Krisis Ruang Aman dalam Pengajaran Fiqih di Lingkungan Pesantren
Sebuah catatan tentang ruang aman santri perempuan dan kebebasan berpendapat di lingkungan pesantren.
Sebuah catatan tentang ruang aman santri perempuan dan kebebasan berpendapat di lingkungan pesantren.

Film yang di tengah zaman kaok bana kini menuju Perang Dunia III (yang padahal Indonesia gak pernah diajak) ini jadi semacam pengingat kita bahwa jangan-jangan, kita sudah terlalu lama diam saat dunia di sekitar kita dibajak oleh tafsir-tafsir tunggal. Anjay! Tafsir tunggal ceunah!

Sejak saat itu saya jadi trauma tiap membaca tulisan You’ll Never Walk Alone.

Saya menarik napas panjang. Jadi, buat apa kemarin-kemarin kita workshop, technical meeting, dan rapat membahas kurikulum merdeka? Nyatanya jauh sekali dari kata merdeka. Ya seperti anak-anak skena dengan tagar #NoSexism tapi waktu temannya jadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual malah hadir yang paling depan sebagai yang mengintimidasi dan menihilkan korban.

Aku harus pergi dari tempat ini, karena Ali telah membuatku berjanji sehari sebelum ia mati. Namun tidak ada hal yang benar-benar dapat kujadikan kompas untuk perjalananku. Kota tujuanku adalah sebuah nama kota yang baru saja dipaksa bangun, justru setelah penemunya mati. Kota itu bernama Madinah Al-Ghaibiyah. Berdasarkan apa yang pernah Ali tulis, itu adalah kota […]

Kebiasaan terpisah dari lawan jenis di pesantren selama enam tahun—dalam konteks ini dengan teman perempuan, menjadikan keadaan berkerudung dan tidak bersentuhan fisik dianggap sebagai hal yang paling aman dan wajar, alhasil saya tidak terbiasa untuk bersinggungan langsung secara kontak fisik dan selalu merasa gugup melihat teman perempuan yang tidak menggunakan kerudung. Mungkin bagi sudut pandang lain, agama contohnya, hal ini disebut kebaikan. Tapi justru di sini masalah yang mesti saya hadapi ketika kuliah.
