Tak Ada Badak di Rumahku

Seekor badak tidak mengetahui kalau dirinya adalah badak. Kalau badak itu diberi nama Handoko, ia tak akan tiba-tiba mengenalkan dirinya sebagai Handoko ke rekan-rekan sesama badak. Badak tidak butuh nama. Tidak perlu identitas. Bahkan bila ia, barangkali karena peristiwa mutasi genetik ala X-Men, punya kemampuan bicara bahasa manusia.

Di Ragunan, aku kenal seekor badak yang doyan makan. Badak makan rumput. Tapi mereka punya kulit keras dan jadi lambang ketebalan. Muka badak, misalnya, adalah lambang buat orang-orang yang tebal rasa tidak malunya. Meski begitu, aku tidak terlalu bisa membedakan mana badak yang kukenal doyan makan itu saat ia sedang tidak makan dan sedang bergerombol dengan kawan-kawannya. Badak yang doyan makan hanya bisa dikenali saat ia sedang makan.

Di masa lalu, badak ini mungkin reinkarnasi dari pohon jeruk, atau rumput, atau buah kelapa, atau trenggiling, atau buaya. Siapa yang tahu, siapa yang bisa memastikan. Kecuali tentu saja Tuhan. Tapi, kamu tahu, Tuhan terlalu jauh untuk dijangkau bahasa manusia. Meski di tempatku, orang-orang mulai mengaku bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Bahkan bisa menerjemahkan firman-Nya.

Aku tidak tahu, saat mereka bicara atas nama Tuhan, sesungguhnya siapa yang bicara, ia atau Tuhan yang meminjam mulutnya. Kalau yang kedua itu benar, aku tidak bisa bayangkan, kenapa Tuhan mau repot-repot bicara menggunakan mulut ciptaan-Nya. Rumit betul kan? Makanya tadi aku bilang, Tuhan terlalu rumit untuk dijangkau bahasa manusia.

Sebelum-sebelumnya, aku belum pernah ke kebun binatang. Mamahku seorang pengacara. Papahku punya pabrik pengolahan tenaga dalam di rumah. Kamu tahu, aku ini anak dari hasil hubungan seorang ahli hukum dengan ahli kebatinan. Jadi wajar jika di usia 15 tahun, aku mulai malas jalan-jalan ke luar negeri, puncak gunung, taman, dan pantai. Itu terlalu biasa. Aku ini anak ahli hukum dan ahli kebatinan. Sejak lahir, aku jelas-jelas beda dari anak lain. Aku spesial. Makanya, aku memilih mengunjungi kebun binatang. Tidak ada alasan khusus, sih. Kebun binatang kan jarang dikunjungi orang. Lagipula, kenapa ada orang repot-repot mengurung hewan dengan alasan edukasi? Tidak masuk akal dan buang-buang waktu. Mereka saat ini harusnya sudah mulai mengurung manusia di tembok-tembok tinggi, memberi makan, dan merampas waktu orang-orang atas nama kesejahteraan. Aku rasa, lebih asyik mempelajari manusia ketimbang badak.

Pemerintah Cina, katanya, menghabiskan miliaran rupiah untuk merawat belasan ekor panda. Lucu sekaligus goblok ya?

Orang-orang memilih memberi makan hewan yang mereka anggap lucu, ketimbang memberi makan pengemis yang sama sekali tak ada lucu-lucunya. Di Indonesia juga, kabarnya, ada orang yang menghabiskan jutaan rupiah untuk memberi makan seekor kucing. Ya, aku setuju kalau orang akan menghabiskan banyak uang untuk hobinya. Untuk sesuatu yang mereka sukai. Sampai ada kan laki-laki usia 30-an yang buang uang 1,5 juta untuk membeli air mineral bekas idolanya dalam sebuah acara lelang amal.

Manusia memang merepotkan, itu sebabnya, pantas dipelajari. Kalau aku ada uang banyak nanti, aku mau mengurung manusia di dalam wadah plastik transparan. Yang aku kurung, tentu hanya manusia-manusia lucu saja. Papa dan mamak tidak termasuk. Mereka tak ada lucu-lucunya. Mama apalagi. Ia selalu saja menunjukkan muka marah tiap ada di rumah.

Mereka selalu membahas tentang mencari pekerjaan layak atau mengabdi untuk kemanusiaan. Mereka lupa bahagia. Kapan-kapan, aku ingin mengajak mereka ke kebun binatang. Melihat badak yang sudah sedemikian bahagia hanya dengan rumput. Malas-malasan tanpa memikirkan kemanusiaan, profesi, duit, dan hal-hal bikin repot lainnya. Tapi mereka selalu sibuk berkelahi. Mereka selalu senang bicara daripada mendengar. Lebih senang membanting perkakas pecah belah ketimbang memeluk satu sama lain. Bikin kesal saja.

“Rumi, kamu sudah makan belum?” Seekor badak mendekat. Mukanya pucat. Eh tidak deng, muka semua badak kan pucat dan penuh kerutan. Seolah-olah, mereka adalah kakek nenek kita di masa lalu.

Aku kebetulan tidak punya kakek-nenek, atau sesuatu seperti itu. Katanya, kata bibi pembantu, Kakek dan Nenek tidak setuju dengan pernikahan Papa dan Mama, atau sesuatu seperti itu. Aku kurang ngerti. Bodo amatlah.

“Tahu apa kamu soal makan? dasar badak!” Aku balas keramahan itu dengan nada marah. “Jangan banyak basa-basi.”

“Kalau gak makan, nanti kamu sakit.”

“Jangan atur-atur aing.”

“Oh gitu. Ya sudah. Aku mau tidur dulu ya.”

Badak itu pamitan. Ngeluyur pergi. Ia tak marah. Ada yang bilang, menjadi vegetarian bisa menekan hormon-hormon pemicu kemarahan. Ini menjelaskan kenapa manusia veggie, gajah, badak, brontosaurus, jarang marah-marah. Papa dan Mama harusnya jadi vegetarian saja. Makan brokoli dan oseng-oseng wortel muda.

Ada badak-badak lain mendekat. Ada yang tanya soal kabar. Ada yang bahas soal cuaca Jakarta yang kian hari kian panas. Ada yang merekomendasikan rumput paling enak di antara rumput lain. Katanya, rumput enak itu selalu dari tangan Pak Robby, salah seorang petugas Ragunan.

“Jangan-jangan, jari Pak Robby itu mengandung sumber kenikmatan surgawi,” katanya. “Semoga Pak Robby selalu sehat sehingga tidak pernah mengambil libur! Semoga dia selalu diberi lembur oleh atasan!”

Si badak ini ternyata egois ya? Sama seperti mamah dan papah, ternyata. Aku jadi kesal. Tambah kesal.

Kamu jangan pikir macam-macam ya. Seperti misalnya aku bakal mengurung mamah dan papah di jeruji besi. Memberi mereka makan rumput. Tidak. Aku tidak punya pikiran semerepotkan itu.

Aktif berproses di Teater Gabung dan Semesta Literasi. Menebar kejahatan dan kemaksiatan adalah visi hidupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like