keren yang tergeletak di sebuah ruang baca asrama. Saya bawa buku itu ke kobong (kamar) untuk mengisi waktu-waktu luang saya sebelum kelulusan tiba.
Buku itu sejenis buku biografi tebal yang covernya mirip ensiklopedia. Isinya penuh dengan cerita dan foto-foto seorang wanita Indonesia di Asia, Eropa hingga Timur Tengah. Saya sampai bawa pulang buku itu ke rumah buat namatinnya.
Dari buku itu, saya lihat foto-fotonya didominasi seorang wanita yang sedari muda hingga tuanya asik jalan-jalan bersama keluarganya di luar negeri. Entah apa pekerjaannya.
Saya lihat ada fotonya waktu di Belanda bersama bunga-bunga tulip yang cantik. Tepatnya di Keukenhoof. Tulip secara nyata berada di belakang tubuh orang Indonesia. Waktu lihat foto itu, rasanya saya seperti dibisikin,
“Ayo, kamu kayanya juga bisa tuh ke sana!” atau gini “Aku percaya bahwa suatu hari kamu bisa foto juga di tempat-tempat ini.”
Meski presentasi keyakinan meningkat, saat itu saya anteng-anteng aja sekolah. Saya punya blog berisi cerpen romance “Bunga Tulip” yang diam-diam dibaca Ayah dan dikritik habis-habisan karena kesannya terlalu halu dan kurang realistis menurutnya. Ayah saya memang berperan sekali dalam mendidik saya untuk berpikir realistis dalam mencapai tujuan. Pikiran realistis saya mulai muncul setelah dikritik Ayah itu lah. Saya jadi mikir,
“Eh, kayanya harus kaya raya dulu buat bisa liat bunga tulip.”
Namun ternyata ketetapan Allah tidak sekerdil pendapat saya, dan kuasa Allah jauh lebih luas dari pikiran saya. Pada usia 24 tahun saya diberangkatkan ke Korea Selatan dalam sebuah perjalanan pendidikan. Di sana saya melewati 1 kali musim semi dan bisa bertemu bunga-bunga indah yang gak bisa tumbuh di negara tropis.
Ketika saya sampai pada ladang tulip di Taman Hwangsang, Busan, Korea Selatan. Saya bahagia tak bersuara. Hanya ada angin dingin musim semi. Tipe pengunjung di ladang ini bukan tipe-tipe pengunjung yang heboh, jadi di sini sepi dan berangin saja. Jika saya lebih peka lagi, mungkin saya bisa dengar suara gesekan dedaunan.
Saya sempat ditemui dua orang tua dalam waktu berbeda. Mereka menghampiri saya untuk menawarkan diri dalam memotret saya. Rasanya seperti mereka paham bahwa momen ini gak boleh dilewatkan.
Sambil berjalan menikmati khayal yang kini nampak nyata, hal pertama yang saya pikirkan adalah masa kecil saya dengan Ibu. Ternyata design interior dan tata ruang sebuah kontruksi bangunan dapat memberikan dampak imajiner dan pengulangan gambar memunculkan memori serta motivasi pada pikiran saya sebagai anak-anak. Kadang saya berpikir, berarti kalau mau ke Mekah saya harus terus liatin foto kakbah, ya? Hehe.
Atau karena saya tertarik sama bunga aja? Saya juga gak tau. Cuma memang menarik sih, tirai rumah jadi alasan kenapa tulip menjadi bunga kesukaan saya sampai saat ini. Dengan pernah melihatnya, saya kemudian menemukan alasan-alasan lain untuk menyukainya seiring berjalannya waktu. Bunga itu cantik, berdiri tegar dengan elegan dan memiliki beragam warna. Bahkan setelah saya tahu asal-usulnya, saya semakin merasa yakin pada alasan-alasan kenapa saya suka bunga tulip sejak kecil.
Ibu, orang pertama yang paling berjasa untuk mengarahkan saya pada mimpi saya dan Ayah, membantu saya merealisasikannya.
Parenting terlihat rumit jika dipelajari, namun ternyata bisa sesederhana itu dalam pelaksanaannya. Pertanyaan seorang anak atau jawaban orang dewasa sekalipun bisa memengaruhi di masa mendatang. Kalau menurut Para Penyimpang, gimana?