Tarawih di Saf Depan

Seorang anak bertekad tarawih di saf depan, tetapi godaan gorengan di rumah menguji kekhusyukannya.

Ramadhan kali ini, aku bertekad jadi anak baik. Pokoknya nggak mau bolos tarawih lagi kayak tahun-tahun sebelumnya. Kalau bisa, saf depan terus!

Maka malam itu, aku datang lebih awal ke masjid, pasang muka alim, dan duduk manis di saf pertama. Tapi begitu imam mulai membaca surat panjang di rakaat pertama, pikiranku mulai melayang ke rumah.

Lebih tepatnya, ke meja makan.

Bayangin, di rumah masih ada sepiring tempe mendoan yang tadi aku simpan buat nanti. Ada juga tahu isi yang kriuk-kriuk, plus sambal kecap pedas manis favoritku.

Aku mencoba fokus, tapi kok imamnya bacaannya lama banget?

Di rakaat kedua, aku makin gelisah. Sumpah, kalau bukan karena di saf depan, aku udah nyerah duluan. Aku melirik ke samping, bapak-bapak sebelahku khusyuk banget. Aku jadi makin merasa bersalah.

Astagfirullah, ini tarawih atau nunggu waktu buat makan lagi?

Masuk rakaat keempat, perutku mulai ngasih kode. Pelan tapi pasti, bunyi kroook… kroook… bikin aku panik sendiri. Semoga orang sebelah nggak dengar!

Di rakaat keenam, aku mulai berdamai dengan keadaan. Aku mengingatkan diri sendiri, ini bulan penuh berkah. Fokus ibadah! Bukan fokus gorengan!

Tapi begitu imam masuk rakaat kesepuluh dan bacaannya makin panjang, aku menyerah. Dalam hati aku berjanji, selesai salam terakhir, aku bakal langsung lari pulang. Gorengan sudah menunggu!

Begitu salam terakhir selesai, aku buru-buru keluar masjid. Tapi belum sempat sampai pintu, Pak RT menepuk bahuku.

“Masya Allah, kamu tarawihnya khusyuk banget, Nak. Besok ke masjid lagi, ya!” katanya sambil tersenyum.

Aku hanya bisa mengangguk canggung.

Dalam hati, aku tahu: tarawih malam ini sukses di saf depan, tapi gagal di fokus.

Seorang hamba yang suka nulis, doyan ngopi, dan gemar mendalami berbagai hal baru.

Related Post

No comments

Leave a Comment