Tauhid Subarkah: Berkarya, Bersuara, bersama Bagava

Minpang

Tauhid Subarkah berbagi kisahnya terkait proses kreatif album baru Bagava.

Profil Singkat

Tauhid Subarkah adalah musisi kelahiran Karawang yang kini aktif berkarya bersama band Bagava di Yogyakarta. Ia dikenal sebagai sosok terbuka dalam kolaborasi, dan menjunjung tinggi semangat kerja bersama. Latar belakangnya sebagai anak desa yang tumbuh di tengah geliat petani, komunitas aktivis lingkungan, dan seniman memberi warna tersendiri dalam karya-karyanya—seringkali bernuansa kontemplatif namun tetap membumi.

Dalam proses kreatif, Tauhid lebih mengutamakan kebersamaan dan ketulusan berbagi gagasan ketimbang ego personal, menjadikan setiap karya Bagava terasa hangat dan akrab.

Bagi Tauhid, musik bukan semata-mata wadah hiburan, melainkan juga medium untuk bersuara dan mencatat fenomena sosial. Ia percaya bahwa lagu bisa menjadi ruang refleksi, pengingat, bahkan perlawanan atas apa yang terjadi di sekitar. Perspektif inilah yang membuatnya terus tergerak menciptakan karya—tak hanya untuk didengar, tetapi juga dirasakan dan dipahami. Bersama Bagava, ia terus merawat semangat untuk menjadikan musik sebagai bagian dari narasi hidup dan kesadaran kolektif.

Mari simak perjalanan musiknya lewat wawancara dengan Nyimpang di bawah ini:

Bisa ceritakan sedikit tentang diri kamu?

Saya asli dari Karawang. Lalu saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Musik Yogyakarta dan ISI Yogyakarta. Awalnya saya masuk sekolah musik karena ingin menghindari hitung-hitungan Matematika. Tapi ternyata, justru musik tidak terlepas dari hitung-hitungannya—mulai dari menghitung frekuensi nada, nilai notasi, rambatan suara, ritme, dan sebagainya.

Wah menarik, ya. Dalam hal bermusik sendiri selama ini, isinya itu tentang apa?

Kalau saya sendiri selain sebagai pemain bass, saya bekerja sebagai Arranger, musik director dan sebagai komposer. Dalam proses pengkaryaan, baik itu komposisi musik maupun aransemen, sebisa mungkin selalu bisa menghitung ide kreatifnya dari berbagai macam sisi. Entah itu berupa cerita, informasi, ajakan, atau pesan—dan sisanya saya serahkan ke pendengar untuk menafsirkan.

Dari keluarga sendiri, ada pengaruh musik gak, sih?

Dari keluarga, saya tidak dibesarkan dalam lingkungan keluarga musisi. Kecintaan saya tumbuh perlahan-lahan setelah masuk ke dunia musik, karena menghindari Matematika itu tadi. Ketika saya mendalaminya, saya menemukan bahwa musik tidak hanya musik: ada kajian sejarah, psikologi, sosiologi, komunikasi, dan lain-lain.

Hal itu menjadi pengetahuan dan kesadaran saya bahwa musik sebagai ilmu pengetahuan punya pengaruh besar terhadap cara pandang dan perilaku kita. Apalagi berbicara musik yang berlirik atau lagu. Dengan lirik yang kuat, penuh majas seperti personifikasi atau simile—itu bisa terasa sangat relate dengan kita.

Gimana nih kegiatanmu sama Bagava akhir-akhir ini?

Bagava itu band yang baru terbentuk di tahun 2024, dan sejauh ini kami sudah merilis tiga single. Jadi Bagava bukan bagian dari perjalanan awal saya bermusik, tapi sebuah fase baru. Kami bertemu sebagai teman-teman lama yang sudah punya latar belakang dan aktivitas musik masing-masing.

Di luar Bagava, saya memang punya ruang sendiri bersama komunitas, rekan-rekan petani dan aktivis. Tapi sejak terbentuknya Bagava, jadi tambah satu ruang lagi untuk berkarya.

Album kami sebenarnya sudah jadi. Kami mulai workshop di Februari 2024, lalu rilis tiga single: “Perang”, “Klandestin”, dan “Era Baru Lagu Lama.”

Bagaimana cerita kamu pertama kali bergabung dengan Bagava?

Personil Bagava adalah teman-teman lama saya di Jogja. Teman bermusik, ngopi, teman diskusi obrolan santai sampai obrolan yang sangat serius soal pekerjaan—dan akhirnya di tahun 2024 kami sepakat membentuk Bagavadengan line up yang terdiri dari Iksan Skuter (vocal dan gitar), Joel Tampeng (gitar), Wasis Tanata (drum), Hasnan Hasibuan (cello), Bagus Mazasupa (keyboard) dan saya Tauhid Subarkah (bass).

Obrolan kami sering melebar ke mana-mana, kadang bahas klenik, kadang tata surya, apalagi kalau sudah lewat jam satu malam, hehehe. Tapi dari obrolan itu kami sadar ingin bikin sesuatu yang substansial.

Kami tidak terlalu memikirkan aspek komersial—hal itu lebih banyak diurus manajer. Fokus kami lebih ke kekaryaan dan produksi. Tapi untuk interaksi dengan masyarakat, kami tetap terjun langsung. Kami menjawab pertanyaan mereka, ngobrol, dan mendengarkan. Masing-masing personel punya lingkarannya sendiri—jadi kami hadir di banyak ruang sosial yang berbeda.

Kenapa kamu memilih (atau ditunjuk) sebagai bassist Bagava?

Memang bass adalah instrumen utama saya sejak 2003. Meskipun di sekolah musik intrumen mayor saya biola alto (viola), Akhirnya saya memilih bass untuk karir musik saya. Bahkan sempat disebut sebagai “pemain viola yang murtad” awokwok.

Dalam dinamika band, peran apa yang kamu ambil selain memainkan bass—misalnya aspek manajerial?

Karena ini adalah album pertama Bagava, kami lebih banyak menggunakan metode workshop dan diskusi terbuka. Siapa pun yang punya ide dipersilakan menyampaikan, dan kami biasakan untuk mendengarkan dulu sebelum memberi respons. Peran kami setara, walaupun masing-masing punya peran sendiri sesuai instrumennya. Proses kreatifnya kolaboratif dan terbuka. Dari proses ini saja, kami berhasil mengumpulkan 8 lagu.

Album terbaru Bagava berjudul Klandestin terasa kental dengan nuansa rock 90-an. Apa yang menginspirasi pilihan gaya ini?

Sebenarnya kami tidak pernah secara sadar memilih atau memproyeksikan musik kami ke arah rock 90-an. Bisa dibilang hasil eksperimen musikal dengan kombinasi instrumen yang beragam sehingga lebih dinamis dan berwarna. Tetapi sekali lagi, kami mempersilahkan setiap pendengar bebas dan merdeka berinterpretasi, dan itu sah-sah saja karena sifatnya subjektif.

Sejauh ini, bagaimana tanggapan para pendengar—baik penggemar lama maupun pendengar baru—terhadap Klandestin?

Saya jawab pertanyaan ini dengan harapan saja, karya kami bisa diterima dengan baik, baik oleh pendengar lama maupun baru. Yang penting buat kami adalah ada orang yang merasa relate dengan lirik-liriknya bisa bersinergi dan Bagava masuk ke playlist mereka.

Saya jawab pertanyaan ini dengan harapan saja, karya kami bisa diterima dengan baik, baik oleh pendengar lama maupun baru. Yang penting buat kami adalah ada orang yang merasa relate dengan lirik-liriknya bisa bersinergi dan Bagava masuk ke playlist mereka.

Apa tantangan terbesar yang kamu hadapi dalam pembuatan Klandestin?

Tantangan paling besar adalah waktu. Dua personel tidak tinggal di Jogja, dan kami semua punya kesibukan masing-masing. Jadi cukup sulit untuk menemukan waktu yang pas untuk berkumpul. Tapi, semua bisa diatasi karena ada komitmen dan konsistensi. Kami benar-benar serius menyelesaikan album ini lewat sesi-sesi workshop bersama.

Dari sisi teknis, alhamdulillah tidak ada masalah yang berarti. Proses kreatifnya pun lancar karena kami sudah saling kenal dan sering bertemu sebelumnya, jadi tidak ada rasa sungkan. Kalau ada ide yang dirasa kurang pas, kami diskusikan dan cari alternatif bersama. Suasananya cair dan terbuka.

Apa target atau proyek baru yang sedang kamu rencanakan setelah Klandestin?

Pasti ada keinginan bikin album baru. Meskipun album Klandestin belum dirilis penuh dan baru ada tiga single yang keluar, kami sudah mulai berpikir untuk lanjut ke album kedua. Kami tipenya spontan—kalau merasa ada sesuatu yang penting untuk disuarakan, ya langsung kami tuangkan ke dalam musik.

Secara pribadi, saya melihat audiens itu macam-macam: ada yang mendengarkan musik untuk hiburan, ada yang menganalisis isi, ada juga yang menjadikannya teman belajar atau teman nongkrong. Musik bagi kami bisa jadi media ilmu, pesan, atau bahkan dokumentasi peristiwa—maknanya luas banget buat saya pribadi dan juga Bagava.

Bagi para pembaca Nyimpang yang belum sempat mendengarkan Klandestin, pesan apa yang ingin kamu sampaikan agar mereka tertarik menikmati album ini?

Saat ini album Klandestin memang belum dirilis sepenuhnya, baru tiga single yang sudah bisa didengarkan di platform digital favorit kalian. Cerita tentang album Klandestin, adalah karya-karya yang menggambarkan perjalanan emosional menghadapi masalah dan ketidakpastian, tetapi dalam situasi terburuk sekalipun selalu terbuka jalan dan harapan bagi kehidupan. Lewat album Klandestin ini, kami ingin menyuarakan hal-hal yang kami rasa penting—baik sebagai refleksi atas kehidupan, maupun sebagai pengingat terhadap kondisi hari ini. Kami berharap musik kami bisa membuka ruang perenungan, tidak hanya jadi hiburan semata.

Ikuti Tauhid Subarkah dan perjalanannya bersama Bagava dengan menekan pranala berikut:

Instagram https://www.instagram.com/bagavaofficial/ dan https://www.instagram.com/tauhidsubarkah/?hl=en

Youtube https://www.youtube.com/watch?v=WP9_ct_aQPg

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment