Umpe … Umpe …
Undangna barat gedhe
Tak upaih banyu tape
Ora entong nggo anake
Nggo engko sore
Tiga bocah lelaki berkulit busik terus menyanyikan lagu itu. Berulang-ulang, dengan suara yang dibuat selantang mungkin. Berusaha menyaingi suara gendhing Kebo Giro yang mengalun kencang dari seperangkat pengeras suarayang tertata rapih di samping lapangan.
Ketiga bocah itu sebenarnya tak pernah tahu arti dari lagu yang mereka nyanyikan. Mereka hanya tahu lagu itu sering dinyanyikan oleh orang-orang yang lebih tua saat menerbangkan layang-layang. Salah seorang dari mereka juga mengingat bapaknya pernah mengatakan kalau lagu itu bisa memanggil angin barat yang akan membantu layang-layang mereka terbang lebih mudah.
Tak lama berselang, angin yang mereka tunggu akhirnya datang. Ketiga bocah itu bersorak gembira, mengabaikan debu-debu yang menghambur dari tanah lapang yang menjadi arena mereka menerbangkan layang-layang.
Salah seorang dari mereka, yang berbadan paling kecil, lekas berlari menjauh. Membawa layang-layang berbahan plastik bekas yang terikat tali senar. Langkahnya sempat terhenti saat dia tak sengaja menabrak seorang wanita paruh baya berbaju hitam yang kebetulan melintas di sisi lapangan. Tapi setelah mengucap kata maaf, bocah itu kembali melanjutkan tugas yang diberikan kepadanya. Meninggalkan si wanita paruh baya berbaju hitam yang tak bergeming dan terus melangkah mendekat ke arah tenda tempat hajatan digelar.
*****
Tak ada seorang pun yang menyadari kedatangan wanita itu. Semua orang terhanyut dalam suasana sakral yang tercipta diantara irama gendhing Kebo Giro. Para lelaki tampak duduk dengan tenang di kursi barisan depan, menghormati tuan hajat yang tak lain adalah tokoh agama terkemuka di wilayah itu. Sementara para wanita sibuk berbisik-bisik di barisan belakang, mengagumi kecantikan mempelai perempuan yang mengenakan kebaya putih dan jilbab panjang berwarna senada.
“Boleh saya duduk disini?” tanya si wanita berbaju hitam kepada seorang gadis kecil yang duduk di barisan bangku paling belakang.
Si gadis kecil hanya diam. Ibunya yang duduk di sampingnya lah yang menjawab pertanyaan si wanita paruh baya itu dengan anggukan sembari menyunggingkan senyum ramah. Tanpa berbicara apapun lagi, wanita paruh baya berbaju hitam itu pun duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. Matanya yang sendu lantas memandang lurus ke arah mempelai pria.
*****
Caraka berusaha meredam kegelisahan yang terus berkecamuk di dalam dadanya. Tentu saja tak mudah. Perasaannya justru semakin tak karuan, terlebih saat pandangannya beradu dengan sorot mata seorang wanita paruh baya berbaju hitam yang duduk di barisan bangku tamu undangan paling belakang. Dengan lemah, Caraka menggelengkan kepalanya yang berbalut songkok berwarna hitam.
Pemuda tampan itu berharap si wanita berbaju hitam mau berubah pikiran dan segera pergi. Tapi nampaknya harapan pria muda yang mulai dibimbing dukun pengantin untuk mendekat ke arah mempelai perempuan itu tak akan terwujud. Wanita itu terus bergeming. Hanya bibirnya yang begerak, menyunggingkan senyum ganjil yang tak disadari oleh siapapun kecuali oleh Caraka.
Gendhing Kebo Giro terus mengalun mengiringi langkah Caraka yang terasa semakin berat. Senyum dari gadis ayu putri Nyai Fatimah yang biasanya selalu berhasil menentramkan hatinya kini telah berubah. Hatinya justru perih bukan kepalang saat melihat senyuman manis di bibir gadis ayu yang baru saja sah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu itu.
“Maafkan aku,” desis Caraka lirih.
Hati kecil pemuda itu kian teriris kala melihat senyum tulus juga terkembang di bibir Nyai Fatimah dan Kyai Ulin. Padahal tak ada yang berubah dari senyum keduanya. Masih sama seperti lima belas tahun yang lalu. Saat mereka berdua dengan tangan terbuka menerima kedatangan seorang bocah lelaki yang mengaku bernama Caraka dan baru saja ditinggal mati oleh ibunya berdiri sendirian di depan gerbang pesantren.
“Maafkan aku, Pak, Bu.” lagi, Caraka hanya bisa mendesis lirih.
*****
Keringat dingin semakin membanjir di kening dan tengkuk Caraka saat sang istri berjongkok di hadapannya. Dengan lembut, putri semata wayang Kyai Ulin dan Nyai Fatimah itu meraih kaki Caraka. Jemarinya yang lentik tanpa ragu segera menyiramkan air dari bejana emas lalu mengusap kaki lelaki yang amat dicintainya itu dengan lembut.
Caraka benar-benar membenci dirinya sendiri. Dia ingin membawa istrinya segera pergi jauh dari tempat itu. Tapi si wanita paruh baya berbaju hitam yang duduk di barisan tamu undangan itu terus menatapnya dengan tatapan yang ganjil. Caraka pun tak punya pilihan lain.
Perlahan, Caraka merogoh saku jas yang ia kenakan. Dengan susah payah, tangannya yang gemetar akhirnya berhasil meraih sepucuk senjata api dari dalam sana dan langsung mengeluarkannya. Tanpa menunggu detik berganti, pistol itu segera memuntahkan peluru timah panas yang langsung bersarang di batok kepala gadis ayu yang baru saja sah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu.
Gendhing Kebo Giro terus mengalun. Tak peduli suasana yang semula sakral kini telah berubah menjadi kacau. Para perempuan yang sedari tadi sibuk berbisik-bisik di barisan belakang mulai berteriak penuh kengerian. Beberapa dari mereka bahkan tak sadarkan diri saat melihat darah segar mulai membanjiri kebaya putih yang dikenakan putri Kyai Ulin.
Caraka langsung jatuh berlutut di hadapan jasad gadis ayu yang baru saja sah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu. Tangannya mengepal, berusaha menahan kemarahan kepada dirinya sendiri. Tapi pertahanannya akhirnya runtuh juga.
“Persetan dengan dendam kesumatmu! Gadis ayu ini sama sekali tak bersalah, tapi kau malah memaksaku untuk menghabisinya.”
Caraka berteriak sekuat tenaga. Ia tak lagi bisa menyembunyikan kemarahan, terlebih setelah melihat ibu kandungnya yang berbaju hitam dan duduk di barisan bangku tamu undangan paling belakang itu justru tersenyum penuh kemenangan.
*****
Kyai Ulin segera menyadari apa yang baru saja terjadi. Tokoh agama paling dihormati itu semula ingin langsung merengkuh jasad putri kesayangannya. Tapi dia mengurungkan niatnya. Lelaki itu justru melangkahkan kakinya mendekati wanita paruh baya berbaju hitam yang duduk di barisan bangku tamu undangan paling belakang. Dengan suara yang bergetar, Kyai Ulin segera memberondong tamu tak diundang itu dengan pertanyaan.
“Aku sadar betul semua yang terjadi di masa lalu pasti sangat menyakiti hatimu, Sundari. Tapi kenapa harus putriku? Kenapa harus di hari pernikahannya? Dia sama sekali tak bersalah. Kenapa harus dia?”
Berbeda dengan suara Kyai Ulin yang bergetar, wanita paruh baya berbaju hitam itu malah tertawa keras-keras.
“Ya, putrimu memang tidak punya salah apapun dan aku tak pernah punya keinginan untuk menyakitinya. Aku hanya ingin membantumu. Agar cucumu kelak tak terlahir dari sperma seorang laki-laki yang di dalam tubuhnya mengalir darah seorang bromocorah.”
Tawa Sundari terus menggema. Perempuan itu tak peduli apapun lagi. Ia tak peduli pada segerombolan pria kekar yang segera meringkusnya. Tidak juga pada suara gendhing yang terus mengalun dan berhasil melempar ingatan wanita itu pada tragedi 28 tahun yang lalu.
*****
Seluruh pesantren tengah sibuk mempersiapkan hajatan besar putra semata wayang Nyai Chusni dan Kyai Rojali. Meski hatinya tercabik, Sundari tak punya pilihan lain. Ia pun memutuskan untuk terlibat membantu memotong bawang merah di dapur pesantren bersama beberapa santri putri lainnya.
Gadis berparas manis itu sengaja memilih untuk membantu memotong bawang merah. Dia akan buru-buru mengelak dengan mengatakan “Namanya juga memotong bawang merah. Sudah pasti akan bikin mata pedih begini,” saat ada yang tak sengaja memergokinya mengeluarkan air mata.
“Sundari, Nyai Chusni mencarimu,” kata seorang santri yang tiba-tiba sudah berada di belakang Sundari.
Sundari sempat ragu untuk bangkit. Tapi akhirnya gadis itu bergegas menuju ruangan tempat Nyai Chusni menunggu, meninggalkan sesiung bawang merah yang sudah dikupas tapi belum sempat ia potong. Sesampainya di depan pintu, Sundari segera berjongkok. Ia lalu melanjutkan sisa perjalanannya menghadap Nyai Chusni dengan cara berjalan menggunakan dua lututnya.
“Jujur saja aku sangat terkejut melihatmu masih bisa bertahan di tempat ini,” suara Nyai Chusni yang nyaring menyambut Sundari yang baru saja tiba.
“Nggih, bu. Ngapunten sebelumnya, apa benar Ibu memanggil saya?” tanya Sundari dengan kepala tertunduk.
“Ya, aku memang memanggilmu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal … ”
Nyai Chusni tak langsung melanjutkan ucapannya. Sundari pun tak berani mengangkat kepala. Hatinya terlampau bergemuruh hingga membuat mulutnya tak mampu untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin Nyai Chusni sampaikan.
“Aku sudah tahu apa yang terjadi antara dirimu dan Ulin, anakku yang paling aku cintai. Kau adalah seorang perempuan, sama seperti aku. Kelak, kau juga akan merasakan apa yang aku rasakan. Sebagai seorang ibu, aku hanya menginginkan yang terbaik untuk anakku.”
“Nggih, bu,” sahut Sundari lemah.
“Kau perempuan yang baik, Ndari. Sangat baik. Aku menyukaimu sejak pertama kali ayahmu datang mengantarmu ke pesantren ini. Kau gadis yang penurut, mudah diatur, dan tak pernah berbuat buruk. Hal itu juga lah yang membuat aku diam saja saat aku tahu kau menjalin kasih dengan Ulin, anakku yang paling aku cintai.”
Nyai Chusni kembali terdiam sejenak. Perempuan bermata teduh itu menunggu respon dari Sundari. Tapi setelah melihat gadis berparas manis itu hanya terdiam, Nyai Chusni kembali melanjutkan ucapannya.
“Harus kuakui kau memang punya paras yang ayu. Kau juga perempuan yang punya keluhuran budi. Tapi kita tak bisa melupakan asal muasalmu, Ndari.”
“Kau anak dari seorang bromocorah yang datang kemari mengantarkan putri semata wayangnya dengan membawa belati yang masih berlumuran darah selepas kembali membunuh orang lain. Dan aku, Nyai Chusni, tak akan membiarkan cucuku kelak terlahir dari rahim seorang perempuan yang di dalamnya mengalir darah seorang bromocorah.”
Sundari tak bisa berkata-kata. Hatinya kadung hancur dan semakin remuk setelah mendengar Nyai Chusni kembali melanjutkan ucapannya.
“Maafkan aku, cah ayu. Aku harap kau bisa mengerti. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk Ulin, anakku yang paling aku cintai. Dan aku harap juga, kau bersedia segera pergi dari tempat ini. Aku sama sekali tak pernah membencimu. Aku hanya ingin memastikan kau tak akan menganggu kebahagiaan Ulin dan Fatimah.”
Hati Sundari sakit bukan kepalang. Gadis berparas manis itu segera bangkit dan pergi tanpa pamit, melupakan semua pelajaran mengenai adab yang telah diajarkan oleh para pengajar di pesantren itu. Dia hanya ingin lekas pergi dari tempat yang telah ditinggalinya lebih dari dua puluh tahun, tak peduli meskipun kepergiannya itu tak membawa apapun selain tekad untuk membalaskan rasa perih di hatinya suatu saat nanti.
Cilempunyang, 31 Agustus 2023 23:59