“Yang, kamu tahu Agus?”
“Bukan Agus Apriandi?”
“Bukan. Itu mah yang buka kedai kopi terus meninggal kena usus buntu. Bukan itu. Nah, pokoknya dia temanku yang tempo lalu nginap di kosku.”
“Iya, iya, betul. Agus yang itu.”
“Nggak kok, nggak. Nah, dua bulan lalu dia bilang dapat wahyu.”
“Wahyu, Yang?
“Bukan Wahyu nama orang. Yey, kamu mah!”
“Kayak ke Nabi-Nabi gitu?”
“Dia diutus agar manusia menyembah Mesin Cappuccino.”
“Seriusan?”
“Seriusan dia ngaku dapet wahyu. Seriusan juga Mesin Cappuccino.”
“Merek?”
“Ya merek apa aja, sih. Katanya ya sama saja kayak patung apa gitu, bebas mau produksian mana juga. Katanya sih suara wahyu yang dia dengar itu pakai bahasa Indonesia. Katanya, bahasa Indonesia yang baku gitu.”
“Nah, iya. Kayak dubbing-dubbing kartun Barbie gitu.”
“Yeh, serius. Makanya aku seharian ini nggak bisa bales WA kamu.”
“Yeh, nanti dulu. Ha ha.”
“Iya, iya. Dengerin dulu. Aku nggak lagi cari alasan. Awalnya aku ngakak aja, tapi pas ngakak gitu—maksudku menanggapi lelucon dengan semestinya—dia diem.”
“Hah?
“Ya nggak bisu juga.”
“Oh, bisa baca tulis?”
“Bisa. Kan dia teman kuliahku dulunya.”
“Terus tiba-tiba dia langsung berdiri, ngambil semua barang-barangnya, dan tanpa bilang apa-apa langsung meleos pergi?”
“Ya nggak tahu. Pergi aja dia.”
“Hah? Gimana, gimana? Sinyal kamu jelek ya? Atau Speedy aku yang masalah?”
“Ya kan siapa yang nggak ngakak kalau ada yang bilang dirinya dapet wahyu coba?”
“Apa? Bisa jadi itu benar? Waduh.”
“Bener-bener nggak bilang apa pun. ‘Wusss!’ pergi gitu aja. Aku baru nyadar kalau dia baru saja menceritakan hal paling serius sepanjang hidupnya.”
“Ha ha, iya serius.”
“Intinya pas dia udah pergi aku langsung ngeh kalau cerita dia itu serius.”
“Terus kenapa? Gimana, gimana? Eh, bentar dulu, ini serius.”
“Nah, kemarin itu dia masuk ICU Bayu Asih. Koma. Katanya habis digebukin orang di Cilodong.”
“Serius? Ha ha.”
“Enggak. Gak gitu. Aku nggak ngetawain nasib jelek teman sendiri. Tapi ceritanya lucu. Besok deh aku ceritain gimana dia bisa sampai dimassa orang. Kasihan. Tapi aslinya lucu.”
“Iya janji. Iya, nggak bohong. I love you.“
“I love you too, dulu atuh ih.”
“Uuw.”
“Nggak apa-apa kamu tutup duluan.”
“Kamu aja.”
“Ya kan aku nggak enak. Ya sok kamu yang tutup dul—yeeeh.”