Pemilu 2024 selesai dan hasilnya masih ditunggu-tunggu kita semua meskipun Prabowo sudah mengklaim kemenangan. Jauh sebelum pemilu berlangsung, setiap orang ngomongin paslon serta caleg pilihanya sendiri-sendiri. Meskipun kebanyakan kita sepakat, membahas para caleg tidak sehangat dan sepulen membicarakan paslon pemimpin negara. Teman-teman juga rekan-rekan kerja saya bisa ngabisin waktu panjang—bahkan sampai lupa sama kerjaannya—buat debat, ngebanggain paslon pilihan mereka—sekaligus ngejek paslon lawannya. Saya pribadi enggak pernah tertarik ikut debat-debat begituan. Perihal memilih salah satu dari ketiga paslon dan beratus-ratus caleg, saya justru terlanjur lose faith terhadap pemilu di negeri +62 ini.
Bagi saya—mungkin orang lain juga, banyaknya isu kecurangan pemilu di tahun-tahun sebelumnya jadi penyebab utama munculnya ‘hilang kepercayaan’ atau lose faith tersebut. Entah, di dalam hati mengendap semacam perasaan paranoid atau trauma. Bagaimana tidak? Menghadapi pemilu tahun 2024 ini saya jadi sering gusar, was-was, khawatir tertipu lagi, ragu serta menyimpan curiga pada caleg, capres-cawapres, pemerintah—boleh dikata, bahkan kepada politik negeri ini.
Sebuah hasil pengamatan mengatakan, kecurangan pemilu rentan terjadi di negara-negara demokrasi—nah lho, bukan isu lagi kalo kaya gini. Begitulah yang dituliskan Stephen Dawson, politikus dan anggota Partai Buruh asal Australia.
Nampaknya, ketika Dawson menyadari kasus manipulasi suara di hari pemilu terjadi di banyak Negara, Dawson kemudian menggunakan data jajak pendapat baru untuk sampel global pemilihan presiden antara 1996 dan 2016. Hasilnya, terbitlah sebuah jurnal berjudul Electoral Fraud and The Paradox of Political Competition baca aja di sini
Ia berpendapat,
“Kecurangan pemilu dan bentuk-bentuk manipulasi lainnya terus mengganggu banyak pemilihan di tempat yang umumnya dianggap sebagai negara demokratis… kasus (pelanggaran dan manupilasi) tidak hanya untuk apa yang orang sebut negara berkembang atau demokratisasi tetapi juga untuk demokrasi yang lebih mapan. ”
Pertanyaanya, apakah negara kita bagian dari negara yang Dawson maksud? Meski tidak tercantum nama-nama negara pada jurnal Dawson, kayaknya isu kecurangan pemilu di Indonesia sendiri tidak lagi sah disebut isu (kabar yang tidak jelas), tapi tentu jha sudah jadi fakta.
Pasalnya, pemilu di tahun 2014 dan 2019—tahun di saat saya mulai melek politik—laporan kecurangan pemilu di Indonesia punya sederet kasus yang sama, seperti money politics yang di negeri +62 biasa disebut ‘serangan fajar’, kemudian manipulasi data pemilih, penyalahgunaan sumber daya negara: memakai fasilitas negara untuk kampanye dan menggunakan program pemerintah untuk kepentingan anggota partai politik dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.
Adapun perbedaan kasus kecurangan di antara dua tahun pemilu sebelumnya tersebut, pertama, di tahun 2014 sebuah laporan dari KontraS menuliskan, pelangaran HAM dan terjadinya kekerasan terorganisir bermotif politik. 2014 lalu saya masih duduk di bangku SMP kelas 9 di pesantren.
Meski sudah mulai tertarik dengan berita politik, waktu itu saya masih kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang pemilu di tahun 2014. Namun dalam laporan KontraS menerangkan, terdapat “81 Peristiwa Kekerasan Bermotif Politik terjadi Sepanjang Tahapan Kampanye Pemilu 2014”
Peristiwa itu disebabkan oleh saling ejek antar kader Parpol dan persoalan kebencian karena berbeda Parpol. Persoalan-persoalan ini kemudian mengarah pada tindakan kekerasan yang tidak dapat diantisipasi oleh Parpol itu sendiri. Namun juga akibat minimnya pendidikan politik yang diberikan oleh Parpol peserta pemilu, kekerasan juga bahkan terjadi antara kader dari Parpol yang sama. Disisi lain, anggota Ormas yang berafiliasi dengan parpol juga sering menjadi bagian dari aktor kekerasan.(Kontras.org) Bagian ormas ni emang kadang-kadang deh.
Kemudian 2019, terdapat laporan tentang beredarnya hoaks dan desinformasi dengan maksud untuk mempengaruhi persepsi publik yang kemudian memanipulasi hasil pemilihan. Dalam halaman situs resmi Kominfo Indonesia menemukan 3.356 hoaks, terbanyak saat Pemilu 2019 (dapat dari sini)
Maka, cukuplah dua tahun pemilu sebelumnya membuat saya sangsi atas kejujuran KPU sebagai penyelenggara, parpol, caleg, dan capres pemilu tahun ini.
Kecurangan di 2024 dinilai lebih parah karena dugaan kecurangan yang terstruktur dan sistemik oleh paslon tertentu sudah direncanakan sejak awal demi menggolkan narasi pemilu satu putaran.
Hal ini erat kaitannya dengan film Dirty Vote. Di dalam filmnya, kita diberitahu bagaimana para elite dan pejabat legislatif memanipulasi pemilu. Kecurangan dikonsep sedemikian rupa yang katanya berangkat dari ambisi Presiden yang “sakit hati”, serta untuk memanjangkan kekuasan lewat keluarga dan koleganya—kolega yang dulu lawan beliau di pemilu presiden 2014-2019.
Di saat yang sama, presentator dalam film juga memaparkan jejak ‘kecurangan’ dari kedua paslon lain, yang dianggap oleh pendukungnya masing-masing “buruknya” tidak lebih tinggi dari salah satu paslon. Dirty Vote memberi tanda kecurangan Pemilu yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dan apa yang disampaikan keseluruhan film, justru melanggengkan rasa hilang kepercayaan saya pada Pemilu di Indonesia.
Saya kira, ketika pelanggaran atau kecurangan pemilu tidak terhindarkan di masa lalu, kebanyakan dari kita akan lebih selektif dan kritis dalam memilih calon eksekutif maupun legislatif di pemilu tahun ini. Mengingat, masyarakat Indonesia kini sudah mapan dengan teknologi informasi, mulai pintar melihat persoalan dari dua sisi, senang mengoreksi; ditambah adanya Dirty Vote.
Saya menduga, golput di pemilu tahun 2024 akan melonjok tinggi. Ternyata tidak. Sepertinya, omongan R.P. Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno—Imam Katolik, filsuf, sekaligus penulis— yang bilang,
“Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik tapi mencegah yang terburuk berkuasa.”
Jadi salah satu faktor yang berhasil membuat masyarakat, terutama kaum muda Indonesia, untuk menggunakan hak suaranya untuk para caleg, juga pada paslon-paslon yang mereka yakini paling mending catatan hitamnya.
Apa yang diungkapkan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno ditujukan bagi orang-orang ragu dan yang merasa ingin golput agar tidak golput. Saya gak sepakat kalau ungkapan Dr. Franz tersebut dipakai untuk melumrahkan “keburukan” (dalam hal ini kecurangan pemilu) setiap mereka yang menyalonkan diri. Bukan berarti saya menginginkan capres-cawapres dan anggota-anggota dewan yang sempurna seperti editor Nyimnyim, tentu saja tidak. Toh, di pemilu 2019 saya memilih salah satu—dari dua paslon—yang menurut saya pantas jadi presiden meskipun beliau punya kasus pelanggaran HAM, kok. Tapi di tahun ini, saya tidak memilih beliau dan dua paslon lainnya karena kelewat geli dan trust issue gitu.
Menurut saya kecurangan sekecil atau semendingan apapun tidak bisa ditoleransi, apalagi tetap dibiarkan untuk menyalonkan diri. Ini berlaku baik bagi pasangan capres-cawapres, juga kepada para caleg. Sebab masalahnya akan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dan dapat mengkhianati demokrasi di negeri kita. Pernyataannya, beratkah bagi para politisi untuk berlaku jujur?
Padahal jujur modal paling murah untuk melaksanakan kampanye, lho. Saya yakin masyarakat lebih suka orang-orang jujur dibanding dapat serangan fajar, meskipun tentu saja beli beras itu ya pakai uang bukan pakai jujur.
Melihat banyaknya kecurangan pemilu dewasa ini, ungkapan Mas Kasino Warkop terasa lebih sesuai, bahwa, “Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar tapi kekurangan orang jujur.”
Pada akhirnya saya hanya mampu berharap agar politik di negeri kita bisa lebih jujur. Politik yang jujur pasti mengedepankan aspirasi rakyat menengah ke bawah ketimbang memberikan banyak hak istimewa kepada rakyat atas (para elite) demi memelihara demokrasi. Politik dengan penuh kejujuran juga akan membawa agenda pemilu yang lebih baik.