Setelah pulang dari shalat Jumat, saya mencari lauk untuk makan siang. Di warung, saya bertemu dengan teman SD. Kabar terakhir yang saya dengar, ia menjadi pengusaha perabot sukses di Brang Lor. Kabar itu membuat saya bahagia, dan sekarang ia berada di depan saya. Kami pun bersalaman, menanyakan kabar satu sama lain.
Lalu, saya melanjutkan obrolan, “Sira sekie ning ndi?” tanyaku basa-basi. (Terjemahan: “Kamu sekarang tinggal di mana?”)
“Ning Brang Lor, Tung.” (Terjemahan: “Di Brang Lor, Tung.”) Tung adalah nama kecil saya dulu. Entah mengapa ia masih mengingatnya.
“Skie ning lor, ning umah kontrakan!” jelasnya. (Terjemahan: “Sekarang di sini, di rumah kontrakan!”)
“Oh, yawis, ngko kapan-kapan mampir lah,” kataku. (Terjemahan: “Oh, baik, nanti kapan-kapan mampir ya.”)
“Iya wis, dolan bae, ngko tak sediana, kopi apa pengene?” jawab Uki yang sedang membantu ayahnya naik motor.(Terjemahan: “Baiklah, silakan datang, saya siapkan, kopi atau apa yang diinginkan?”)
“Iya Insya Allah, ngko bengi dolan mono! Iya wis, beneran kih, ditunggu!” (Terjemahan: “Iya Insya Allah, nanti malam saya datang! Baiklah, serius iya, ditunggu!”)
“Iya,” imbuh saya.
Kunjungan ke Rumah Uki
Niat saya berkunjung adalah ingin mendengar cerita-cerita hebatnya ia meraih kesuksesan itu. Maka, saya pun bersemangat untuk berkunjung ke rumahnya mendengar petuah-petuahnya yang ampuh. Sejauh pengetahuan saya, karena Uki telah sukses duluan di angkatan kami, saya pun ikut mencatat kiat-kiatnya agar cepat sukses seperti dirinya.
Saya datang dengan motor Black Saber, saya menyapu pandangan ke kiri dan kanan mencari Uki tapi tak ada dan saya melihat ada ibu dan istri Uki yang sedang duduk di teras rumah. Di situ, saya langsung menyapa di hadapannya. “Bi, Ukie ndi?” tanyaku sambil lirik ke kiri dan kanan. (Terjemahan: “Ibu, Uki di mana?”)
Ibunya melihat saya dengan lamat-lamat. Dalam hatinya, ia tak tahu siapa yang datang bertamu itu. Ibu Uki menunjuk ke arah mobil perabotan di samping rumah. Lalu, Uki pun datang. “Hai, Bro!” sapanya dengan semangat.
Uki pun menyuruh istrinya untuk membuatkan dua kopi dan saya dipersilahkan duduk. Ia terlihat sibuk dengan dunianya.
Obrolan kami tidak fokus, karena Uki harus menaruh barang-barang yang berantakan di rumahnya. Ia tak sekali dua kali minta izin padaku untuk membereskan barang-barangnya yang berserakan itu. Ketika berlalu-lalang pun, Uki selalu berkata, “Sabar, setetik maning kih!” (Terjemahan: “Sabar, sebentar lagi ini!”)
Saya pun cukup mengerti dan hanya tersenyum.
Ketika basa-basi sudah habis, Uki mengarahkan pembicaraan ke arah perjodohan. Kami pun larut dalam obrolan itu. Ia menceritakan awalnya ketemu dengan sang istri yang sekarang sedang hamil enam bulan. Ia juga menambahkan bahwa ia sebentar lagi mendadakan memitu (syukuran tujuh bulan pada ibu hamil), di rumahnya itu. Uki turut mengundang saya dan saya mengindahkan saja undangan tersebut.
Konsep Pasangan Ideal
Karena kabar nikahnya saya tidak mengetahuinya. Saya pun mencoba bertanya pada Uki, kenapa ia begitu yakin memilih pasangan sebagai istrinya.
“Kenapa kau memilih wanita itu? Apakah sebelumnya, kau mengenalnya atau kau dijodohkan oleh orangtuamu?”
Uki pun tersenyum saat hendak menjawab pertanyaan saya itu. “Iya karena sudah jodoh, mau gimana lagi?” Tukas Uki. Saya pun tidak puas dengan jawabannya yang begitu singkat. “Padahal, aku mengenalnya begitu sebentar, tak membutuhkan waktu lama. Kita pun menikah,” kata Uki melanjutkan.
Saya pun skeptis dengan kata “jodoh” itu. Menurut saya, kata jodoh ini belum final, ia serangkaian kata yang masih dalam proses menuju kebahagiaan. Orang-orang mengultuskannya sebagai kata yang harga mati dan tidak bisa diganggu gugat. Lain daripada yang lain, saya tidak setuju dengan pendapat itu. Saya memiliki pemikiran sendiri perihal kata jodoh itu.
Kenapa saya begitu kukuh perihal ini, karena saya kesal kerap kali ketika bertanya soal pernikahan dan kata-kata ultimate-nya adalah, “Kalau sudah jodoh, mau dibawa ke mana pun ya tetap jodoh.”
Shut your fucking mouth, asshole!
Apakah ia tidak memiliki alasan lain ketika kata yang menurutnya itu final dapat disangkal dengan mudah? Mungkin ia telah mengultuskan kata itu begitu sakral sehingga tidak bisa digugat oleh sangkalan apa pun atau bagaimana?
Refleksi Pribadi
Saya pun sedikit bertanya perihal ia menikah. Tentang bagaimana awalnya ia bertemu, pendekatan sampai meminta izin pada orangtua perempuannya. Begitu singkat, ia menjelaskannya mengingat pertemuan itu begitu singkat dan tidak ada hal yang istimewa menurutnya untuk bisa diceritakan.
Saya kembali mengarahkan pembicaraan itu perihal jodoh. “Kenapa kau menikah begitu cepat?” tanyaku masih penasaran.
“Iya apalagi yang harus ditunggu. Semua sudah berada di depan mata.”
“Kau tak memiliki kriteria untuk perempuan seperti apa yang kau inginkan?” kataku.
“Iya punya, tapi aku sendiri menghancurkan idealismeku sendiri perihal itu. Aku memutuskan untuk segera menikah. Karena jika menunggu lagi dan menuruti apa yang menjadi keinginanku, mungkin aku tak sampai pada saat ini.”
Saya mulai paham dengan konsep yang ada di kepala Uki perihal itu.
Dari kata-kata itu, saya pun merenungkan dalam batin. Pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepala saya seolah menggemuruh-riuh. Saya merasa salah dengan keputusan ini dengan tidak menikah dan menyesalkan kenapa saya tidak mengambil keputusan saat itu—segera menikah dengan pilihan orang tua saya dulu.
Mungkin, saya tidak akan seperti ini. Saya pun terus menyalahkan diri sendiri hingga larut malam. Saya terus merenung sambil menyesap kopi yang semakin dingin.
Baru saya sadari, bahwa ada jalan baru yang harus saya lewati berkali-kali dan tidak bisa melewatinya dengan mulus, selalu saja terjatuh di tempat itu-itu saja. Ya, benar mengambil keputusan. Apakah saya belum teramat pintar hingga mengambil keputusan saja belum bisa? Mungkin ada rencana lain yang disiapkan oleh Tuhan agar saya benar-benar siap menerima kebahagiaan itu?
Sendiko dawuh Uki (saya menurut titah Uki), karena ia menjadi parameter saya di kalangan teman-teman saya sendiri. Menurut saya, ia sudah sangat benar menjalani kehidupan seperti itu. Berpikir tidak realistis memang perlu tapi ada yang lebih urgent lagi yaitu berpikir lebih realistis untuk menjalani kehidupan ini.
Pada akhirnya, idealisme saya runtuh berkeping-keping. Saya telah terjebak di zona nyaman ini selama bertahun-tahun. Bermain di kubangan lumpur yang manis dan menyenangkan, seperti babi yang selalu bergembira ketika menemukan kubangan yang baru.
Tapi, saya tidak mau seperti babi yang bahagia berada di zona nyaman. Lebih dari itu, saya harus menjadi manusia yang ketika dilihat orang adalah seorang manusia yang utuh, tak kurang dan tak lebih.
Yogyakarta, 24 Januari 2024.