The Chosen One versi Kebanyakan Maunya: Ulasan Marigold Mind Laundry karya Jungeun Yun

Marigold Mind Laundry karya Jungeun Yun ini disebut-sebut sebagai healing fiction dan gandrung di Korea Selatan sana. Buat saya yang jarang membaca K-Lit ini, maka mari sebut saja buku ini adalah fiction dengan genre fantasi. Premis yang dimunculkan dalam cover bukunya bagus, dan saya tertarik membacanya karena visualnya mirip seperti kartun animasi Jepang yang muncul ke Indonesia 2000-an awal, sebut saja Chibi Maruko Chan, versi lebih neon tapi kalau cover ini.

 

Sinopsis

Berawal dari orang-orang di pedesaan (suami-istri) yang memiliki seorang anak perempuan dengan kekuatan magis mengatakan,

Darling, don’t you think we should tell her about her powers?”

“Hmm, it’s still too soon.”

What do you mean, too soon? She’s coming of age next year. She needs to know how to control her abilites and to use them only when necessary.” 

But she has no idea about them at all. It’ll come as a huge shock.”

Yang sebetulnya, kalau dipikir-pikir mengingatkan saya pada Harry Potter atau Aang si Avatar. Konsep “The Chosen One” lah. Seorang anak yang selalu dianggap belum mampu melakukan sesuatu sampai di usia tertentu, padahal takdirnya adalah becoming the great one yang bakal mengubah dunia. Tokoh utama tersebut bernama Jieun.

Dalam semesta buku ini, Jieun memiliki kekuatan bisa mengatur hidupnya hanya dengan membayangkannya saja sambil memejam mata. Waah. Saya tidak terbayang jika saya memiliki kekuatan itu. Tentu lah saya tidak usah payah bekerja, cukup bayangkan saja rumah saya besar dan punya banyak makanan yang tak pernah habis, maka tring! Saya akan menjadi mbak-mbak aktivis yang 100% mampu melawan keserakahan kapitalis enih! 

Ditambah, Jieun juga memiliki kemampuan reinkarnasi, dan saya masih gak paham skema reinkarnasinya seperti apa? Apakah Jieun memanfaatkan kemampuan “pengaturan hidupnya” dengan memikirkan dirinya pada realita lain lalu tiba-tiba saja ia menjadi dokter, misalnya?

Apakah Jieun bisa hanya memikirkan dirinya menjadi dukun beranak di Las Vegas lalu tring begitu? atau Jieun harus menunggu sosok yang diinginkannya lahir lalu ia hidup kembali sebagai bayi, lalu mati, atau bagaimana? Apalagi, Jieun di sini diceritakan berumur panjang dan hidup sangat lama. Itu gimana sistemnya? Dia penjelajah waktu, atau apa, sih?

Saya mencari-cari jawabannya dan sayangnya sampai novel ini habis pun saya gak bisa dapat jawaban.

Selain itu, ada kekuatan yang paling unik yang dimiliki Jieun. Jieun memiliki kekuatan untuk mengubah kesedihan menjadi noda-noda di baju hanya dengan berlagak menjadi psikolog: menjadi tempat curcol orang-orang, lalu ketika orang-orang itu bercerita kepayahan hidupnya, maka diubahlah menjadi noda di baju, lalu dicuci, dan noda-noda itu menjadi kelopak bunga yang berhamburan dengan indah.

Jujur, saya harus membacanya berulang-ulang karena sulit dimengerti. Pada sepuluh halaman awal, saya kira saya telah kehilangan kemampuan membaca teks berbahasa Inggris saya karena keseringan ngomong Singlish, tapi menuju halaman tigapuluh-an, saya yakin ada sesuatu yang salah.

Mungkin, referensi saya saja yang kurang baca genre fantasi, atau penerjemahan dari Korea ke Inggrisnya memang tidak berhasil, entah. Pokoknya, saya gak berhenti mempertanyakan hal-hal kompleks karena informasinya sangat tak lengkap, dan cenderung “memaksakan” keajaiban-keajaiban yang tak berhasil dibentuk buku ini.

Alurnya loncat-loncat hanya di awal buku saja, tapi terlalu banyak membahas masa lalu, dan penjelasan yang kurang lengkap seringkali bikin saya membaca ulang per lima halaman, dan pada saat kembali ke halaman kelima, saya masih gak ngerti dan bilang,

Ih naon sih anjir?”

Ieu anu mana sih?”

atau, dalam kasus saya yang sulit menghapal nama-nama Korea, “Ih, si ieu teh saha tea?!”

Anyway, membaca Marigold Mind Laundry membuat saya membayangkan kembali sinema-sinema dengan karakter abadi dan berumur panjang. Katakanlah, drakor Who You Came from The Star?, Twilight, dan The Age of Adaline. Hanya saja, terpaksa harus saya katakan, karena kurang lengkapnya informasi dari pembacaan saya, saya merasa Marigold Mind Laundry adalah yang terburuk dari sinema yang tadi saya sebutkan.

Saya jadi merasa, Jieun ini terlalu istimewa dan terlalu banyak “bisa”nya. Sehingga ceritanya sangat terasa terlalu memaksakan dan somehow “manja” banget. Untuk saya yang juga sudah terbiasa menelan teks-teks bahasa Inggris dan berdiskusi langsung dengan teman-teman LN, saya heran kenapa gagap memahami buku ini?

Padahal, diksinya (menurut saya dengan akses pendidikan yang lebih bagus sedikit) itu sangat mudah dicerna.

Tapi nampaknya, penulis tidak mampu untuk menyederhanakan cerita dan sangat kelihatan banyak maunya. Padahal, konsepnya sudah bagus. Ya, selain Meemaw-nya Sheldon, saya jarang melihat tokoh fiksi bersentuhan dengan laundry sebagai pemilik, apalagi premis dalam buku ini adalah wash away the stains from your heart. 

Di satu adegan, diceritakanlah bahwa Jieun ini tidak memerlukan makan. Oh, oke. Saya tahu memang begitulah kadang orang yang depresi.

Saya berhenti memikirkan itu dan bisa masuk di akal. Namun kalimat selanjutnya, diceritakan bahwa Jieun menelan pil istimewa agar tidak merasa lapar. Di situ saya menangys, 

Anjir ieu naon deui?” 

Bagaimana bisa seseorang tidak lapar setelah berpuluh-puluh tahun menjadi time traveler? Kalau dia punya kekuatan, maka oke saya anggap begini. Jieun tidak pernah lapar karena memang bisa “mengatur” agar dirinya merasa selalu kenyang.

Jieun ini akhirnya membuka tempat konsultasi psikolog berbentuk kedai laundry yang lucu sih kalau dibayangkan, dan setiap pasien yang datang punya cerita dan latar belakang yang berbeda-beda, tapi sudah sering dijumpai di perdramaan Korea. Misal, sutradara atau produser film yang gagal dan selingkuh seperti tokoh utama The World of The Marriage, atau influencer perempuan yang depresi, ya gitu-gitu lah.

Kutipan dan pesan: 

(1) From the start, take care not to dream at night. Even the slightest lack of control over your gift will mean that in the moment before you fall asleep anything you wish for will come true, even if it is merely an inadvertent or passing thought. To prevent any misuse of power, and to avoid a potentially dangerous situation, you must meditate before bedtime and practice positive thinking. (2024: 14) -> mengingatkan saya manifestasi dan hukum tarik menarik. Bahwa apa yang kita pikirkan, akan menjadi kenyataan.

(2) When was the last time someone had told her to eat well? (lupa halaman berapa) -> mengingatkan saya bahwa setelah dewasa, meskipun seringkali diingatkan pasangan untuk makan, tapi saya tentu saja sudah mulai kehilangan sosok orang tua yang meminta kita makan dengan betul: banyak sayurnya, makan nasinya jangan cuma lauknya, dan lain-lain.

(3) The delicious aroma of cooking rice permeated the alleyways. She could see scattered lights from the other houses and smoke spiralling from their chimneys. (lupa halaman berapa) -> membuat saya kangen dengan harum nasi yang dimasak di langseng. 

(4) Has life become so tough that we’re losing our marbles? (2024: 94) -> hidup memang sudah serumit ini ketika kita dewasa dan setiap orang memang sudah losing kewarasannya masing-masing. Ah! Iya lagi iya lagi. 

 

Kesimpulan

Overall, mungkin Marigold Mind Laundry ingin menjadi buku yang punya kesan menyembuhkan, tapi di satu sisi terasa seperti menggurui, menggurui sekali. Rasanya seperti kita mencuci baju-baju putih dengan bayclin tapi nodanya masih sama aja:(

Terasa seperti too much dan gagal bilas. Terkesan menjadi fantasi yang ingin dipandang “bercahaya”, tapi tersandung ambisinya sendiri. Dari kekuatan yang dimiliki tokoh utama, rasa-rasanya buku ini terlalu ingin berarti, terlalu ingin cantik, terlalu ingin menenangkan, ala ala para motivator yang sumbang dan hidup di tengah privileges yang sudah ada seperti pemilik kedai jamu yang dimodali orang tuanya misal.

Saya bisa memahami mengapa banyak pembaca menyebut buku ini sebagai healing fiction karena di zaman seperti ini, siapa sih yang gak ingin hatinya dicuci bersih dari noda-noda kehidupan yang tidak fun?

Tapi buat saya yang sekali lagi sangat minim referensi terhadap buku-buku self-help ini, buku ini justru mengingatkan bahwa kadang emang gak usah menjadi hebat dan punya kekuatan seabreg buat bisa menyembuhkan orang lain, lah. Gak usah lah punya followers banyak biar disebut motivator atau apa pun itu, ya biasa saja~ Tapi, cukup baik untuk dibaca di masa-masa kamu merasa hidupmu lagi gak oke, sih. Ya light, lah tapi sekali lagi: kebanyakan mau. 

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like