Tawa Badut di Pabrik Tekstil
Kulewati lorong tua nan suram,
Debu menari di bayang lampuku.
Mesin berkarat berbau tajam,
Dingin menusuk tulang di tubuhku.
Di layar ponsel tampak bergetar,
Bayangan merah melintas cepat.
Hatiku sesak, napasku gentar,
Namun kuberanikan langkah yang berat.
Dari sudut gelap datang suara,
Tawa melengking nyaring terdengar.
Serak dan parau memecah udara,
Menggema liar di ruang yang lebar.
Kutoleh ke kanan, kiri, dan belakang,
Kosong, hanya kain kusut berdebu.
Namun, suara tawa kian menyerang,
Membuat jantungku berdebar terpacu.
Langkahku cepat, namun semakin jauh,
Lorong melingkar, kembali semula.
Di sana badut berdiri teguh,
Tersenyum lebar dengan mata gila.
Tangan bercakar, kostum berlumpur,
Mulutnya sobek, giginya runcing.
Darah menetes di atas sepatu,
Tangannya terulur, langkahnya bising.
Kuteriak keras, berlari keluar,
Pintu terkunci, tak bisa terbuka!
Badut mendekat dengan tatap nanar,
Tawa mengerikan menambah luka.
Di ponselku terekam jelas,
Wajahnya dekat, tepat di sisiku.
Layar bergetar, gambar pun lepas,
Lalu segalanya berubah gelap.
Kuntilanak
Di gua sunyi, sunyi dan dingin,
Ia berteduh dari gerimis.
Namun mendadak angin berpaling,
Membisik nyaring nada tragis.
Nyala lampunya berpendar lemah,
Gema menggema di batu basah.
Ada nafas di antara resah,
Ada bayangan di sisi lelah.
Tersentak ia, menoleh takut,
Ada sosok bergaun putih.
Di ujung goa, rambutnya kusut,
Matanya hitam, rautnya perih.
Ia mundur, menarik nafas,
Namun suara tawa menggema.
Menyeret luka di ruang yang luas,
Menyapa malam dengan nestapa.
Kaki bergetar, jantung berpacu,
Keluar ia, tinggalkan goa.
Namun sosok itu kian mendekat,
Membisik namanya dengan suara.
Ia berlari di tanah basah,
Langkahnya cepat, napasnya sesak.
Namun sang hantu tetap mengikuti,
Seakan bayang yang tak berjarak.
Dingin mencengkeram, jiwa terkoyak,
Senyumnya nyaris menelan malam.
Angin membisik kutukan gelap,
Dan sunyi pun kembali tenggelam.
Hiu Megalodon di Malam Hari
Di tengah samudra malam membentang,
Seorang pelaut berlayar pulang.
Air berbisik dalam senyap,
Angin berhembus dengan tenang.
Namun di bawah gelombang hitam,
Sesosok bayangan kelam beredar.
Gema gemuruh dari kedalaman,
Menggetarkan laut yang tampak lebar.
Ia menatap dari geladak,
Gumpalan air mulai membelah.
Sirip raksasa muncul mendadak,
Membawa malam dalam gundah.
Dari gelap datang deru dahsyat,
Gigi tajam menembus laut.
Mulutnya lebar, tubuhnya kuat,
Seakan mengoyak malam yang kalut.
Pelaut teriak, mengayuh sekoci,
Namun gelombang semakin besar.
Megalodon mengintai dalam,
Menyusuri arus yang berputar.
Dengan sisa tenaga ia berlari,
Kapal bergetar, kayu terbelah.
Di kejauhan, riak berdarah,
Laut pun diam, kembali gelap.
Hanya bintang yang masih menyaksi,
Gelombang yang lirih kembali sunyi.
Di tengah samudra yang mencekam,
Sang pelaut hilang tak bersuara.
ADVERTISEMENT