Saya pernah kecewa berat ketika sahabat saya menjadi pelaku kekerasan seksual. Sebagai orang yang bekerja untuk isu HAM, saya sering memberikan pendidikan HAM bagi para korban pelanggaran HAM berat termasuk memberikan pengetahuan terkait hak-hak korban.
Tentu saja saya kecewa waktu tahu sahabat laki-laki saya menjadi pelaku kekerasan yang menelantarkan pacarnya (yang sedang hamil), untuk memadu kasih dan nafsu dengan perempuan lain yang juga dihamilinya.
Yang bikin lebih kecewa lagi, perempuan lainnya merupakan bawahannya di kantor. Jelas sekali bahwa ini adalah abuse of power dari sahabat saya untuk memanfaatkan posisi perempuan itu. Jelas saja perasaan saya hancur.
Saya bahkan kecewa dengan diri saya. Rasanya seperti orang dungu yang bicara banyak di luar, tapi tak mampu membangun pengetahuan kritis untuk lingkungan saya sendiri. Lingkungan yang saya sayangi. Saya tidak ingin terlalu banyak bicara tentang kasus ini, tapi setidaknya pengalaman ini membawa saya untuk memikirkan ulang tentang bagaimana kita bersikap saat sahabat kita adalah pelaku kekerasan.
Sering kali kita gagap ketika ada kasus kekerasan terjadi di lingkungan kita. Apalagi jika yang melakukan kekerasan adalah kawan bahkan sahabat kita sendiri. Narasi pendampingan bagi korban sudah banyak beredar. Bahkan banyak yang sudah memberikan resep jitu, step by step proses pendampingan korban dari pemulihan hingga penyelesaian kasus kekerasan yang dialami oleh korban lewat advokasi kasus maupun penyelesaian yang dianggap aman bagi korban. Namun, bagaimana dengan pelaku?
Bagaimana pelaku dapat belajar dari kesalahannya dan mengakui kekerasan yang pernah ia lakukan?
Bagaimana komunitas bisa belajar dan mencegah kekerasan itu terjadi lagi?
Apa yang harus saya lakukan?
Dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya sangat menyayangi sahabat laki-laki saya itu. Kami pernah berbagi mimpi tentang masa depan yang utopia tanpa kelas, kami pernah menghidupi mimpi tersebut dengan membangun kolektif, membangun koperasi yang kami percaya bisa kami gunakan untuk bertahan di hidup yang tak menentu ini. Rasa sayang saya yang besar terhadap sahabat laki-laki saya inilah membuat saya semakin tidak percaya cancel culture.
Sebagai seorang yang belajar paham feminisme dari tahun 2013, saya merasa bahwa hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial: ruang yang bisa menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih baik dan lebih adil untuk laki-laki dan perempuan. Saya percaya bahwa upaya penyelesaian kekerasan, pendampingan itu tidak hanya diperlukan bagi korban kekerasan. Pendampingan juga diperlukan bagi pelaku. Supaya pelaku memahami bahwa yang dilakukan kepada korban itu adalah hal yang sangat menyakiti dan merugikan bahkan menyisakan trauma. Pelaku harus tau bahwa kekerasan, sekecil apapun bentuknya jika menyakiti seseorang tentu pelaku harus bertanggungjawab atas kekerasan tersebut. Paham feminisme ini tidak hanya untuk kepentingan perempuan tapi untuk kepentingan laki-laki dan gender lainnya pada kehidupan sosial kita. Sehingga seluruh lapisan masyarakat yang tertindas, harus mendapatkan manfaat dari terobosan yang dilakukan kelompok feminis.
Cancel culture yang selama ini ada, mengeluarkan pelaku dari komunitas dan membuat ia bebas pergi adalah sebuah hal yang sebaiknya tidak dilakukan komunitas sebab ia tidak pernah belajar bahwa perilaku yang dilakukan, baik sadar maupun tidak ternyata merugikan orang lain. Sebagai sahabat yang baik dari pelaku, saya rasa kita berhak untuk menemani pelaku.
Menemani pelaku agar tidak melakukan kekerasan apapun lagi di mana pun, baik di komunitas maupun dilingkungan lainya. Sebagai sahabat yang baik, ruang komunitas sebagai ruang belajar, ruang salah adalah mutlak yang harus diberikan bagi seluruh anggota komunitas. Termasuk belajar dari perilaku pelaku yang merugikan.
Pelaku harus diajak untuk belajar dan menerima kebenaran apa yang terjadi dan dirasakan korban. Mendengarkan apa yang sebenernya dirasakan korban saat kekerasan tersebut terjadi. Dengan rendah hati bisa menyadari dan belajar bahwa yang dilakukan pelaku telah merugikan dan memunculkan luka pada korban. Setelah pelaku memahami yang terjadi, pelaku juga penting membagikan pembelajaranya dari situasi kekerasan tersebut. Apa hal yang penting dipelajari dari perilaku personalnya yang merugikan orang lain?
Tapi yang lebih utama lagi adalah memastikan korban puas dengan seluruh upaya komunitas untuk mencegah hal tersebut terulang kembali. Yang utamanya adalah kenyamanan dan kemauan korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dan keinginan korban dalam “menghukum“ atau membuat jera pelaku.
Jika komunitas tempat bernaung pelaku percaya pada transformasi sosial, dan tatanan yang adil bagi perempuan, laki-laki dan identitas gender lainya adalah penting, maka, pernyataan sikap atau keputusan untuk mengeluarkan pelaku dari komunitas adalah keputusan yang amat disayangkan. Tidak cukup hanya sebuah pernyataan sikap, atau permintaan maaf. Komunitas harus membangun jaring pengaman bagi seluruh anggota dan memastikan bahwa kejadian kekerasan serupa tidak akan terjadi kembali.
Saya percaya cinta yang sejati adalah saat kita bisa menerima orang-orang yang kita sayangi dengan apa adanya segala keburukan dan kebahagiaanya. Cinta yang sejati adalah cinta yang tumbuh. Ketika kita menyayangi komunitas kita, sahabat kita, ruang tumbuh yang menyakitkan ini adalah hal penting untuk kita lewati bersama supaya kita bisa bertumbuh jadi apapun yang kita mau tanpa menyakiti.
Jakarta, 13 Maret 2024.