
Jakarta dengan wajah marah setiap jam pulang
huru-hara pada klakson motor di kolong lintasan kereta listrik
tidak ada kuntilanak merah di Terowongan Casablanca
tak ada hantu di Pondok Indah
seekor anjing yang berjaga di depan kastil orang tuamu saja
repot. repot sekali aku membawa nama besar yang diwariskan Bapakmu
apa baiknya kita akhiri saja?
tak mungkin kita berpesta tanpa aku tau dari mana uangnya
sedang uangku cuma cukup buat membeli dua buah materai perjanjian pranikah
aku ingin mengelabui maut dan menantang kenidupan yang nenyedihkan biar kalian yang tanggung semua kepulangan
kalau tidak,
aku bakal berkelahi dengan Malik dan menyuruhnya membukakan pintu biasa saja, tak ada yang perlu dijaga sebab neraka layak juga
kelak aku akan menemukan pemandian air hangat di dalamnya dan melempar satu-dua daun ganja di bebatuan panasnya: lalu berbahagia orang-orang di neraka dengan rokok yang menyala-nyala!
aku selalu mengingat Jakarta sebagai kota yang memisahkan aku dan engkau;
dari Soedirman ke Senajan: di antara yang berjualan bertukar receh dan orang-orang dari kelas menengah dengan saldo-saldo nanggung mencari-cari Wi-Fi buat bayar kopi starling
aku dengar hidup adalah perjalanan seperti kereta, setiap pemberhentian membuang kenangan yang membudal
Alamak, dinding kelas terlihat sekali dari jendela ini!
“Halo? Kamu pulang jam berapa? Jangan bikin Mami marah.”