Saya membuat judul dengan kata gaul “rempong” memang disengaja. Bukan kebetulan belaka, kawan~ Sebelum membaca lebih jauh, mari kita telisik apa makna kata tersebut. Dalam https://glosarium.org/arti-rempong-di-kata-gaul/, rempong diartikan dengan ribet, repot atau rese. Ya kurang lebih seperti Minpang, hehe.
Memang demikianlah kenyataannya untuk tanah Rempang di tiga minggu terakhir ini. Ribet sekali memang, bahkan saking ribetnya persoalan Pulau Rempang membuat aparat negara harus terjun langsung secara sadis dan semena-mena. Saking repotnya, persoalan ini membuat aparatur sipil negara, dari tingkat Menteri sekelas Pak Mahfud MD, harus menerangkan panjang lebar masalah tanah ulayat Melayu di atas. Dan saking resenya, semua anak bangsa, dari akar rumput hingga kalangan atas, memperhatikan gejolak yang terjadi di pulau dekat Batam ini.
Sebelum membahasa lebih jauh tentang kerempongan tanah Melayu ini, mari kita telusuri sejarahnya dulu. Dalam laman Kompas.com disebutkan Pulau Rempang terletak 3 KM ke tenggara dari Pulau Batam dan disambungkan oleh jembatan yang tersambung dari Batam, Galang, dan Rempang, sehingga ada akronim yang populer hingga kini, yakni Barelang. Akronim dari Batam, Rempang, dan Galang. Di Pulau Rempang, sebagaimana dijelaskan oleh Garisman Ahmad, yang merupakan masyarakat setempat, warga asli Pulau Rempang adalah Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, yang diyakini sudah tinggal di Pulau Rempang sejak 1834. Menilik angka tahun, masyarakat Melayu tersebut mendiami Pulau Rempang sejak masa kesultanan Siak Indrapura. Jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Bahkan di catatan VOC, Pulau Rempang sudah berpenghuni sejak tahun 1634-an. Jauh terdahulu sekali dibandingkan catatan Garisman Ahmad di atas.
Merasa sebagai orang asli, yang sudah ratusan tahun tinggal, namun tiba-tiba mau direlokasi dengan alasan demi pembangunan dan kesejahteraan, maka jelas sekali mereka menolak. Apalagi mereka sangat dekat dengan Pulau Tumasik (Singapura) yang alur ceritanya dulu hampir menyerupai mereka saat ini, demi pembangunan ekonomi, mereka harus tersisih sebagai masyarakat asli di bumi Melayu Tumasik. Kejadian dahulu di tanah Tumasik jangan sampai terulang lagi di Pulau Rempang ini.
Dengan Alasan Pembangunan dan Kesejahteraan.
Pertanyaan yang menyisakan ketidak puasan hingga kini adalah alasan demi pembangunan ekonomi . Kalau pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, haruskah menggusur masyarakat setempat? Pro dan kontra terjadi pada tahap ini. Bagi yang sepakat, mempunyai alasan dengan istilah ‘negara menguasai tanah, air dan udara’. Berdasarkan frasa ini, setiap jengkal tanah di negeri ini dikuasai oleh negara, dan negara apabila butuh tinggal ganti rugi dan merelokasi para penghuninya ke tempat lain. Hakikatnya, frasa tersebut berasal dari Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yaitu:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kita mesti sepakat bahwa ‘dikuasai’ bermakna diurusi, dilayani, diayomi, dilindungi, disejahterakan, dan dihargai. Bukan bermakna dirampas, direlokasi, dipaksa, dan dijatuhkan. Celakanya, frasa ‘digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ tak pernah dihiraukan. Maka, timbul la oligarki sadis di negeri ini.
Para penguasa negara memang tak pernah mandiri di tangan penguasa ekonomi negeri ini. Telah berumur 78 tahun Indonesia, namun tetap saja penguasa negara di bawah bayang-bayang oligarki. Kemerdekaan yang kita inginkan ‘merdeka dari segalanya’ seakan menjadi bertolak-belakang dari falsafah negara. Kemerdekaan terkibiri dan tersandra oleh kepentingan para pemilik modal besar. Di negeri ini, para pemilik modal bak raja diraja, sedangkan kaum buruh dan Masyarakat kecil terpinggirkan. Pada tahap ini, kesejahteraan rakyat hanya omong-kosong.
Apakah para pengusaha memang sejahat itu? Tentu tidak juga. Sebab para pengusaha yang tergabung kepada elite oligarki di atas, adalah sekumpulan manusia yang pasti punya hati nurani. Namun, saat ini karena dukungan penguasa negara sedang massif-massifnya, maka urusan hati nurani dipinggirkan dulu. Barangkali, kesempatan itu tak akan datang untuk kedua kalinya.
Kekuatan Puak Melayu dan Pak Mahfud MD.
Kini tinggal berharap, apakah Puak Melayu benar-benar kuat menahan gempuran dahsyat para investor. Kami, orang luar Melayu, hanya menjadi penguat moral. Dan mungkin juga menguatkan dari sisi ekonomi terbatas untuk membantu pembiayaan Masyarakat Melayu Pulau Rempang dalam aksi penolakannya. Masyarakat Melayu di pulai ini harus benar-benar sadar, bahwa jika kekuatan mereka terkalahkan, maka akan menjadi Singapura kedua kalinya. Penduduk asli Suku Melayu akan tergusur dan terusir.
Memompa kekuatan Puak Melayu agar terus melawan atas ketidakadilan ini memang perlu melibatkan Tamadun Melayu secara luas. Di sini ada Riau Daratan, Semenanjung Malaysia, dan Riau Kepulauan. Ditambah Melayu Pontianak dan Brunei. Jika Puak Melayu di seantero Tamadun Melayu menggalang kekuatan, maka kekuatan investor yang ingin mencabik-cabik Pulau Rempang tak akan berhasil. Kedaulatan tanah Rempang (dan tanah-tanah Melayu lainnya) akan tetap tegak berdiri dengan kukuh.
Kekuartan Puak Melayu di sinilah yang bisa mengangkat marwah tamadun Melayu. Kami di luar itu hanya penyokong, baik doa ataupun aspirasi lainnya.
Kami pun, lebih-lebih penulis ini, kurang sepakat atas apa yang dipaparkan oleh tokoh Madura yang kini ketepatan menjadi menteri, yakni Bapak Mahfud MD. Saya tidak menyalahkan beliau secara pribadi, namun pernyataannya yang membela para pengusaha oligarki itu telah melukai rasa keadilan Masyarakat kelas bawah. Jika pun harus membela pemerintah, karena beliau menteri, tidak secara terbuka membuat pernyataan pembelaan kepada para investor tersebut.
Beliau pasti paham, bagaimana rasanya tanah-tanah yang dulu berada di tangan masyarakat, namun terlepas gara-gara investasi. Dan kejadian ini menimpa tanah masyarakat Madura, asal dari Bapak Mahfud MD. Di mana, di Pantai-pantai utara Pulau Madura, tanah-tanah nenek moyang itu telah beralih fungsi menjadi tambak dan perusahaan-perusahaan, yang entah, perusahaan apa, sebab terlindung di balik tabir. Saya yakin, jika terus demikian, pelan tapi pasti, masyakat Madura pun akan terusir dari pulau di mana mereka dilahirkan.
Maka, jika pun kita hendak membangun ekonomi negeri dan ingin agar rakyat sejahtera, jangan sekali-kali kita paksa mereka meninggalkan tumpah darah, di mana mereka lahir. Optimalkan pulau yang telah terlanjur mejadi basis industri seperti Batam. Bangun Batam agar bisa bersaing dengan Singapura, misalnya. Janganlah menyasar pulau-pulau lain di luar Batam.
Semoga catatan kecil dari pinggiran terdalam di Pulau Madura, yang bagian integral dari pulau-pulau di Nusantara ini menjadi renungan bersama. Wallahu a’lam bishowab.