Sekira tahun 2003, di sebuah rumah di sekitar Cipaisan, ada sekelompok orang yg terlibat diskusi dan perdebatan panjang. Menyoal berbagai topik yang saat itu dianggap hal yang mustahil, yakni didirikannya Gedung Kesenian yg serius nan megah di Purwakarta. Kebetulan saya dan Ali Novel, turut menjadi saksi riungan yang ahéng itu.
Di benak sebagian orang saat itu, termasuk saya, muncul sepilihan pertanyaan, “Kenapa mesti Gedung Kesenian? Siapa yang nanti akan memakmurkan gedung itu? Siapa pula yang akan mengelola dan menatausahakannya, sehingga gedung kesenian itu tidak sekadar menjadi menara gading?”
Seniman itu adalah “manusia pergi”, bukan “manusia pulang”.
Seniman tak sekadar mesti pulang dan bersemayam di gedung-gedung pertunjukan yang mewah, tak pula di ruang-ruang atau galeri-galeri yang gemerlap. Jika seniman pentas di gedung kesenian atau sesekali nongkrong di mall, itu hanyalah cara dalam mengartikulasikan ekspresi berkeseniannya ke hadapan publik.
Karya seni memang tak akan bisa mengisolasi diri dari masyarakatnya. Seniman dan karya seni memiliki peran dalam menciptakan suatu ekologi, lebih jauhnya membangun ekosistem.
Seniman lebih membutuhkan momentum untuk “pergi”. Pergi dari satu pengembaraan batin, ke pengembaraan batin lainnya. Namun tak berarti seniman mudah berpaling ke lain hati. (tsaah!)
Jujur saja gedung kesenian belum tentu mampu menjawab beragam persoalan. Tetapi eksistensi dewan kesenian-lah yang bisa kita harapkan untuk mengatasi aneka kegelisahan. Melalui pokok-pokok pikiran yang diinisiasi dewan kesenian, kita (mungkin) bisa menyelesaikan kegelisahan tentang terbatasnya ruang pentas bagi seniman.
Dewan kesenian sejatinya bisa melahirkan ide-ide bernas bagi tersusunnya terobosan regulasi agar peranan dan kedudukan kebudayaan tidak sekadar menjadi instrumen pelengkap. Dewan kesenian mampu menciptakan rumusan agar kebudayaan menjadi sebuah tata nilai dalam membangun peradaban.
Dinamika seni-budaya di Purwakarta memang sempat mengalami jeda dan kekosongan. Selalu ada pasang-surut, bahkan tak jarang mengalami periode-periode yang sulit.
Pertanyaannya, apakah DKKP memiliki totalitas prospek dalam menghidupkan kembali dinamika berkesenian setelah mengalami masa jeda dan kekosongan?
Terlalu banyak jawaban dari teori yang serba maybe-maybe-dan-maybe ini….
Kawan-kawan, ini sekadar ngawawa’as. Sekadar menumpahkan kareu’eus atas berdirinya DKKP, yg sejak beberapa tahun silam hanya menjadi tema diskusi dan perdebatan. Tangan-tangan gurita kecil itu, kini telah mengerat dalam satu genggaman.
Sebagai bagian dari berdirinya Dewan Kesenian Kabupaten Purwakarta sepertinya saya tak perlu lagi memaparkan berbagai apologi yang lebih panjang lagi. Bagaimanapun DKKP dibentuk dari genggaman tangan gurita kecil para seniman, tangan-tangan yang sudah banyak dan panjang, dan yang jelas sejak lama ada keinginan untuk menyatukan tangan-tangan itu dalam satu wadah, ya dewan kesenian inilah jadinya.
Bagi saya, ini adalah sebuah kemajuan. Adalah sebuah itikad dan momentum untuk meningkatkan kinerja kreatif dlm menciptakan dinamika kebudayaan di Purwakarta.
Selamat bekerja kepada kawan-kawan DKKP. Semoga Tuhan yang Maha Keren memberi berkah, rezeki, dan keselamatan bagi kita semua.
Cag!