Bagi sebagian besar baby boomers generation, keinginan yang tak terwujud di masa kecil adalah hal yang umum. Sebab zamannya memang begitu, masa ketika baby boomers lahir dan tumbuh bisa dikatakan sebagai masa-masa sulit.
Ada yang di masa kecilnya gak sempat merasakan rekreasi, ada yang ndak pernah ngerasain makan di McD atau KFC. Ada yang tak pernah memiliki sepeda pancal pribadi (maksudnya milik sendiri, gak dipake bergantian dengan kakak dan adik).
Nah, keinginan masa kecil yang tidak kesampaian ini kadang menjadi semacam dendam di usia dewasa. Ketika sudah bisa cari uang sendiri, keinginan tersebut butuh dilampiaskan. Ada yang jor-joran rekreasi seminggu sekali (eh, gak mblenger tah?). Ada yang ngoleksi Hotwheels se-lemari. Pokoknya apa yang dulu sempat tidak terbeli, sekarang mesti terpenuhi. Lha wong dendam kok.
Itu bagi mereka yang cukup beruntung punya penghasilan yang agak berlebih. Sedangkan bagi yang masih berada di garis semi kere ya tetap saja kesulitan. Boro-boro balas dendam beli ini-itu, bisa makan, ngopi dan rokokan aja sudah syukur.
Saya juga termasuk baby boomers, dan saya juga punya beberapa wishlist yang gak kesampaian di masa kecil. Salah satunya yang dulu paling bikin saya ngiler adalah sepatu branded. Jangan bayangkan brandednya anak kampung di tahun 90an itu semacam Nike atau Adidas ya, it’s too far buanget.
Waktu itu saya tahunya cuma merek Eagle dan Kasogi, atau paling banter juga Reebok. Waktu SD, merek tersebut bagi saya sudah super duper keren. Sayangnya orang tua saya tidak sanggup membeli merek tersebut. Sebenarnya kalau mau sedikit maksa sih bisa, dengan mengorbankan kebutuhan buku-buku pelajaran. Tapi opsi kedua ini tak pernah menjadi pilihan bagi Bapak. Baginya urusan pelajaran adalah nomor satu, sedangkan soal nggaya nomer duapuluhtuju.
Saya ingat betul bahwa sepanjang karir SD sepatu yang saya pakai ndak pernah ada mereknya. Ini jenis sepatu flat dengan bahan yang sama dengan karung goni, cuma anyamannya lebih rapat dan solid.
Sepatu jenis ini bisa dipastikan akan berlubang di bagian tekukan jari kaki, dalam jangka seminggu setelah dibeli dan itu harus saya pakai sampai kenaikan kelas. Jadi di minggu kedua dan seterusnya pasti ujung jari kelingking akan mecungul keluar dari sepatu. Jangan tanya bagaimana jika dipakai olahraga main bola, wooo … kami anak ndesa main bolanya zonder sepatu, Bung.
Untungnya (wong jawa iki apa sing ora untung he?) yang memakai sepatu model begini adalah mayoritas, jadi gak sampai menimbulkan rasa minder. Dalam satu sekolah hanya 2 atau 3 siswa saja yang cukup beruntung bisa memakai sepatu Kasogi, Eagle atau Reebok. Hal ini menunjukkan pemerataan strata ekonomi orang tua kami di zaman itu. Zaman OrBa kok, kere ya kudu diratakne, he3x.
Eh begitu sudah nyambut gawe sepatu idaman belum juga bisa dituku hare, dasar nasib, hehehe. Emang iya sih, saya sudah pernah pakai berbagai merk sepatu keren semacam adidas, nike, dan onitsuka. Tapi itu semua itu dapat lungsuran, pemberian bekas pakai dari orang lain. Tapi ya lumayan lah, kena nggo tamba ngiler. Aku ki ngene wae wis bersyukur lho, orang sabar kok.
Tapi memang benar sih, yang namanya dendam wishlist masa lalu itu harus kita tuntaskan sesekali. Demi kesehatan jiwa kita juga. Sebab bagaimana pun juga, keinginan yang tak pernah kesampaian akan selalu membebani alam bawah sadar kita. Dan yang namanya beban alam bawah sadar itu tidak baik untuk kesehatan.
Ada perkecualian sih, yakni para spiritualis yang telah mampu melepaskan keterikatan dengan materi. Para biksu dan brahmana contohnya. Ada juga contoh nyata, seorang Bung Hatta –iya, proklamator dan wakil presiden pertama kita- yang tak pernah kesampaian membeli sepatu merek Bally hingga akhir hayatnya. Eh, pejabat zaman sekarang ada yang kayak Bung Hatta gak ya? Maaf, sekedar nanya aja.
Sedangkan saya mah apa atuh. Saya hanya ordinary people yang masih sering silau oleh gebyarnya dunia. Maka saya bertekad sebelum nyawa oncat dari raga, saya harus bisa beli sepatu New Balance atau Onitsuka.