Saat kafe Kilas Balik memutar Mature World dari band Indie Cikampek, Man & Tears, aku sedang membakar rokok hasil mengutil dari meja bar. Aku tidak tahu apakah Jon sedang berhemat atau dia memang pelit belakangan ini, tapi pindah rokok dari Garam Filter ke Djarum Super, harusnya lebih sulit dari pindah agama. Hanya seseorang dengan tekad seorang biksu yang bisa melakukan itu atau dia hanya pelit saja.
Sekira empat isapan panjang, saat Jon bersiap meracik Cappucino pesananku, sebuah dentuman melahap bunyi petikan gitar Egi Tansil dari Man & Tears.
Bummm!
Suaranya terasa tebal dan dalam, gemanya terdengar nyaris selamanya…
Aku pernah dengar suara tengkorak dilindas truk, Innova merah menabrak tiang listrik, dan ban Fuso meletus. Dentuman ini berbeda. Ia lebih mirip letusan gunung, hanya dengan getaran yang lamat-lamat di telinga.
“Kau dengar itu?” tanya Jon sambil mematikan grinder: menjeda gilingan kopinya.
“Seseorang meledakkan Waduk Jatiluhur,” jawabku.
“Sia ‘make’ ya?
Tanpa menunggu aku jawab apa, grinder nyala lagi.
“Duniaaa… berakhirlah…!” lengking Oca di vocal.
Aku tidak mabuk, tapi beginilah pikiranku mengurainya…
Ledakan besar terjadi dekat-dekat sini. Dari barat. Kalau bukan dari arah Plered, di mana gunung-gunung aktif di Purwakarta berada, dari arah Jatiluhur. Aku jadi teringat temuan bom panci di Jatiluhur sekitar 2016 lalu. Bom panci, namanya. Media lokal kadang-kadang lucu juga.
Dua menit kemudian, saat Oca melengkingkan kata, “Lepaaas” di tengah-tengah lirik, suaranya tenggelam mendadak. Pas dengan mati lampu. Aliran. Mesin grinder kopi ikut berhenti.
“Tahi!” umpat Jon. “Mau nunggu dulu, atau kubuatkan v60 saja?”
Aku mengangguk.
Jon, mengulang pertanyaannya lagi, “Hei! Mau nunggu listrik nyala, atau kubikinkan V60 saja?”
Oh iya mati lampu. Pantas dia tidak melihat anggukanku. “Boleh.”
Ini sudah dimulai. Aku membuka layar handphone, tidak ada sinyal. SMS lima menit yang lalu, “Senang bertugas di sisi anda, Capt. I love you.”
“Jon!” seruku ke arah bar. Dari senter handphone-nya aku bisa melihatnya terkaget. Ia sedang menuang air panas ke gelas server, ia sedikit kecipratan.
“Apaan, anjing?!” sahutnya setengah mendengus ke arahku.
“Kau ingat, beberapa waktu lalu, kau tanya bagaimana cara melenyapkan Karawang, kan?”
“Ya, katamu, ‘Ledakkan saja turbin 8 dan 4 Waduk Jatiluhur.'”
Aku menyambung dengan batang kedua, menyalakannya dengan sisa bara rokok pertama. Djarum Merah yang sama kukutil dari barnya.
“Jika seseorang meledakkannya saat ini. Bekasi dan Jakarta juga akan ikut lenyap direndamnya,” kataku lanjut.
“Biar saja. Aku tak pernah suka Jakarta dan Bekasi. Kota itu sepertinya terlalu kering. Bagus juga kalau diairi.”
Kopi sudah siap di server, dengan baki berisi kopi dan dua sloki di kirinya, tangan kanannya menyorot dengan lampu handphone ke arahku.
“Baik, aku bisa lihat wajah orang baru ‘make’ sekarang.”
Aku nyengir saja menanggapinya, ia tak salah, aku cuma “make” sedikit sebelum berangkat ke sini.
“Menurutmu itu yang sedang terjadi sekarang?” tanyanya sambil mengulurkan tangan, meminta rokokku untuk dijadikan korek, kulihat mukanya disapu warna merah bara.
“Apa kau sudah telepon May, Nik?”
Sebenarnya aku mau bilang, “Tidak, aku tak akan menelpon orang itu,” tapi ada yang lebih penting: sinyal hilang sejak dentuman.
Aku menampilkan layar handphone-ku ke mukanya, ia masih tampak bingung. “Sejak dentuman tadi, hapeku hilang sinyal. Lihatlah hapemu sendiri.”
“Wah anjing, Nik!” Nadanya penuh ledekan. “Seriusan ini?”
Kuangkat bahuku, tentu saja ia tak melihatnya. Masih aliran. Aku menghirup aroma kopi dari server dan menuangkannya ke sloki dengan bantuan cahaya handphone.
“Kalau betul waduk itu jebol dan membanjiri Karawang dan Bekasi, aku akan memanggilmu yaa… Nabi.”
“Tak usah! Aku sudah punya teman yang mengaku Nabi. Sini kan rokokku!”
Bummm!
Dentuman kedua meledak. Lebih besar dan tebal. Dengan gempa kira-kira selama dua kejapan mata.
“Gempa bumi?” Jon bertanya pelan, seakan ia sedang bicara pada dirinya sendiri. Aku menggeleng, itu ledakan kedua. Kali ini agaknya ia melihat gelenganku.
“Boleh aku memelukmu, Nik?”