Surat untuk Gaza dan Dunia

Suara nurani untuk Gaza dan Dunia.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Maafkan kami, saudara-saudara di Palestina. Kami tidak bisa menghentikan rudal-rudal yang menimpa atap rumah kalian.

Kami tidak bisa menenangkan tangisan anak-anak yang kehilangan ibunya.
Kami tidak bisa ikut berdiri di reruntuhan, apalagi menggenggam tangan kalian yang gemetar.

Kami bukan siapa-siapa.
Kami tidak punya jabatan.
Kami tidak punya kekuasaan.
Kami hanya manusia biasa yang hatinya ikut remuk saat mendengar berita tentang 50 ribu nyawa yang hilang, lebih dari 100 ribu yang terluka, dan jutaan lainnya yang kelaparan di Gaza.

Kadang kami hanya bisa menangis diam-diam saat membaca berita seperti ini:

“576.600 warga Palestina kelaparan.” — liputan6.com
“Ribuan anak balita tewas karena kekurangan makanan dan obat sederhana.” — kompas.com

Kami ingin menjerit, tapi tak tahu harus ke mana. Kami ingin membantu, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Tapi kami percaya satu hal: luka kalian bukan hanya milik kalian.
Luka itu juga merobek nurani kami, di sini—di negeri yang damai tapi penuh rasa bersalah. Dan karena itu, kami berjanji, kami tidak akan diam.

Kami akan terus menyebut nama kalian,
akan terus menyuarakan ketidakadilan ini, akan terus berdoa, bahkan kalau suara kami cuma bisikan yang berdesir di antara doa-doa malam. Kami tahu itu tidak cukup, tapi diam adalah bentuk pengkhianatan paling keji.

Buat Para Pemimpin Dunia

Buat para pemimpin dunia,
surat ini bukan datang dari seorang diplomat, bukan pula dari pengamat politik. Surat ini datang dari kami—orang biasa yang tiap malam harus menenangkan hatinya sendiri setelah melihat foto-foto horor dari Gaza.

Kami bertanya-tanya:
Di mana suara kalian saat rumah sakit dihancurkan?
Di mana langkah kalian saat anak-anak dibunuh?
Apakah dunia harus benar-benar runtuh dulu agar kalian merasa terpanggil?

Kami tahu politik itu rumit. Diplomasi itu berliku. Tapi, tidak ada yang lebih sederhana dari penderitaan manusia.
Dan tak ada pembenaran apa pun untuk membiarkannya terus berlangsung.

Jadi kami mohon:

Hentikan kekerasan ini. Buka akses bantuan kemanusiaan. Dukung solusi damai yang adil dan manusiawi. Karena sejarah tidak akan melupakan siapa yang memilih diam saat Gaza berdarah.

Untuk Para Pengusaha dan Dermawan

Kepada para pengusaha dan dermawan,
kalian yang diberi kelapangan rezeki,
yang punya armada logistik, gudang-gudang penuh bahan pangan, dan saldo yang cukup untuk menyelamatkan ribuan nyawa—

Hari ini kami mengetuk pintu hati kalian.

Gaza tidak hanya butuh air mata kami. Mereka butuh makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Bukan dalam sebulan, tapi hari ini. Sekarang.

“UNICEF menyebut 700.000 orang di Gaza kekurangan total terhadap pangan dan air bersih.” — ANTARA News

Jika kekayaan adalah amanah, maka inilah waktu untuk menunaikannya.
Bukan untuk membangun billboard yang lebih besar, tapi untuk membeli sekarung tepung. Bukan untuk menyewa influencer, tapi untuk memberi sepotong roti yang bisa menyelamatkan hidup.

Kami tahu, kalian tidak bisa menerobos blokade itu sendiri. Tapi kalian bisa membantu yang bisa. Donasikan ke LSM yang terpercaya. Kirim dukungan kepada mereka yang bekerja di garis depan.
Jangan tunggu sampai tragedi ini hanya jadi monumen sunyi di masa depan.

Sebab kemewahan kalian hari ini bisa jadi hidup bagi mereka esok pagi.

Buat Kita Semua

Dan terakhir, buat kita semua.
Kita yang tidak punya mikrofon.
Yang tidak punya kekuasaan.
Yang cuma bisa scroll, baca, menangis, dan merasa bersalah.

Percayalah, itu pun sudah awal yang baik.
Jangan remehkan doa. Jangan anggap kecil suara yang terus bersuara.
Karena setiap tindakan kecil—membagikan kabar, menulis ulang cerita, menolak diam—adalah bentuk perlawanan terhadap lupa.

Kita bisa memboikot, mengedukasi, mengingatkan orang sekitar, bahkan menanamkan kepada anak-anak bahwa keberpihakan adalah soal nurani, bukan cuma opini.

Kalau kalian cuma punya air mata, jangan tahan itu. Kalau kalian cuma punya doa, kirimkanlah. Kalau kalian cuma bisa membagikan tulisan ini, lakukanlah. Sebab dunia terlalu bisu, dan Gaza terlalu sunyi kalau kita ikut diam.

Kita tidak bisa menghentikan genosida ini sendirian. Tapi bersama, mungkin suara kita bisa menjadi retakan pertama dari tembok kezaliman yang tampaknya kokoh itu.

Bersuaralah. Sekarang.

Isa Hotaman Nurjaman, akrab disapa Mas Is, lahir di Purwakarta pada 25 Oktober 2000. Mulai belajar menulis sejak tahun 2022. Salah satu karyanya yang telah terbit berjudul Lampang: Rindu yang Tak Terjawab. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di STAI Riyadhul Jannah Subang. Sebagai pendiri Bookmates Community di Kabupaten Subang, ia bersama teman-temannya ia telah menerbitkan buku kedua berjudul Merangkai Kehidupan Baru: Panduan Praktis Hidup Produktif. Ia bercita-cita menjadi penulis yang bermanfaat.

Related Post

No comments

Leave a Comment