Kemarin Gusdurian Purwakarta ngadain diskusi dan bedah buku Gusdur, Tuhan Tak Perlu Dibela. Dipaneli oleh Aroka, Dion, dan Ghozin. Kalau mau sebut, Aroka Fadli tetap pembicara topik keislaman kontemporer paling memukau di Purwakarta meski sudah 100 tahun tidak menulis lagi. Kemampuannya bicara hilir-mudik antara teks-teks turats dan alam intelektual Gusdur di buku ini, saya kira belum tertandingi dan kian matang dari waktu ke waktu. Begitu pun percobaan Dion mensintesiskan nilai-nilai pokok Gusdur dengan nilai-nilai filosofis yang dipromosikan Yuval Noah Harari, dan Ghozin yang mengangkat mitos-mitos kewalian di sekitar Gusdur, juga tak kalah menarik.
Sudah lebih setahun forum semacam ini absen dari perbincangan, maka semuanya jadi menyenangkan disimak. Jujur, kadang bosan juga dengan diskusi filsafat dan kesenian. Meski begitu, saya cuma mau utarakan apa yang telah saya pikirkan jauh hari, yang rasanya juga beresonansi pada acara kemarin.
Tema utama dari tulisan Gusdur dari artikel “Tuhan Tak Perlu Dibela” saya kira adalah–yang ia sebut dalam istilahnya sendiri–bagaimana formalisme islam merespon tantangan modernitas.
Tanpa bermaksud suul adab, jujur saja istilah-istilah tadi itu boring, bukan? Sekarang izinkan saya coba membuatnya lebih menarik, dengan tiga ilustrasi berikut.
Pertama, bayangkan, jika sebuah perusahaan dengan branding islami atau syar’i yang tidak pernah menggunakan alasan “gaji sedikit yang penting berkah” hanya untuk mengupah tenaga pekerja dengan siminimal-minimalnya, tapi menguras tenaga mereka semaksimal-maksimalnya.
Kedua, bayangkan, masjid dekat rumahmu tidak cuma jadi ruang ibadah dan tempat mengadu-adu jumlah isi kotak amal setiap Jumat. Melainkan jadi tempat mengadu dan berlindung bagi yang lapar, tak punya rumah, dan telanjang.
Ketiga, bayangkan, sekolah islam di sekitarmu berani menjamin wujud ruang aman dari kekerasan seksual untuk anak-anak dan perempuan, sebelum menjanjikan pada para wali murid “rumah di surga”.
Oke, sekarang coba gantikan kata Islam dalam ilustrasi di atas dengan kata UMUM dan gantikan kata masjid dengan fasilitas publik. Lebih menarik?
Sekarang mari masuk ke bagian agak membosankan. Kita bahas sedikit soal “tantangan modernitas” yang sempat disebut.
Tanpa bahasan mendakik, saya mau artikan tantangan modernitas dengan kapitalisme. Dalilnya sederhana, tanpa kapitalisme mustahil kita melihat dunia modern ini–dalam artian terbaik, sekaligus terburuknya. Gambaran simpelnya, lihatlah produk-produk dengan teknologi termutakhir dan gaya hidup serba mudah ini, yang juga datang dengan ongkos kelestarian alam dan hak azasi manusia. Singkatnya, ini masalah.
Tapi gimana umat islam menjawab ini?
Saya mengerti sebenarnya kita sebagai umat Islam tidak dengan sengaja mengabaikan atau bahkan naudzubillah melestarikan problem-problem laten yang ada. Kita punya nurani, sangat umum marah dan malu saat kasus-kasus tertentu naik ke permukaan.
Namun persoalan kita adalah tak tahu cara marah yang benar, tak ngerti pula menyikapi rasa malu dan bersalah. Sehingga tegangan-tegangan antara semangat berislam dengan problem yang ditimbulkan oleh modernitas, seringkali cuma direspon secara reaktif dan gegabah. Sebutlah peristiwa penangkapan seorang stand-up komedian yang disangka menista nama Nabi. Negara ini nyatanya punya slot untuk memenjarakan lawakan gagal, tapi tak punya sel kosong buat penjahat HAM.
Lebih dari itu, kita silau dengan istilah-istilah: kuburan syari, perum islami, sekolah islam. Bukan istilahnya yang salah, tapi esensi dari sekolah sebagai ruang aman, rumah sebagai hak dasar manusia; inilah yang ditenggelamkan dalam kemilau istilah-istilah surgawi ini. Ini membuahkan pertanyan penting, antara kita murni lugu, atau kondisi ini sengaja dibiarkan buat memanipulasi umat? Seperti brosur cicilan motor dengan DP seratus ribu.
Inilah tantangannya. Di satu sisi kita tahu kapitalisme dan turunan-turunan sistemnya telah menciptakan tantangan modernitas, sementara di lain sisi Islam yang digadang-gadang dapat tampil menjawab, eh prakteknya tak jauh beda.
Ringkasnya, bagi Gusdur–dalam artikel yang saya sebut di awal–Tuhan memang tak perlu dibela. Karena ada yang lebih berhak dibela, yaitu mereka yang diperas, dimiskinkan, dan disingkirkan, entah oleh yang lebih kuat posisinya atau lebih banyak jumlahnya. Ia menegor kita agar tak mudah silau dan kritis dengan semangat formalisme islam, yang semakin sering terlihat jualan ludah belaka.
Sekarang, di kota kecil dengan diorama sosok Gusdur yang berdiri sejak 5 tahun terakhir ini, mari kita tinggalkan sejenak bual-bualan kapitalisme di atas dan memikirkan pertanyaan seorang peserta diskusi kemarin: saat kita sedang bicara urusan membela Tuhan, orang Purwakarta ingin membela apa?