Teras Warung Indomie
Bagaimana aku bisa menjelaskan
Aubade daun yang tidak kau sapu di halaman tiap pagi. Dengan cara apa aku meneruskan
Setiap sunyi dan lari kecilnya
Setelah sekian banyak waktu
Berusaha memahami detaknya sendiri.
Di kamar ini dinding merekatkan sayap icarus
Memetakan jejak patah dalam bantal sayup
Memandikan bola lampu, mengusapnya
Dengan banyak kegelapan menawarkan jalan cepat, menuju malam-malam tahun 1900 sekian.
Pagi hari, udara selalu menyengat
Seperti membawa gugur hujan di tas ransel
Dengan gas air mata. Metronom kota
Menjadikan rasa cemas menjadi daun gugur di selokan. Tanpa kata, aku berdiam di sana
Menunggu masakan dihidangkan
Dengan sedikit gurauan tentang rumah.
Tak banyak aku melihat pagi seperti tangan malaikat, menjangkau yang bukan seluruh aku, bukan juga separuh dari aku. Kembali menunggu televisi meledak dari berbagai kecemasan. Mengaji di balik nama-nama menu makanan. Rumah yang terbakar beratnya sendiri.
Juga taman bunga yang takkan pernah kau sirami tiap hari. Apakah aku telah menjadi museum ice cream, pagi dan hal hal es batu lainnya yang biasa kau hirup dalam-dalam.
Di kota ini langit memamerkan teknik memasak terbarunya.
Hujan menjadi mie pangsit yang kita lahap berdua.
Juga terik panas seperti kompor menyala tanpa tungku, tak juga pernah padam.
Es teh mulai hadir di sana, di atas meja penuh rasa lapar dan keterasingan itu.
Sesudahnya, kita sama termangu
Ini apa? Ciuman aquarel atau urusan cinta memang tak pernah selesai.
Atau ini hanya rasa lapar yang tak kita kenal. Sekedarnya saja.
Bagaimana jika kita tak sengaja menumpahkan saus tomat ke dalam kepala ini? Bagaimana jika menu tak pernah ada, langit berkelip tanpa mie ayamnya, tanpa tukang masaknya, tanpa bunga televisi ini, tanpa es teh, juga tanpa cinta yang memutih dan memanjang dalam sajak kaku ini.
Ini hujan tak pernah turun sesuai kehendaknya kan? Apa yg kita lihat di antara jeda mendung yang singkat itu? Sebelumnya, sekiranya tak perlu lagi kita menunggu percintaan singkat itu. Karena bulan jauh lebih menyala ketimbang suara ayam jantan. Tak ada tungku tak ada tukang masak, tak ada satu pun es teh untuk kita hisap. Selebihnya, malam ini lebih gelap dari biasanya. Mungkin hanya itu terang yang kita punya sekarang.
Barorka
Juli, 2024
Teras Ayam Geprek ABC
Pernahkah kau memesan ayam geprek
Lengkap dengan sambelnya
Dua jenis sambel, goreng dan bawang
Tapi kau tak menggunakan sambel itu
Karena takut pedas, karena takut panas
Lalu sambelnya dibuang, mengalir ke gorong gorong sepi menjadi kembang api di sana,
Menjadi kesepian cabe menjadi kosakata baru. Pernahkah terbayang
Di suatu siang, kau tak dapat lagi menemukan sambel di meja makan, tak lagi menemukan hal-hal menantang, siapakah yang akan sibuk setelahnya? Dunia kembali berpikir
Mencari usaha lain untuk melawan kebosanan
Dengan membunuh semua yang bernyawa.
Apakah kecap juga akan dibuang? Menjadi gula-gula lain dalam lorong sepi?
Apakah kita perlu mengenal petani cabai
Bangun dari tidur bermimpi ladang bintang
di musim kemarau begini? Apakah kita akhir dari bunga-bunga apinya? Bagaimana seluruh kosakata ladang hanya menjadi rumput ilalang?
Apa yang tersisa? Kepedasan setelah ini, atau maut juga kau jumpa di sana?
Sepekan aku bermimpi
Tentang menghapus kesepian meja makan
Aku tak memesan kehidupan
Tak ada tarian bumi di sana
Tak ada petasan dan gula-gula.
Aku memberi bumi sedikit celana longgar
Untuk kembali membunuh
Demi kebosanan semata.
Barorka
Juli, 2024
Teras Convenience Store
Subuh ini aku rasa Lawson sangat spiritual
Bagaimana semua produk bisa bangun dari tidurnya. Mencuci kaki. Menyikat gigi. Menghangatkan mesin kopi. Memesan rumput yang asing. Kota mulai memutih seperti uban di rambut. Berahi musim berhenti di trotoar jalan, ketika burung-burung kembali ke sangkarnya. Kota bersuara sunyi di dinding. Menghitung sempoa, semua hal yang tidak mungkin menjadi nasi esok hari, menjadi vacuum cleaner dan alat pel. Menjadi handuk kasar. Sebaiknya kita sudahi pagi sedingin kulkas ini, sebelum matahari memasak langit. Memotong bawang di meja. Memandikan panci. Melihat lampu jingga. Kembali menghitung sempoa. Santri tetap mengaji di kitab itu. Subuh menjadi suara suara pecah. Sebelum kasur ini dilipat mimpi. Sebelum kamar mandi menangis sendiri.
Kenapa kita suka menerka begini?
Sedang hampar langit yang gaib ini
Hanya berita yang siap direbus esok pagi.
Barorka
Juli,2024