Surat Kopi: Menyeruput, Meneguk, Menikmati Diri Sendiri
Bagiku, membaca puisi-puisi Mbah Jokpin di dalam buku ini adalah salah satu cara untuk mengetahui bahwa tidak percaya diri merupakan bagian dalam mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.
Aku selalu menyukai puisi-puisi Mbah Jokpin. Imaji dan citraan di dalamnya sederhana, membuatku sebagai pembaca cukup mudah membayangkan peristiwa yang sedang digambarkan oleh puisinya. Karena itu, membaca puisi-puisinya (apalagi di buku ini) seakan menjadi penenang atau penjernih dari keriuhan dunia nyata.
Walau aku bukan orang yang menyukai kopi, tapi membaca Surat Kopi ini seakan membawaku kepada pengalaman menikmati secangkir kopi. Terlebih, karena puisi-puisi di dalamnya pendek-pendek, aku menuntaskan buku ini seperti kebanyakan orang minum kopi: diseruput sedikit demi sedikit dihabiskan perlahan.
Seperti yang kubilang di awal, bagiku Surat Kopi memberiku efek relaksasi, penjernih pikiran, terutama perihal tidak percaya diri. Tema besar dalam buku puisi ini menurutku adalah kenangan, sebagian besar puisi-puisi di dalamnya mengandung komposisi kenangan yang mendominasi. Tapi aku mencoba meneguk puisi-puisi ini dari sisi cangkir selain kenangan dan berdamai dengan masa lalu: berdamai dengan diriku sendiri.
A. Kesederhanaan yang Tidak Sederhana
Mulai dari sampul, jumlah bait, susunan kalimat, puisi ini disajikan dengan sangat sederhana. Sampulnya sekilas menampilkan tumpahan kopi dari gelas yang terjatuh, namun ketika dilihat lebih lanjut ternyata bukan. Membuatku juga berpikir apa maksud dari gambar ini. Lalu gambar apa itu? Sila tebak sendiri, hahaha @sukutangan bagiku sangat hebat karena dapat memberikan wajah yang pas dengan puisi-puisi Mbah Jokpin yang memang sederhana ini.
Aku menulis sederhana bukan berarti puisi di dalamnya bisa dengan mudah dipahami dan habis efeknya dengan sekilas atau sekali baca. Tidak sama sekali. Ke-khas-an dan kesederhanaan puisi Mbah Jokpin bagiku adalah kesederhanaan yang tidak sederhana. Misalnya puisi Mudah yang hanya berisi satu kalimat, tapi bisa membawaku pada sebuah perenungan yang dalam.
B. Menikmati Pahit Asam Kehidupan
Akhir Bulan
Tiap akhir bulan
ia jatuh miskin.
Di dompetnya cuma tersisa
selembar doa
yang sudah kumal
dan tak cukup
buat membayar sesal.
(Pinurbo, 2019: 68)
Puisi ini seakan-akan mengerti apa yang jadi keresahanku, tentang betapa menakutkannya akhir bulan. Perasaan resah tentang bagaimana cara menabung diiringi juga dengan bagaimana cara menunjang kebutuhan. Ada juga perasaan sesal, tentang kenapa di awal bulan banyak jajan dan beli ini itu. Seluruh perasaan itu berkumpul membuatku makin gak percaya diri kalau bisa meraih mimpi dan cita-cita. Persis seperti larik di atas “Di dompet cuma tersisa/selembar doa/yang sudah kumal…” Yang kupunya hanya harapan-harapan semu tentang segala hal, juga kekhawatiran dan penyesalan.
Di puisi ini, aku seperti dibawa berkaca, melihat kepada pantulan wajahku di air kopi, mengantarku pada sebuah kesadaran mau sampai kapan aku terus menabung sesal dan doa yang kumal? Aku dibawa pada perenungan tentang masa depan yang sedikit menyenangkan banyak mengerikan.
Saat merasakan hal-hal itu, tak jarang aku juga berpikir untuk menyerah saja. Ada puisi yang menurut interpretasiku memang menyatakan kemenyerahan itu.
Ajarilah
Ajarilah kami,
para pemimpi yang gigih ini,
untuk berdamai
dengan segala andai.
(Pinurbo, 2019: 66)
Di sini aku dibawa untuk melihat dunia lebih realistis. Aku harus memperhatikan yang ada di depan mataku terlebih dahulu, jangan menerawang yang jauh-jauh. Sebagai pemimpi aku memang harus belajar untuk berdamai baik dengan kekurangan yang kupunya maupun dengan harapan yang sangat ingin kuwujudkan.
Jujur, walau puisi ini menyadarkan atau kasarnya menyentilku, tapi aku lega, karena setidaknya ada perenungan yang aku dapatkan. Ada pelajaran yang kuambil dari racikan kata Mbah Jokpin ini. Ternyata, Mbah Jokpin dan puisi-puisinya bukan hanya menegur, tapi juga memberi semacam saran. Aku mendapat saran itu dari seri puisinya yang berjudul Kesedihan dan Kebahagiaan, 1 – 4, Jangan, 1 – 2.
Kesedihan dan Kebahagiaan, 1
Kebahagiaan saya
terbuat dari kesedihan
yang sudah merdeka.
(Pinurbo, 2019: 111)
Jangan, 2
Jangan terburu-buru bersedih.
Baca dulu dengan teliti hatimu.
Sedih yang salah sumber masalah.
(Pinurbo, 2019: 117)
Aku setuju, sedih yang salah adalah sumber masalah. Puisi ini ngerti bahwa kesedihan adalah bagian dari perasaan yang dimiliki manusia, maka haruslah dirasakan dan jangan disangkal.
Ditandai oleh larik “Baca dulu dengan teliti hatimu.” artinya kita harus terlebih dulu memahami, merasakan kesedihan itu, agar tidak terlarut dalam kesedihan yang malah membawa kita pada sebuah masalah yang lebih besar. Karena pada dasarnya Kebahagiaan terbuat dari kesedihan yang sudah merdeka.
Untuk bagian ini, aku akan mengutip satu puisi yang bagiku bisa dijadikan jalan atau semacam aforisme saat sedang mengalami kesulitan.
Mudah
Segalanya menjadi mudah
dengan mudah-mudahan.
(Pinurbo, 2019: 18)
Dalam puisi ini, aku merasa diajak untuk bersemangat lagi, untuk memandang dunia dengan baik walau tetap realistis dan sederhana. Puisi yang hanya satu kalimat ini mengajakku untuk terus berdoa, berdoa yang baik-baik, tidak usah yang besar-besar. Cukup yang mudah-mudah tidak usah yang wah-wah.
Terakhir tentu saja aku akan mengutip bagian dari puisi yang menjadi judul buku puisi ini. Puisi yang berisi ajakan mengenai mengapa kita harus menikmati dan bersyukur atas hidup. Kita harus terus mencari racikan yang pas untuk diri kita. Tidak ada yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan.
…
“Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan
dengan secangkir kopi.”
Mungkin karena itu
empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala
dari bunuh diri
…
(Pinurbo, 2019: 157)
Ajakan untuk bersyukur ini memberiku efek puas yang nikmat. Meneguk pahit asam kehidupan, memang seharusnya dinikmati sebagaimana ketika sedang minum kopi. Agar ketika sampai di tetes terakhir hidup yang kita teguk, kita dapat mengucap: Ah… mantap.
Sebenarnya ada juga puisi lain yang membahas tema-tema tentang tidak percaya diri. Misal di seri Kecantikan 1-8 dan Sepatu. Tapi untuk pengalaman membaca yang lebih asyik, aku sarankan teman-teman untuk membacanya langsung.
Terakhir, buku ini sangat cocok untuk teman-teman yang masih lumayan awal membaca puisi atau mencoba mencintai puisi. Juga yang ingin mencoba mencari ketenangan dari puisi. Buku ini juga masih mudah untuk didapatkan, bisa dicek-cek aja ke toko buku atau perpus yang ada di sekitar teman-teman.