Hujan baru saja mengguyur kota, membuat udara malam ini menjadi lembap. Aku keluar dari sebuah gubuk berhiaskan kerlip lampu warna-warni di pinggiran rel kereta api, disusul oleh seorang perempuan—yang meski wajahnya dipenuhi keriput, kecantikannya tetap tak tergantikan—namanya Lela. Merah pada bibirnya yang setipis salju itu masih merona. Kulitnya tetap sekencang perempuan belia. Tubuhnya tambun, tetapi tidak berlebihan. Pas di mata tukang ojek pangkalan, juga aku.
Aku merapikan resleting celana, lalu menyulut sebatang rokok. Kami berdua kini duduk bersama.
“Itu bonusnya, saya bawakan sembako dari calon bupati nomor urut satu.”
“Amplopnya sekalian, dong, Mas,” rengek Lela.
“Kalau mau amplop, harus ikut kerja dulu. Seperti saya, misalnya,” jawabku, merujuk pada kampanye terakhir dua hari lalu.
“Yahhh, saya ikut konvoi paslon dua,” keluh Lela.
“Emang kamu dapat berapa?” tanyaku penasaran.
“Lumayan, lima puluh ribu.” Lela terkekeh kecil.
“Sedikit itu. Paslon satu bisa lebih besar,” ujarku sambil menunjuk baliho setinggi pohon di seberang rel kereta.
Empat hari menjelang pemilihan kepala daerah, aku, sebagai salah satu anggota tim sukses, sedang sibuk mencatat dan memastikan ulang peta suara. Aku lebih sering bertemu orang-orang yang dapat dipercaya, bahkan terjun ke dusun-dusun jika benar-benar perlu. Seperti yang aku lakukan saat ini.
Di jalan raya, alat peraga kampanye mulai diturunkan. Namun, tidak dengan gubuk Lela. Bendera partai berwarna kuning berkibar pada bambu yang tingginya hanya tiga meter. Sedangkan di jendela gubuknya terpasang bendera partai berwarna hijau dan merah, atau mungkin masih banyak lagi yang ia gunakan sekadar untuk keset, lap, atau apalah dalam rumahnya. Pada pintunya tertempel beberapa stiker nama calon DPR hingga calon presiden dari berbagai warna partai dari tahun yang sama. Aku tidak kaget dengan penampakan gubuk Lela, sebab ia hanyalah simpatisan partai yang ingin menjual suaranya.
“Kira-kira Lela bisa bawa berapa orang?” tanyaku.
“Kamu lihat saja, Mas Warto, gubuk-gubuk yang berderet di sini aku yang pegang kepalanya,” jawab Lela sambil menunjuk deretan gubuk di sepanjang pinggiran rel kereta api. Bentuk dan luasnya hampir menyerupai gubuk miliknya.
“Berapa KK?”
“Saya tidak tahu pastinya, Mas, tapi kalau dihitung kepala, mungkin sedikitnya bisa sampai seratus lima puluh,” ujarnya sambil berpikir.
“Mereka dapat dipercaya?”
“Saya tidak berani memastikan, Mas, tergantung itu-nya.” Mata Lela melirik ke langit seolah ada yang memanggilnya.
Orang seperti Lela memang tidak patut dipercaya. Namun, dalam urusan mengacak-acak suara, omongannya patut diperhitungkan. Lima tahun lalu, aku juga pernah berurusan dengan banyak orang seperti Lela. Sayangnya, waktu itu aku terlalu mempercayai mereka.
“Saya bukannya tidak percaya sama Lela. Tapi begini saja, besok saya minta Lela kumpulkan fotokopi KTP orang-orang yang Lela sebutkan tadi,” ujarku sambil memegang tangannya seolah menaruh harapan. Namun, Lela nampaknya terbiasa dengan sentuhan yang lebih binal, sehingga yang kulakukan barangkali hanya akan dianggap sebagai godaan laki-laki kere.
“Begini, Mas. Minta KTP banyak orang itu perlu tenaga. Kalau nanti tiba-tiba aku mati kehausan, bagaimana? Sayang nanti suaranya tercecer ke mana-mana,” katanya sambil menggeser tanganku, lalu menyulut sebatang rokok dari saku kemejaku.
Aku sudah menduganya, orang ini pasti selicin ular. Lela tahu orang sepertiku membutuhkan massa sebanyak-banyaknya. Nampaknya, malam ini akan semakin panjang.
“Lela, saya perlu bukti dulu. Kalau kamu sanggup mendorong kemenangan, akan ada bonus lebih besar,” ucapku, meyakinkan, meskipun pada kenyataannya tidak semudah itu. Namun, setidaknya, jika menang, apa yang dijanjikan bisa ditagih.
“Aku tidak berani, Mas, kalau begitu. Bukan sekali dua kali saya dibohongi orang semacam Mas Warto. Janji-janjinya banyak, dari A sampai Z. Tetapi ketika sudah menang, boro-boro ingat dengan orang seperti kita. Makanya, saya minta uang di muka saja.” Lela mengisap rokoknya dalam-dalam.
Orang ini benar-benar licin.
“Begini, Lela. Saya berkali-kali mengurus hal-hal seperti ini, tetapi tidak satu pun orang yang kecewa dengan saya. Kamu boleh tanya kepada siapa pun yang kenal dengan saya. Kredibilitas saya terjamin. Lagian, urusan uang bukan perkara instan. Ingat kata pepatah, ‘Usaha tidak akan mengkhianati hasil.’” Sejujurnya, aku sedikit kebingungan. Aku hanya menambahkan sedikit bahasa diplomatis, barangkali dapat membuatnya terkejut.
Namun, Lela tidak bergeming. Ia hanya tersenyum menanggapi perkataanku yang arahnya entah ke mana. Aku menunggu ia berbicara. Hingga pada isapan yang ketiga, Lela baru membuka mulutnya.
“Sebaiknya kamu pulang saja, Mas. Aku ngantuk.” Lela berdiri, lalu menepuk-nepuk pantatnya.
Sesaat setelah Lela beranjak, kereta melintas, menggiring angin yang berembus kencang. Samar-samar terlihat beberapa lembar sampah melayang terkena sapuan angin.