Program makan siang gratis yang gencar dikampanyekan sebagai program utama presiden terpilih, secara tak langsung mengingatkan saya ke salah satu film, judulnya The Platform.
The Platform menurut saya dapat menambah sudut pandang terhadap program makan siang gratis. Pasalnya, di film ini digambarkan bagaimana pembagian makanan dapat membawa segudang masalah baru. Alegori sistem kelas dan interpretasinya soal makanan, bikin saya tergelitik untuk mengaitkannya dengan program makan siang gratis.
The Platform sendiri merupakan film asal Spanyol yang menceritakan tentang penjara vertikal yang dibuat bertingkat sekitar 300 lantai, dan dalam satu lantai ditempatkan dari 2 tahanan. Dimana setiap harinya akan ada platform ─atau apa yaa istilahnya, bisa dibilang lift otomatis berisi hamparan makanan yang naik-turun lewat celah kotak di setiap lantai.
Peraturannya, tahanan di setiap lantai cuma dikasih waktu beberapa menit saja buat makan. Setelah itu, lift akan terus turun berurutan sampai lantai paling bawah. Tapi, para tahanan gak boleh membawa makanan dari lift untuk ditimbun di lantai mereka, jadi harus dimakan saat itu juga, sebelum lift turun ke lantai selanjutnya. Kalau mereka melanggar, maka ruangannya akan menjadi sangat panas, cukup panas untuk membakar kulit para tahanan.
Nah, layaknya kapitalisme, mereka yang punya kapital/modal atau punya akses ke sumber daya akan sangat diuntungkan. Begitupun dalam film ini, tahanan yang berada di lantai paling atas, dapat makan secara membabi-buta tanpa memperdulikan tahanan yang di lantai bawah bakal kebagian atau enggak. Di titik inilah kesenjangan terjadi.
Lalu bagaimana dengan tahanan di lantai 100 ke bawah? Yaa… hanya bisa gigit jari, atau paling tidak, gigit jari rekan tahanannya (secara harfiah). Karena memang makanan yang disajikan gak pernah cukup sampai lantai bawah. Boro-boro cukup sampai lantai paling bawah, lantai 50-an saja paling cuma kebagian sisa-sisa makanan yang sudah terinjak-injak oleh tahanan di lantai sebelumnya. Jadi, para tahanan yang di lantai bawah ini bakal bertahan hidup dengan cara apapun. Termasuk jadi kanibal sekalipun.
Sebenarnya, tiap bulan, para tahanan ini saling berpindah lantai secara acak. Kalau kalian pikir, mereka yang pernah di lantai bawah terus pindah ke lantai atas bakal iba ke tahanan lain di lantai bawah, karena pernah merasakan “Aing ge baheula pernah aya di posisi maneh”. Duh, kalian salah besar. Bagi orang yang mempertaruhkan hidup hanya untuk sekedar bisa makan, kata “keadilan” itu nadanya sumbang.
Kalau kata penjaga lapasnya, sih, sebenarnya makanan itu bakal cukup sampai lantai paling bawah kalau para tahanannya mengambil makanan sesuai porsinya. Menurutnya kerakusan para tahanan lah yang bikin makanan gak pernah tersisa ke lantai bawah.
Atas dasar inilah, karakter utama di film ini, yaitu Goreng (Ivan Massague) ─Serius inimah, memang namanya Goreng─ ngide untuk turun ke tiap lantai bersama lift makanan guna membagi rata porsi makanan kepada tiap tahanan dan mengancam membunuh siapapun yang makan gak sesuai porsi. Singkatnya sih, Goreng mau mengubah praktik kapitalisme menjadi praktik sosialisme.
Namun, aksi heroik Goreng terasa sia-sia. Para tahanan di lantai atas merasa, bukan salah mereka berada di atas, tapi salah sistem yang pernah menempatkan mereka di lantai bawah. Tak dapat dipungkiri, walaupun berada di tengah situasi yang sama, terkadang manusia tetap punya gap. Dan siklus ini tentunya gak bisa dirubah secara instan. Ironisnya, Goreng justru malah menciptakan figur otoriter dalam dirinya. Sedangkan tiran, hanya memupuk dendam.
Di sisi lain, para pemberi makan, gak mau tahu-menahu apa yang terjadi kepada tahanan. Mereka gak mau memandang sekacau apa keadaan yang terjadi di bawah sana. Bagi mereka, yang penting mereka sudah menjalankan tugasnya untuk memberi makan para tahanan.
Jika diasosiasikan dengan program makan siang gratis. Pada film ini, kegagalan pemberi makan dalam memandang permasalahan sistemik lah yang menjadi poinnya. Takutnya, pemerintah merasa dengan memberi bantuan produk fisik saja seolah sudah berhasil menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya kompleks.
Belum lagi jika bicara anggaran yang ditaksir mencapai 450 T. Pastinya rawan sekali menciptakan kesenjangan baru. Dan lagi, takutnya, pemerintah enggan untuk melihat ke bawah dan hanya menjadikan jalannya program menjadi tolak ukur keberhasilannya saja. Tanpa benar-benar memperhatikan akar masalah dan situasi-kondisi masyarakat.
Lagi, saya tegaskan, ini cuma sekedar refleksi dari film The Platform yang kebetulan punya representasi yang cocok dengan program makan siang gratis. Jujur, sebenarnya makan siang gratis merupakan program yang bagus, bila ditinjau dengan analisis kebijakan yang bagus pula. Hanya saja, sangat disayangkan jika apapun masalahnya, makan gratis solusinya. Eh.