Saat jam dalam perkiraanmu menunjukkan angka 00:00, kau mendengar langkah kaki yang diseret merayap perlahan dari arah tangga dekat kamar indekosmu.
Tepatnya di anak tangga paling dasar. Dua kakinya, begitu yang bisa kamu kira sejauh ini, menjajaki anak tangga satu demi satu.
Apa Kunti betulan jalan kaki, atau terbang? Pertanyaan goblok. Kau mau searching tapi kau merasa gemetar hanya dengan menatap layar teleponmu sendiri.
Pelan sekali, sehingga kau punya waktu memikirkan hal lain.
Tangga kedelapan, hitungmu. Dari tangga pertama sampai sini, kau sudah menebak-nebak apakah itu tetangga kosmu yang batal mudik, karena dicegat satgas covid di jalan tol, sehingga ia harus kembali; atau itu induksemangmu yang doyan mengintipi penghuni kosan.
Kemungkinan pertama langsung gugur karena tak ada yang sanggup melawan hasrat mudik warga Indonesia, bahkan penyakit, bahkan negara, aduh apa lagi negara.
Kemungkinan kedua, mustahil terjadi karena kau tahu, dari semua yang ada di indekos ini cuma kaulah penghuni laki-laki, plus tidak pernah disinggahi apalagi diinapi perempuan. Untuk apa mengintip laki-laki yang mengusir bosannya dengan porno gay dan bercoli dengannya?
Kau sudah bulat, ini pastilah yang ketiga: Kunti.
Tangga ke delapan, bisikmu. Masih ada satu pikiran untuk diselesaikan sampai “apapun itu” mencapai anak tangga kesepuluh.
Aku harus memikirkan hal lain, pikirmu.
Tangga ke sembilan, kapan terkahir kali kau kencing di celana. Mungkin saat kau kelas empat SD, terlalu besar untuk mengompol. Kejadian memalukan, kau bahkan tak sanggup menatap mata May sampai lulus.
Gadis itu, sekalipun tak pernah memperhatikanmu secara khusus, ia tetaplah orang pertama yang tahu kau mengompol, dan sempat melindungimu dari siswa SD yang menggila setiap dapat bahan ledekan.
Apa boleh bikin aroma kencing itu seolah melumuri seluruh dinding kelas. Perlindungan seorang tak akan sanggup melawan gelombang anak SD yang mendadak gila.
Demi Tuhan. Apa salahnya mengompol di kelas? Beberapa bulan lalu, Pak Muhlas menepuk pantat Rita, tak ada yang protes meski anak itu mendadak jadi sering sakit, kejang-kejang, dan kesurupan.
Tangga kesepuluh, mantan pacarmu dulu sekali, sering menyebut, orang kecil punya penis besar.
Meski ukuran bukan segalanya, sambungnya lagi, kalian orang-orang berwatak macho yang straight maupun seperti kita-kita ini masih menganggap itu penting. Ngomong-ngomong dialah satu-satunya orang yang pernah menginap di sini dua tahun silam.
Tangga kesebelas. Kau teringat tayangan predator-predator terbaik di padang liar Afrika. Teritori dan air kencing. Lumayan masuk akal. Apakah orang-orang saat aku mengompol jadi menggila karena aku sedang membuat teritoriku tanpa sadar?
Tangga keduabelas, kau sudah tak tahan lagi. Ketakutan itu, kebelet pipis ini.
Persetan, kau mulai menyibak selimut, menanggalkan kaus dan kolormu. Tubuh telanjangmu kau paksakan berdiri dan langsung melangkah mantap ke arah pintu, membuka kunci dan tuasnya dengan cepat.
Kau berjalan mantap. Keberanian mirip seperti mie kuah, panasnya tidak punya waktu lama. Jadi harus diseruput selagi panas, keberanian harus dipakai sebelum jadi benyek.
Pintu terbuka, matamu lolos saja ke ruang kosong hitam di arah tangga, perkiraanmu terbukti, itu cuma suara. Cuma suara berengsek. Kau merasa lebih berani, sekaligus marah. Bukan karena kau tak melihat sosok apapun tapi karena kau, ternyata sudah dibikin takut sekian lama cuma oleh suara.
Kau melangkah ke arah tangga. Berdiri tegak di puncaknya, matamu menetak ke batang kontolmu sendiri. Lalu kencing sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya.
Di usia ini, berapa meter yang sanggup dicapai dari pipismu sekarang, meski lampu belum nyala, dari pantulan suara pipismu, ini terjawab sudah pertanyaanmu.
Balia Ompol sudah tidak ada. Kenalkan Balia Singa, sedang menandai teritorinya. Suaramu memantul sampai ujung tangga di koridor.