Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat yang lagi ramai dibicarakan, adalah sebuah Rancangan Undang-Undang yang pada mulanya diharapkan menjadi solusi krisis perumahan yang menghantui jutaan pekerja yang notabene generasi roti lapis di Indonesia. Program ini dirancang untuk memberikan akses kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau bagi para pekerja.
Namun, sejak peluncurannya, semua orang langsung meresponsnya dengan cara paling masuk akal: berak siapa nih yang nyelip di tengah-tengah roti lapis kami ini? Setelah skandal MK, dan kini MA juga?
Generasi sandwich, sebuah istilah yang mengacu pada kita yang berada di tengah-tengah dua generasi, orang tua dan adik-adik kita–atau anak kita sendiri. Pertama harus merawat anak-anak mereka sendiri sementara juga merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Fenomena ini semakin nyata di Indonesia seiring dengan peningkatan harapan hidup dan perubahan struktur keluarga. Beban ganda ini memberikan tekanan fisik, emosional, dan finansial yang luar biasa pada individu yang berada dalam situasi ini.
Dalam keadaan ini konten-konten penguat jiwa atau lagu-lagu healing Kunto Aji saja tak cukup. Sebab kita semua tak cuma harus menghadapi tekanan finansial yang berat. Harus membiayai pendidikan anak-anak, biaya hidup sehari-hari, dan pada saat yang sama, menanggung biaya perawatan kesehatan orang tua yang lanjut usia. Dengan gaji yang segitu-gitunya, dan biaya hidup yang terus meninggi ini bisa-bisa kita cuma terjebak dalam gaya hidup gali lubang tutup lubang. Anda ingat kan kalau Jawa Barat khususnya tercatat sebagai pengguna pinjol gagal bayar terbanyak?
Di tengah situasi ini, program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diperkenalkan sebagai upaya untuk meringankan beban finansial terkait perumahan bagi para pekerja. Namun, bagaimana efektivitas Tapera dalam membantu generasi sandwich yang berada di tengah tekanan ganda ini?
Keramaian mengenai Tapera berawal dari pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera yang bertujuan untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia. Program ini dirancang untuk memberikan akses kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau bagi para pekerja. Namun, sejak awal, banyak pihak yang meragukan efektivitas dan transparansi program ini, mengingat sejarah buruk pengelolaan dana publik di Indonesia seperti pada kasus Asabri dan Jiwasraya.
Masalahnya Tapera berpotensi dikorupsi, mengingat kasus-kasus korupsi sebelumnya dalam pengelolaan dana Asabri dan Jiwasraya. Kelemahan dalam pengawasan dan manajemen risiko yang memadai meningkatkan risiko penyalahgunaan dana Tapera. Terutama karena Komite Tapera dan BP Tapera memiliki kewenangan besar dalam mengelola dana tanpa pengawasan yang memadai.
Di sisi lain isu pungutan dari gaji atau iuran paksa ini juga mendapat banyak kecaman, misalnya Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang merencanakan demo besar menolak Tapera, mengklaim program ini membebani pekerja dengan potongan iuran yang signifikan tanpa kontribusi pemerintah. Pengusaha dan buruh menolak Tapera karena dianggap tumpang tindih dengan program BPJS Ketenagakerjaan, menambah beban finansial tanpa kejelasan manfaat.
Setidaknya Serikat Buruh menyoroti enam alasan menolak Tapera, termasuk potongan iuran yang membebani, potensi korupsi, serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana.
Salah satu kritik utama terhadap Tapera adalah keterbatasan cakupan dan manfaat yang ditawarkan. Banyak pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal, masih sulit untuk mengakses program ini. Meskipun Tapera dirancang inklusif, kenyataannya, banyak pekerja yang tidak memiliki akses informasi dan fasilitas yang memadai untuk berpartisipasi. Belum lagi mengenai transparansi dan track record akuntabilitas Negara dalam pengelolaan dana apa pun, dan mau ditambah pula dengan Tapera ini.
Hingga kini, belum ada kabar bagaimana mekanisme yang jelas dan transparan untuk memastikan dana yang dikumpulkan dari kontribusi pekerja dikelola dengan baik dan tepat sasaran.
Tapera seharusnya bersinergi dengan program perumahan lain yang sudah ada. Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi tumpang tindih dan kurangnya koordinasi antar program, baik di tingkat pusat maupun daerah. Jika kita mau nengok ke belakang, lihatlah model pengelolaan dana Covid-19, distribusi pra-kerja dan subsidi-subsidi lainnya. Sampai saat ini banyak pejabat daerah yang dicokok satu persatu karena itu. Hanya Tuhan yang tahu, berapa persentase antara mereka yang tercokok dan tak tersentuh.
Apakah kami perlu pula menambahkan bagaimana kondisi infrastruktur dan teknologi kita. Banyak wilayah di Indonesia masih kekurangan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih. Selain itu, pengelolaan Tapera yang efektif memerlukan sistem teknologi informasi yang canggih untuk memantau dan mengelola kontribusi serta distribusi dana secara efisien.
Mungkin saja Tapera tidak bisa menyelesaikan semua masalah generasi roti lapis. Tapi sebelum pemerintah kita menambahkan topping mencurigakan ini, sebaiknya ia menunjukkan keseriusannya lebih dulu pada program maupun institusi yang telah berjalan. Terutama dalam masalah transparansi, akuntabilitas, dan sinergi yang lebih baik. Karena Tapera sama saja dengan inisiatif yang lain, hanya berisiko menjadi program yang gagal.
Masalah perumahan di Indonesia jelas ruwet, terutama bagi generasi roti lapis yang harus menanggung beban ganda. Untuk mengatasi permasalahan ini, mungkin kita dapat belajar dari berbagai negara.
Misalnya Denmark dengan konsep co-housing dan shared housing yang memungkinkan beberapa keluarga berbagi ruang dan fasilitas umum seperti dapur, ruang tamu, dan taman. Model ini tidak hanya mengurangi biaya perumahan tetapi juga mendorong interaksi sosial dan dukungan antar anggota komunitas. Atau Inggris memiliki skema kepemilikan bersama (shared ownership) yang memungkinkan individu untuk membeli sebagian dari properti dan membayar sewa untuk sisanya.
Tapera memiliki potensi besar untuk membantu generasi roti lapis di Indonesia, namun tantangan terkait transparansi, akuntabilitas, dan tumpang tindih dengan program lain perlu diatasi. Reformasi diperlukan untuk memastikan dana Tapera digunakan dengan efisien dan efektif, benar-benar memberikan manfaat bagi para pekerja.
Untuk memastikan bahwa Tapera dapat memberikan manfaat maksimal, pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana, serta menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses mengenai cara berpartisipasi dan manfaat yang bisa diperoleh. Selain itu, perlu ada kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, serta program dukungan kesehatan mental untuk membantu kita mengatasi tekanan emosional.
Generasi kita menghadapi tantangan besar yang memerlukan perhatian dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Tapera adalah langkah yang baik, namun perlu dioptimalkan agar benar-benar dapat membantu meringankan beban finansial mereka. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan yang terintegrasi, kita bisa menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan sejahtera. Sudah saatnya kita bergerak bersama untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses ke perumahan yang layak dan dukungan yang memadai. Caranya apakah Tapera? Entahlah.
So, Tapera, pungutannya, apakah benar-benar topping yang layak ditabur dalam roti tangkup kita? Kami sih sudah mengendus aroma-aroma tak sedap seperti yang sudah-sudah.