Berlama-lama dua bola mata Kaaru menatap ke dalam sebuah akuarium yang berada di tengah ruang tamu, di atas meja dalam pojok rumahnya. Muka yang tak mengekspresikan perasaan apapun, lingkaran waktu seolah berputar-putar di matanya. Tak seperti yang selalu digambarkan orang-orang terhadap anak kecil, Kaaru lebih banyak terdiam daripada menunjukan keceriaan yang lumrah terjadi. Hal-hal yang membuat dirinya selalu merasa senang adalah ketika ia mengenakan gaun one piece berwarna pucat, tak peduli akan warna apa pun yang penting warna itu harus tampak pucat, karena warna itu lebih mudah menyatu dengan lingkungan sekitar daripada warna-warna yang menusuk mata.
Kaaru akan memakainya selalu dengan senyuman. Hal lain yang bisa membuat senang hatinya adalah sepatu musim panas yang tampak seperti wanita gladiator dengan tali-temalinya yang mengikat kaki sampai ke bawah lututnya, ia menyukai sepatu pemberian Mama sama halnya seperti ia menyukai topi schoolboy pemberian Papa yang meski terlalu besar untuk ukuran kepalanya yang masih kecil. Terkadang ketika berjalan, topi itu turun dan menghalangi pandangannya. Meski begitu ia tak pernah benci pada bajunya yang pucat, sepatu yang mengikat atau topi yang sering menghalangi pandangannya.
Kaaru tahu bahwa gaun one piece, sepatu gladiator dan topi schoolboy bukanlah kombinasi yang tepat. Tetapi memang akan selalu seperti itu, pikirnya – selalu dalam keadaan yang kurang tepat. Kaaru sangat paham walau kombinasi itu kurang tepat, ia harus tetap memakainnya agar senyum selalu tergambar pada mukanya yang bulat dan gemas itu.
Di ruang tamu Kaaru tengah memperhatikan sepasang ikan yang menari-nari di dalam kaca akuarium. Seolah mereka terbang di langit begitu bebasnya. Sepasang ikan berwarna hitam pekat yang lainnya berwarna putih pakat, hanya ada dua ikan di sana membuat akuarium itu terlihat terlalu luas bagi sepasang itu. Mungkin, sepasang ikan itu adalah dua ikan yang ditakdirkan bersama semacam putri cantik dan pangeran penuh perjuangan. Melihat mereka menari-nari di dalam air, keduanya tampak beriringan, ketika yang satu pindah ke tempat lain maka ikan yang satunya lagi akan mengikutinya, begitu juga sebalik dan seterusnya juga. Namun Kaaru sulit untuk menentukan mana seorang ikan laki-laki dan mana seorang ikan perempuan, keduanya tampak sama saja walaupun warna keduanya saling berlainan.
Ia tidak tahu apakah yang hitam itu laki-laki atau perempuan, persis seperti ia tidak tahu hal yang sebaliknya, mungkin bisa saja keduanya adalah seorang laki-laki dan dua-duanya adalah seorang perempuan. Tidak peduli, menurutnya itu bukan sesuatu yang begitu penting untuk mengetahui apa jenis organ vital dari kedua ikan yang sedang menari. Untuk apa mengetahui kelamin mereka ketika mereka tidak mengerti apa yang aku maksudkan?
Bukankah hidup ini adalah tentang komunikasi, kau tak bisa dianggap hidup ketika hanya berdialog dengan dirimu sendiri, begitu pun ketika kau bertindak tapi tanpa sebuah komunikasi kau hanya akan dianggap sebagai orang gila saja. Meski begitu Kaaru tetap bersikap pendiam, tak apa dianggap gila ditengah kerumunan kegilaan ini.
Sebuah tanaman air yang membuat fenomena akuarium itu terlihat lebih hijau, nampak hidup. Membentuk sebuah miniatur, dari kehidupan itu sendiri. Sayangnya, pasir yang ada di dasar akuarium begitu kotor, sangat kotor oleh makanan ikan yang berterbangan. Pandangan Kaaru suram karena air yang di dalam menjadi sedikit coklat kekuningan, tak jelas lagi untuk melihat apakah sepasang ikan disana sedang menari atau berkelahi. Kaaru ingin sekali membersihkan akuarium itu dengan tangannya sendiri, namun ia selalu dimarahi Mama kalau ia mamasukan tangannya ke dalam akuarium itu. Meski dimarahi, Kaaru tetap melakukannya. Walau tubuhnya berdebar, rasa takut tidak bisa membersihkan akuarium kotor, pikirnya.
“Kaaru! jangan memasukan tanganmu ke dalam akuarium kotor itu, menjijikan.” kata-kata Mama yang membuat Kaaru tesentak.
Jika sudah mendengar kata-kata seperti itu keluar dari bibir Mama, Ia akan terperanjat secepat mungkin menarik tangannya keluar dari akuarium itu, – panik. Dirinya pun tidak begitu mengerti mengapa ia selalu saja bertindak tanpa kesadaran, seperti tubuhnnya bergerak dengan sendirinya. Namun, ketika ia mendengar suara Mama yang meneriaki, tubuhnya seolah-olah ditarik ke dalam dunia sadarnya kembali, semacam pukulan yang menghempaskan lamunan. Saat momen seperti itu, ia akan langsung berlari ke dalam kamarnya berusaha melupakan semua kejadian itu.
*
Kaaru, tawanya selalu berhamburan ketika bermain-main dengan teman-teman. Bibirnya yang tersenyum seperti bermekarannya bunga di padang tandus, terlebih memang tidak ada yang harus anak kecil itu lakukan kecuali bermain dengan temannya. Siang itu matahari memang belum terbit dari barat tapi panasnya mampu membakar embun tadi pagi. Kaaru ingin pergi bermain dengan teman-teman, ia berjalan sambil sesekali melompat dan tersenyum, bersenandung menyanyikan lagu yang dulu sering Mama nyanyikan ketika ia sulit untuk menutupkan mata, Clair de Lune. Lompatnya, senandungnya dan senyumnya itu hilang saat waktu menarik Kaaru untuk melihat akuarium itu lagi, masih kotor, ia tidak benci kepada waktu yang telah memaksanya melihat. Namun, dia sedikit benci kepada Mama ataupun kepada Papa karena akuarium itu tidak pernah mereka bersihkan. Terlebih, saat dia mencoba untuk membersihkan dengan tangannya sendiri, malah dilempari kata-kata oleh Papa.
Kaaru, hari itu dia tidak ingin pergi bermian dengan teman-temannya, kembali lagi ia meratap ke dalam akuarium itu dengan mata bulat melankolis. Melihat ikan yang sedang menari-nari. Namun kali ini sedikit berbeda, dia melihat ikan itu sesekali menabrakan dirinya ke dinding kaca akuarium, ikan itu mungkin kesakitan saat membenturkan dirinya, tapi mereka terus melakukannya sambil menari-nari.
Memandangi ikan yang terus membentur-benturkan dirinya, membentuk sekumpulan gambar-gambar, seolah gambar-gambar ikan yang membenturkan diri itu masuk ke dalam tatapan kuyu Kaaru, penuh! menjejali matanya mendorong keluar air mata dari tatapan kuyunya. Gambar itu tersimpan di jendela ingatan, yang kapan saja bisa ia buka dengan ataupun tanpa kemauan untuk mengingat kenangan sepasang ikan yang membenturkan dirinya.
Dia tak mau melihat sepasang ikan itu membenturkan diri ke dinding kaca akuarium, dia mau melihat ikan itu terbang bebas di dalam air, walau pun dia tahu bukan pertama kali ini saja sepasang ikan itu membenturkann dirinya karena itu sudah menjadi semacam ritual kebiasaan bagi sepasang ikan itu, air akuarium yang kotor karena sisa makanan itu, tampak semakin jelas kalau akuarium itu ternyata memang benar-benar kotor dan semakin kotor oleh hantaman sepasang ikan itu.
Kaaru memang belum bisa membawa tas gendong dan pergi sekolah seperti kebanyakan teman di lingkungannya karena usianya belum mampu membawa dan mengantarkannya ke sekolah. Tidak masalah, lagu pula dia tidak terlalu memiliki ambisi untuk berangkat bersekolah. Dia akan lebih memilih untuk membersihkan akuarium kotor itu dengan tangannya sendiri ketimbang dia pergi bersekolah. Belajar membaca, menghitung dan bernyanyi. Meski sebenarnya suara anak kecil itu begitu indah ketika menyanyikan serangkaian kata, dan akan begitu merdu ketika dia merengek lalu tersenyum.
Menurutnya yang terpenting dari masa depannya adalah membersihkan akuarium itu karena akuarium dan sepasang ikan itulah yang mewarnai Kaaru dengan sisa makanan ikan dan bau amisnya yang membuat masa lalu Kaaru kotor dan tampak buram.
Apakah sepasang ikan itu tak mencium bau amis yang ada di akuarium itu? pikirnya.
Mencoba berani melangkahkan kakinya yang gemetar, mengulurkan tangannya ingin menggapai akuarium yang sedikit lebih tinggi dari badannya itu. Ia gemetar dan kebingungan melihat akuarium yang kotor sementara ikan-ikan itu terus menari di dalamnya.
Akuarium seperti kardus minuman, mempunyai empat sisi agar bisa menampung air di dalamnya, akan tetapi Kaaru melihat sisi lain yang ada pada akuarium itu. Suatu sisi di mana tersimpan semua yang pernah dia rasakan, muak!, ketika melihat sepasang ikan itu menari dan menabrakan tubuhnnya. Sisi itu seharusnya bisa menyimpan kebahagiaan Kaaru, akan tetapi sekarang sisi itu hanya menyimpan sesuatu yang melegam untuknya.
Kaaru tidak ingin merasakan sakit seperti ketika ia kehilangan giginya tahun lalu, ia tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Ia tidak ingin melihat darah keluar ketika Mama mencabut giginya dengan benang yang disimpulkan ke salah satu gigi kembarnya. Ia tidak ingin melihat harapan akan hasrat kebahagiaan dirinya itu keluar dan menghilang seperti keluarnya darah dari gusi, darah yang hilang dibasuh air. Saat giginya hendak dicabut Mama, dia menangis karena takut merasakan sakit. Mungkin sekarang darah itu sudah melarut bersamaan dengan air akuarium yang kotor itu. Kaaru pikir mungkin bau amis yang ada di akuarium itu berasal dari darahnya, oleh karena itu sepasang ikan di akuariumnya tidak bisa mencium bau amis itu. Atau mungkin hanya tidak mau dan malah acuh tidak menghiraukannya, mereka bersantai-santai saja menari. Menari bersamaan dengan darah Kaaru yang warna merahnya mulai menghilang melebur ke dalam keruh air akuarium.
Jujur saja air keruh itu sangat mengganggu pemandangan miniatur hijaunya alam, hijaunya kehidupan di dalam akuarium, Kaaru risau dengan tanaman-tanaman air hijau yang mulai menguning di ujung-ujung daunnya, bagaimana jika tanaman itu akhirnya mati, apakah sepasang ikan itu masih tetap tidak akan menghiraukannya, apakah ia masih akan tetap menari. Atau malah mereka juga akan mengikuti tanaman itu, karena kelelahan dengan tariannya. Kaaru harap sepasang ikan itu tak ikut menguning dalam keruhnya air.
Kaaru mengangkat telapak kakinya dengan susah payah agar bisa menjangkau akuarium itu, jengket. Meski kesusahan karena tali-tali sepatu musim panas yang mengikat sampai bawah lututnya, tidak membiarkannya untuk meninggikan tubuhnya. Sayangnya topi schoolboy pun malah selalu menghalangi pandangannya untuk melihat ke atas. Kaaru mulai gemetar takut dimarahi Mama dan dilempari kata-kata oleh Papa. Ia pucat, senada dengan gaun one piece yang ia kenakan.
“Lihatlah anakmu, bahkan ia belum sekolah. Sangat angkuh ingin membersihkan akuarium itu dengan tangannya sendiri.” kata Papa dengan sangat cepat, dengan suara yang menekan.
“Kaaru, jangan kau bersihkan akuarium kotor itu, ini bukan urusanmu!” Mama berusaha menyahuti kalimat Papa, membela dirinya.
Kaaru merasa sepatu yang mencengkramnya semakin erat saja. Topi yang ia kenakan membuatnya tidak bisa mengangkatkan kepala, topi itu semakin terasa berat. Pandangannya hitam legam tertutupi topi yang ia kenakan. Baju yang ia pakai semakin saja pucat lebih pucat daripada orang mati.
Ia menoleh ke arah jendela yang terkadang bisa membuatnya ingat akan sesuatu. Dengan tengkuk yang keras, bergetar saat ia menoleh. Apakah untuk membersihkan akuarium itu Kaaru perlu menggunakan air matanya agar semua air kotor itu keluar tergantikan dengan air mata bersihnya atau mungkin ia harus mengganti air kotor itu dengan ludahnya. Kaaru hanya ingin ikan-ikan itu terdiam dan membatu saja.
Kaaru berteriak, membentak ikan-ikan itu menari. Meski Kaaru berteriak, nampaknya sepasang ikan itu tidak akan mendengarkan, mungkin karena ikan itu berada di dalam air akuarium yang kotor, suara jeritan halus tidak dapat menjangkaunya, terhalang. Kaaru berteriak sekali lagi, kali ini sambil memaki sepasang ikan itu dengan kata-kata kotor yang tidak pernah terdengar di langit. Sebuah kata-kata kotor yang berterbangan, sama kotornya dengan air akuarium itu.