

Dulu, waktu saya kecil, saya punya dua robot—satu tangannya patah, satu lagi kakinya hilang entah ke mana. Di kamar tidur saya dulu, saya menjadikan mereka panglima dan musuh, pahlawan dan penjahat dalam imajinasi yang saya mainkan sendiri. Robot pahlawan yang tangannya putus itu saya pilih bukan karena sempurna, justru karena cacatnya membawa kisah yang keren. Sementara robot penjahat yang kakinya hilang saya tempatkan sebagai ancaman yang juga pincang, tapi kuat dalam bayangan. Entah saya sendiri bingung kenapa saya memilih keduanya dengan posisi yang berbeda.
Setiap malam saya memainkan cerita, cerita seperti wayang saja. Tentang bagaimana sang pahlawan merangkak, meskipun cuma satu tangan, menghadapi sang penjahat yang terkangkang satu kaki. Siapa menang, siapa kalah—sampai seterusnya.
Waktu itu saya masih hidup di dunia yang sederhana. Nonton kaset animasi, baca buku anak, dengar cerita tentang Ultraman dan Batman yang rasanya nyata sekali meski sebenarnya fiksi. Imajinasi saya penuh: pahlawan dan penjahat jelas garisnya, terang. Dunia masih sederhana—robot patah versus robot pincang—gelap dan terang bisa dipisah.
Lalu masa remaja datang. Imajinasi itu pelan-pelan kalah oleh kurikulum. Buku pelajaran mulai masuk bahwa pahlawan adalah mereka yang “berjuang melawan penjajah”, yang menembak, berperang, mati demi negeri. Sosok “pahlawan” berubah: dari permainan bocah yang riang jadi foto yang terpampang di dinding kelas-kelas sekolah.
Saya membaca tentang bagaimana bangsa ini melawan Belanda, Jepang, dan seterusnya. Semua itu penting, tentu saja. Tapi bagi saya, ada yang hilang di situ: saya ditarik dari kebebasan imajinasi ke dalam narasi yang sudah diformat—rapi, final, tidak bisa diganggu gugat.
Sekarang, setelah dewasa, saya memandang ulang semua itu. Lalu belajar, kembali membaca. Apa sebenarnya “pahlawan”? Siapa yang pantas menyandang kata itu? Apakah hanya mereka yang memegang senjata, atau mungkin juga orang yang diam di tengah luka, tapi tetap menolong? Saya baca buku sejarah, perspektif sejarawan, arsip-arsip, saya baca banyak hal. Dan saya sadar: “pahlawan” bukan hanya soal keberanian, tapi juga soal konstruksi sosial. Soal siapa yang menulis sejarah, dan dari posisi mana ia menulis.
Dan kini, setelah saya terbangun dari tidur semalaman, 10 November 2025, pemerintah resmi memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto— mantan presiden kedua Republik ini. Dan saya pikir, ini bukan sekadar keputusan administratif. Ini pengkhianatan terhadap akal sehat sejarah. Tamparan bagi memori kolektif bangsa. Dan pengingat, bahwa negara ini belum sembuh dari luka-luka yang menganga.
Saya menyebut ini sebagai kegagalan moral. Negara gagal memahami luka, gagal menghormati korban, gagal menimbang bobot kejahatan yang lahir dari tangan besi Orde Baru. Negara memilih jalan paling mudah: memutihkan sejarah dengan tinta kekuasaan.
Gelar “pahlawan” jadi semacam kosmetik, bedak tebal untuk menutupi masa lalu yang masih berlumur darah dan air mata.
Dan ironinya, imajinasi anak kecil saya dulu—tentang robot patah dan robot pincang—ternyata jauh lebih jujur daripada narasi negara. Pahlawan dalam imajinasi saya berjalan meskipun terluka. Ia bukan ikon di monumen, bukan diktator yang dilupakan dosanya karena pernah menstabilkan ekonomi. Ketika negara menobatkan seseorang yang masa lalunya dipenuhi pembungkaman, korupsi, dan pelanggaran HAM, itu bukan penghargaan. Itu penistaan terhadap makna “pahlawan” itu sendiri.
Saya ingat lagi robot saya. Pahlawan dengan tangan patah, penjahat dengan kaki hilang. Dua-duanya cacat, tapi tetap hidup dalam tangan saya. Mereka berjuang, gagal, tapi terus mencoba. Dunia kecil saya dulu lebih bermoral dibanding logika negara hari ini. Karena Soeharto bukan korban sejarah—ia penulisnya. Ia yang mematikan suara banyak orang, dan kini, ironisnya, kembali disakralkan oleh negara.
Ia punya jasa. Operasi Irian Barat, pembangunan ekonomi. Itu fakta. Tapi jasa tidak bisa jadi alasan untuk menghapus dosa. Karena di balik stabilitas yang diagungkan itu, ada ribuan yang dibungkam, dihilangkan, disiksa, dipenjara. Apa arti pertumbuhan ekonomi kalau dibangun di atas ketakutan itu sendiri?
Maka ketika pemerintah hari ini mengangkatnya jadi pahlawan, yang saya lihat bukan penghormatan. Yang saya lihat justru: pemutusan tangan sejarah. Negara memilih pahlawan yang patah karena kekuasaan, bukan karena keberanian. Patah bukan oleh perjuangan, tapi oleh kerakusan itu sendiri.
Di kontrakan, setelah terbangun dari tidur semalaman, saya duduk menatap ulang tentang gonjang-ganjing ini, tentang penulisan ulang sejarah, tentang berita-berita di media sosial yang ramai tentang gelar pahlawan ini dan beberapa nama-namanya.
Kadang saya merasa bangsa ini seperti robot saya dulu—patah, tapi masih ingin bergerak. Terluka oleh sejarah, tapi pura-pura utuh. Keputusan ini menunjukkan kita belum selesai bermain-main dengan imajinasi pahlawan dan penjahat. Kita masih terjebak di pola lama: hitam-putih, baik-jahat. Padahal hidup tidak sesederhana itu.
Yang lebih menakutkan adalah ketika negara menghapus kerumitan itu. Ia menyederhanakan lagi demi kepentingan politik. Penguasa hari ini ingin kita melupakan bahwa Soeharto adalah penguasa yang menjadikan ketakutan sebagai sistem. Ia ingin kita menutup mata terhadap Tanjung Priok, Talangsari, Timor Timur, penculikan aktivis, pembungkaman media, pelapisan sosial yang menciptakan kemiskinan struktural. Semua itu kini dicuci bersih dengan satu gelar: pahlawan.
Dan saya pikir, ini puncak ironi bangsa yang kehilangan arah moral. Ketika “pahlawan” diberikan kepada tangan yang dulu menggenggam kuasa terlalu lama. Ketika sejarah jadi alat legitimasi, bukan ruang refleksi. Ketika pengampunan diberikan tanpa kejujuran, dan penghargaan tanpa penyesalan.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah undangan kecil. Undangan untuk menjaga imajinasi kita tentang pahlawan tetap hidup. Bukan pahlawan yang diseragamkan oleh negara, tapi pahlawan yang tumbuh dari luka, dari keberanian menolak kekuasaan yang lupa pada kemanusiaan. Biarkan kita belajar dari yang patah, bukan dari yang pura-pura utuh.
Karena cuma bangsa yang berani menatap cacatnya sendiri yang bisa sembuh.
Dan kalau hari ini Soeharto disebut pahlawan, maka saya lebih percaya pada robot saya waktu kecil—yang tangannya patah tapi tetap berjuang melawan ketidakadilan dalam imajinasi bocah. Setidaknya, robot itu jujur pada lukanya. Negara ini belum.
Lawan!