Rasanya sudah lama saya tidak menyimpang (sunda: singgah) ke laman ini. Sebab kabar terakhir yang saya dapat bulan-bulan lalu Nyimpang sedang rehat sejenak. Baru beberapa siang silam, Farid si redaktur jadi-jadian itu mengirim pesan, meminta saya menulis di Nyimpang.
Ah, kabar gembira tentunya. Berarti media yang digandrungi kaum indie nan edgy ini sudah bisa kembali dinikmati. Segera malamnya saya berselancar ke situs ini, dan… wow, Nyimpang berubah menjadi tampak UwU syekali~
Wajah baru Nyimpang dengan warna merah muda yang dominan membuat saya bertanya-tanya, mengingat tampilan sebelumnya tidak begini. Saya mencoba menerawang, menelaah, menerka-nerka maksud di baliknya. Tidak sebentar. Butuh waktu berjam-jam sampai menghabiskan rokok berbatang-batang, hingga kemudian saya menemukan sebuah pikiran tentang pesan-pesan tersirat apa di balik warna pink itu. Kalau mau sok ilmiahnya, ya pesan sementiknya lah.
Barangkali pada warna, logo, dan gaya kontennya yang baru bagi Nyimpang ini, kalian melihatnya hanya sebagai pelengkap keindahan seni grafis saja. Tapi jauh di balik itu, secara estetika saya melihat Farid dan timnya sedang menyisipkan pesan yang luhur. Jiah~
Tegasnya, Nyimpang memang dimaksudkan hendak melenturkan cara berpikir kita yang kadung kaku. Apakah ini dia akhirnya? The New Nyimpang yang baru saya sadari.
Mengapa saya berasumsi demikian? Begini, harus diakui, hingga kini di kepala banyak lelaki (bahkan perempuan) masih saja ada yang beranggapan bahwa warna pink identik dengan perempuan. Dan kesan yang muncul dari pink ini adalah ia harus tampil syantik dan manjah. Sedangkan kita semua tahu Farid si Pemrednya ini adalah lelaki tulen yang gagah.
Nah, Nyimpang dengan tampilannya yang baru ini, ingin menghilangkan stereotip itu. Menetralkan kembali cara pandang masyarakat bahwa warna bukan milik gender tertentu. Wih~
Sebagaimana prinsip dasar feminisme bahwa lelaki dan perempuan setara, punya hak yang sama, termasuk dalam hal ini adalah pemilihan warna. Kukira keberadaan Yayu NH, Fredelia, Farid, dan lebih banyak lagi yang ternyata juga tergabung di kolektif studi gender “Swara Saudari” juga memengaruhi sikap utama media ini.
Lagipula, warna tidak punya nilai. Dia pasif, tidak bisa memilih kepada golongan siapa harus dilekatkan. Manusialah, sebagai mahluk yang memiliki kehendak bebas, yang berhak menentukan sendiri baju warna apa yang ingin dipakai, atau celana warna apa yang hendak dikenakan, dan seterusnya. Warna tidak boleh dimonopoli, ia milik bersama. Tidak boleh ada yang membatasi, apalagi sampai melarangnya. Pun tidak boleh diberikan stigma tertentu kepada pemakainya.
Saya juga tidak setuju dengan mereka yang kerap kali menghubungkan warna dengan manusia. Katanya mampu membaca sifat, karakter, atau kepribadian manusia dari warna favoritnya. Preeettt… kentut!!!
Semisal, hitam artinya jahat. Atau merah berarti berani. Teman saya suka sekali dengan warna hitam tapi dia baik, sering meminjami saya uang. Teman saya yang lain suka warna merah, tapi dia penakut saat harus ke kamar mandi tengah malam sendirian. Teman saya yang lainnya lagi bahkan tidak punya warna favorit. Setelah saya cari tau, ternyata dia buta warna. Artinya, pemahaman semacam itu tidaklah benar secara ilmiah alias pseudosains sains pura-pura, atau falacy, sesat pikir.
Jangan meremehkan perkara warna. Ingat kasus rasial yang terjadi di Amerika Serikat beberapa tahun silam. Perang saudara antara kulit putih dan kulit hitam. Lihat itu, hanya karena perbedaan warna kulit lalu mereka bertikai. Dan tidak ada yang bisa menjamin jika Indonesia akan terhindar dari hal serupa.
Oke, mungkin warna kulit bukan persoalan yang krusial di negeri ini. Sebab sebagian besar masyarakat kita adalah ras mongoloid-melayu yang punya warna kulit sama; kuning langsat dan coklat sawo matang. Tapi bagaimana dengan warna yang tidak berkaitan dengan kulit. Seperti perbedaan warna baju, celana, bendera, atau sampai kepada warna rambut yang memang sengaja diwarnai.
Semisal orang berambut hitam yang melihat orang lain mengecat rambutnya dengan warna hijau lalu mendampratnya dengan sebutan alay. Meski yang dimaki mungkin menerima, tapi perlakuan itu tetap tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau yang dimakinya sampai marah, bisa baku hantam jadinya. Saya juga tidak bisa membayangkan seandainya ada tawuran antar pegawai salon yang dipicu hanya karena perbedaan warna wig yang mereka kenakan. Miris, meski lucu.
Guna mencegah semua itu sedari awal, lagi-lagi melalui wajah barunya Nyimpang ini hendak mengingatkan kita semua bahwa warna tertentu tidak boleh diakuisisi oleh individu maupun kelompok tertentu.
Orang boleh memakai warna yang sama dengan kita, juga boleh berbeda. Tidak harus diseragamkan, juga tidak perlu dibeda-bedakan. Yang terpenting, jangan paksakan warna kita kepada mereka. Biarkan orang hidup dengan warnanya sesuai pilihan dan kesadarannya masing-masing. Bukankah dengan demikian hidup akan terasa lebih indah, tentram dan damai?
Begitu pedulinya Nyimpang pada negeri ini. Ia betul-betu media yang humanis. Bagi kita, pandangan mereka mungkin terlalu jauh. Namun demikianlah Nyimpang, ia sebuah yang visioner.
[Editor: Bangsat kamu, Mz!]