
Terlahir dengan nama Hasan Sobari, namun lebih akrab di sapa Mang Hasan—seorang penari topeng kelahiran karawang yang tak hanya menarikan tubuhnya, tapi juga menafsirkan ruh karakter dalam setiap pentasnya. Lahir dari keterbatasan akses belajar tari Jaipong bagi laki-laki, Mang Hasan justru menemukan dunianya dalam tari topeng.
Bukan sekedar menari topeng, ia menyelami karakter yang dibawa topeng-topeng itu. Baginya, kekuatan tari topeng terletak pada momen peralihan—saat tubuh biasa menjelma menjadi tokoh dengan aura yang langsung menyala begitu topeng dikenakan.
Bersama BaleSeba, ruang kesenian yang lebih mirip ruang diskusi ketimbang sanggar formal, Mang Hasan melatih tubuh, hati, dan ingatan kolektif murid-muridnya untuk kembali membaca warisan tari sebagai bahasa zaman. Ia membimbing bukan dengan doktrin, tapi dengan metode—biarkan gerak tubuh mengalir menemukan gayanya sendiri sebelum koreografi menyapa.
Wawasan dan kepekaannya tak datang dari teori belaka, melainkan dari perjumpaan dengan tanah, ritus, dan rasa. Untuk mengenal lebih dalam bagaimana Mang Hasan merawat tradisi tari topeng, simak obrolan lengkapnya di wawancara berikut.
Halo, Mang Hasan. Apa kabar nih?
Alhamdulillah, baik, Kang.
Sekarang kegiatan sehari-harinya apa dan nama aslinya siapa, Mang?
Masih manggung, latihan, ya seputar itu-itu saja. Nama saya Hasan Sobari, biasa dipanggil Mang Hasan.
Ngomong-ngomong, siapa sosok atau guru pertama yang memperkenalkan Mang Hasan pada dunia tari tradisional Karawang?
Nah, kalau tari tradisional Karawang kebetulan saya gak belajar. Karena saya basic-nya dari Tari Topeng Indramayu–Cirebon. Saya belajar dari Mimi Waci, putri dari maestro topeng Mimi Rasinah.
Adapun kenapa saya tidak belajar Tari tradisional Karawang, mungkin karena awalnya sulit sekali menemukan sanggar tari jaipong di Karawang yang mengajarkan tari khusus laki-laki, jadi saya memilih belajar Tari Topeng Cirebon Gaya Indramayu di desa Pekandangan Kabupaten Indramayu.
Kalo yang memperkenalkan saya pada tari tradisional Karawang, ceritanya pada saat saya diminta menari di nikahan seorang teman, saya bertemu seniman karawang Namanya A Endang. Dia seorang MC dan juga Wiraswara di berbagai acara kesenian, dia melihat bakat saya, dan mengajak juga memperkenalkan saya pada seniman seniman tradisional karawang.
Singkat cerita saya dikenalkan sama Teh Ani (seorang sinden dan penari yang cukup dikenal di Karawang). Teh Ani (lingkung seni Genjreng Kalem), oleh Teh Ani saya diajak belajar dan Pentas sebagai tokoh Aki Lengser di acara upacara adat sunda menyambut rombongan pengantin pria. Saat pertama kali pentas saya diberi kebebasan improvisasi saja karena Teh Ani meyakinkan saya kalau saya mampu berperan jadi Aki Lengser.
Disamping itu saya juga secara tidak langsung belajar menari sama Teh Ani karena dia juga seorang penari Jaipong yang cukup terkenal di kalangan seniman tradisional Karawang. Saya sering memperhatikan dia saat menari Jaipong Ibing Pencug, menari dengan gerakan spontan, tanpa pola tertentu, lebih ke refleks antara penggendang dan penari yang bergerak mengikuti irama ketukan gendang.
Dari situ saya tertarik belajar Ibing Pencug. Tidak hanya belajar tari saya juga mulai mencari tahu sejarahnya Ibing Pencug, sepengetahuan yang saya terima dari The Ani, Ibing Pencug awalnya bukan tari formal yang biasa dibawakan saat pentas berlangsung, katanya dulu cuma mengisi kekosongan waktu saat pentas, dibawakan dengan gaya gerak humor tapi tetap memperhatikan estetika tari dan kesesuaian ketukan musik.
Bagi saya ibing pencug itu unik dan menarik apalagi dibawakan oleh penari perempuan dengan kebaya tapi dengan pola gerak yang kuat, gagah karena ada unsur pencak silatnya yang saya perhatikan. Sekarang pola tari itu disebut Pencugan dan sudah mulai banyak diajarkan. Ada tokoh-tokohnya juga, misalnya Wa Doris di Topeng Pendul, Ki Baong di Topeng Pencug, Teh Ani, Teh Engkas, Teh Nia, dan masih banyak lagi.
Jadi Mang Hasan lebih sering mementaskan tari topeng?
Iya, kebetulan saya memang basic-nya di tari topeng. Circle saya juga banyak di teater, teman-teman saya di lingkungan ruwatan. Saya lebih sering membawakan tarian ritus, yang bernuansa upacara adat, seperti Hajat Bumi, Ruwatan Gunung, dan semacamnya.
Kenapa Mang Hasan memilih fokus ke tari topeng, bukan jenis tari tradisional lain?
Saya tertarik di Tari Topeng karena di situ saya tidak hanya menari, tapi mencoba memerankan tokoh Topeng yang saya tarikan. Saya membawakan karakter tertentu, dan itu tantangan tersendiri. Dalam tari topeng, kita mesti menyesuaikan gerakan dengan karakter topeng yang kita pakai.
Uniknya, begitu penari menggunakan topeng, auranya langsung keluar. Belum bergerak saja sudah ada power-nya. Kekuatan Tari Topeng Cirebon ada pada peralihan karakter—saat penari dari menari tidak memakai topeng menjadi memakai topeng. Dan itu keren sekali seperti ada aura lain yang masuk ke penarinya.
Kapan pertama kali Mang Hasan mulai tertarik belajar dan menekuni tari topeng?
Saya mulai belajar pada tahun 2011. Waktu itu saya belajar di sebuah sanggar di Indramayu. Tapi karena keterbatasan waktu, selebihnya saya belajar otodidak lewat YouTube—belajar Tari Topeng Bali, Topeng Jepang, dan sebagainya.
Seberapa berkesan proses pembelajaran di Indramayu waktu itu?
Berkesan banget. Di sana saya bisa keliling pentas di berbagai event, dan juga kenal kuliner Indramayu. Misalnya, saya pernah pentas di hajatan, di acara Ngarot (pesta adat panen), atau Ngunjung Buyut. Acaranya besar dan meriah. Menurut saya, Indramayu termasuk kabupaten yang serius banget menjaga tradisinya.
Bagaimana proses Mang Hasan menguasai gerakan dasar hingga bisa mahir dalam hal menari tradisional?
Kalau dibilang mahir sih, berat juga ya, hehe. Sebelum membawakan karakter, saya cari tahu dulu sejarahnya: berkaitan dengan apa, tokohnya siapa, karakternya bagaimana.
Misalnya, waktu kami membawakan tokoh Dewi Sri—itu tidak pakai topeng, tapi tetap perlu pemahaman karakter. Murid saya yang perempuan membawakannya. Idealnya itu butuh waktu tiga bulan, tapi karena acaranya mendadak, kami latih sekitar dua minggu. Kami fokus pada pembawaan. Dewi Sri itu karakternya cantik, kalem, kontak mata tidak genit, lebih sayu. Ruh dari karakter itu yang harus dikuasai di panggung.
Oh iya, denger-denger Mang Hasan punya sanggar sendiri. Di mana itu?
Sebenarnya enggak bisa dibilang sanggar secara konvensional. Lebih ke ruang berkesenian. Tempat diskusi dan berkumpul. Namanya BaleSeba. Di situ teman-teman ngumpul, ngobrol, eksekusi ide, dan latihan. Latihannya enggak rutin, kecuali kalau memang ada acara. Misalnya, waktu tampil di Pemda Karawang, kami bawakan Harmoni Kalapare. Saya diminta membuat bentuk tarian yang berkorelasi dengan pesan dari pembuat wayang kalapare nya.
Kapan sanggar Mang Hasan resmi berdiri dan siapa yang mendukung waktu itu?
Kami enggak ada peresmian-peresmian gitu sih. Jalan saja. Karena aktivitasnya juga enggak terlalu padat, kecuali kalau ada event.
Kalau soal dukungan, lebih ke teman-teman sefrekuensi—seniman, komunitas teater, komunitas musik. Kami sering diskusi dan saling support, khususnya secara moral dan semangat.
Apa metode pelatihan yang Mang Hasan terapkan untuk murid-murid?
Awalnya kami ngobrol dari hati ke hati, diskusi, olah tubuh, lalu masuk ke penjiwaan. Saya kasih mereka referensi, misalnya cari tahu siapa tokoh yang akan dibawakan, lalu saya putar musik agar mereka bergerak sendiri.
Tujuannya biar tubuh mereka mengalir dengan aliran musik dan bisa eksplorasi gerak sendiri. Setelah mereka menemukan gaya mereka, baru saya masukkan koreografi yang sesuai dengan konsep besar tarian itu.
Kapan terakhir kali Mang Hasan tampil bersama teman-teman?
Baru-baru ini, hari Kamis sewaktu itu, pas Hari Pers Nasional. Saya sebagai konseptor tari sekaligus penari, tampil di Aula Husni Hamid, Pemda Karawang. Wah, itu membanggakan. Kalau Masnya lihat pertunjukannya, pasti kelihatan beda. Dari konsep, kostum, sampai gerak, semua beda sendiri. Karena kami masukkan unsur teatrikal. Kalau penari lain biasanya dengan kostum penari yang glamor, kami lebih sederhana tapi kuat di pesan.
Tentu ada rasa khawatir juga: apakah dengan begitu penonton menikmati atau bosan? Tapi di sisi lain, saya sadar, semua ada pasarnya masing-masing. Sebagian menikmati, sebagian tidak. Itu hal yang wajar dalam berkesenian.
Apa tantangan terbesar yang Mang Hasan hadapi di dunia tari tradisional khususnya Tari Topeng ini?
Tantangannya itu membangun karakter tokoh yang dibawakan. Kadang saya pentas di satu tempat dengan satu karakter, terus pindah ke tempat lain mesti ganti karakter lagi. Itu yang kita harus paham konsep besarnya.
Bagaimana cara mengatasi tantangan itu?
Banyak-banyak diskusi, latihan bareng, ngobrol. Nanti juga akan mengalir sendiri dan berjalan baik.
Apa rencana Mang Hasan ke depan terkait Tari Topeng?
Saya sih mengalir saja. Enggak banyak rencana besar. Tapi kalau boleh punya target, saya ingin suatu saat bisa membawa karya saya juga penari saya, pentas di luar negeri, tapi itu PR besar bagaimana saya harus bisa berkarya semaksimal mungkin.
Apa pesan Mang Hasan untuk pembaca Nyimpang?
Iya, saya rasa untuk teman-teman Nyimpang, ketika punya ide atau gagasan, tidak usah banyak keraguan, nanti gimana nanti gimana, biarkan saja nanti pembaca atau siapa pun yang menikmati karya kita yang menjawab. Ketika ada yang bisa menerima, itu reward buat kita, kalaupun tidak ada, kita gak perlu khawatir, karena setiap penulis atau seniman punya pangsa pasarnya masing-masing.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.