Suara dari Tahun 2013

Sore itu, langit cukup kelabu. Seorang wanita berdiri kaku di depan gerbang rumah tua dengan desain arsitektur kolonial Belanda di Jalan Cipaganti, Bandung. Kedua jemarinya bergetar menggenggam surat yang disertai amplop merah. Wanita itu bernama Diana, berusia 32 tahun, seorang penulis novel, tinggal di Jakarta.

Surat yang berada di genggamannya tertulis atas nama seorang laki-laki yang telah lama dianggap hilang dalam hidupnya. Laki-laki tersebut adalah sahabat masa kecilnya, sekaligus cinta pertamanya yang tak pernah sempat dimiliki, bernama Raka. Rumah tua dengan desain arsitektur kolonial Belanda di Jalan Cipaganti, Bandung, adalah tempat tinggal Raka hingga usianya ke-14 tahun. Rumah tua itu berdiri kokoh di antara pohon mangga dan pohon pucuk merah.

Kedekatan Raka dan Diana bermula saat mereka berusia lima tahun. Mereka menghabiskan waktu masa kecilnya di Bandung. Orang tua Diana dan orang tua Raka adalah rekan kerja; keluarga mereka memiliki ikatan yang cukup kuat. Mereka tumbuh bersama. Raka memiliki sikap yang lebih dewasa, sementara Diana hanyalah seorang gadis lugu yang selalu mengikuti Raka. Tidak ada sedikit pun Raka merasa terganggu, justru anak laki-laki itu selalu bahagia dan merasa lengkap ketika Diana berada di sisinya. Di saat Diana menangis, Raka pun akan ikut menangis.

Tepat saat mereka berusia 14 tahun, Diana memiliki perasaan yang sangat sulit dijelaskan. Ia merasa dirinya mulai aneh. Di hatinya, ia merasakan sesak ketika Raka didekati oleh seorang perempuan, dan ia pun merasakan ada sesuatu yang hilang bila satu hari saja tidak melihat senyum Raka. Diana ingin mengatakannya kepada Raka namun terlambat. Diana mendapat kabar bahwa Raka akan pindah ke luar kota. Hal tersebut membuat Diana sangat terpuruk. Bahkan, Diana tidak diberi tahu ke mana Raka akan dipindahkan.

Setelah Diana mendapat kabar tersebut, ia pergi untuk menemui Raka. Tapi yang Diana dapati hanyalah rumah kosong. Raka telah meninggalkan Diana, bahkan tanpa sepatah kata apa pun. Tidak ada surat, pesan, atau bahkan sambungan telepon, Raka benar-benar pergi. Diana kehilangan sebagian dari dirinya. Ia menghabiskan waktu remaja hingga dewasanya dengan mengharapkan sewaktu-waktu akan bertemu kembali dengan Raka.

Saat hendak memasuki perguruan tinggi, Diana memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta. Diana berpikir bahwa akan semakin mudah untuk melupakan sosok sahabat kecilnya itu. Ia memiliki tekad untuk kembali hidup dengan merelakan apa yang belum sempat ia genggam.

Belasan tahun berlalu. Saat ini, tepat usianya ke-32, Diana memutuskan untuk kembali mendatangi tempat masa kecilnya, dalam keadaan lebih baik. Ia tidak mengharap apa pun, Diana hanya ingin merasakan kembali separuh kenangan hidupnya yang terasa sangat indah.

Diana melangkah pelan melewati gerbang rumah tua itu. Rerumputan tinggi menyambut langkahnya. Rumah tua itu sudah tak terawat, seluruh cat yang melapisi tembok sudah mengelupas, dan jendela-jendelanya tertutup rapat seperti menolak cahaya. Namun bagi Diana, rumah tua itu masih menyimpan dengan rapi tawa masa kecilnya bersama Raka.
Ia menyimpan kunci cadangan selama belasan tahun di kotak brankas miliknya saat usia 14 tahun. Kini ia berdiri tepat di depan pintu, memutar kunci dan memegang gagang pintu yang sudah sangat berdebu.

Pintu terbuka.

Udara lembap dan debu menyambutnya, seolah mengucapkan selamat datang kembali. Ia melangkah masuk dan membiarkan kenangan mengalir begitu saja. Mereka pindah tanpa membawa apa pun dari rumah ini. Di sudut ruang tamu, masih ada bekas gambaran abstrak yang dibuat oleh Diana saat kecil. Di ruang tengah, terdapat piano tua yang ditutup oleh kain putih. Raka memiliki bakat bermain alat musik piano sejak usia 9 tahun. Saat itu, Diana menggunakan sepatu roda di dalam rumah Raka dan hendak mendekati piano, namun Diana ceroboh sehingga langkahnya tersandung dan menendang pedal dengan sangat keras. Raka yang terkejut mendengar dentuman keras di ruang tengah segera berlari untuk melihat. Betul saja, Diana sedang menangis dengan posisi terbaring, meringis kesakitan akibat luka pada lututnya yang mengeluarkan darah segar. Raka tidak marah ketika melihat pedal pianonya patah; perasaan khawatir kepada Diana lebih besar hingga merendamkan amarahnya.

Diana tersenyum, karena ingatannya itu kembali menyadarkan betapa besarnya hati Raka meskipun dirinya masih anak-anak. Kenangan yang dibuatnya bersama Raka masih terekam jelas. Setiap ruangan memiliki adegan kenangan yang berbeda. Semua barang dan tata letak dalam rumah itu tidak ada yang berubah.

Diana memutuskan untuk masuk ke dalam kamar sahabatnya. Ia melihat cermin tua yang menggantung miring di kamar Raka. Diana mengangkat dan membenarkan posisi cermin itu, kemudian secarik kertas jatuh. Diana terlebih dahulu menempatkan posisi cermin. Lalu saat Diana mengambil kertas di samping kakinya, di kertas itu terdapat tulisan dengan spidol merah memudar:

Diana, bagaimana kabarmu? Jika kamu membaca tulisan ini, maka aku telah pergi. Tapi bukan berarti semuanya hilang, Diana. Ada suatu hal yang harus kamu ketahui. Maka dari itu, pergilah ke ruang kerja ayahku dan carilah sesuatu di balik bingkai lukisan.

Diana ingat, ruangan kerja ayah Raka tidak boleh dimasuki orang asing. Bahkan Raka pun tidak diperkenankan masuk ke dalam ruangan itu.
Hati Diana terasa perih seperti disayat belati ketika mengingat bahwa ia tidak pernah disukai oleh ayah Raka. Meskipun orang tua mereka memiliki ikatan yang kuat, tetap saja pria tua itu sangat membenci Diana karena anak laki-lakinya itu selalu membela dan mengutamakan Diana dibanding ayahnya sendiri.

Ia menuju ruang kerja yang berada di lantai dua dengan langkah yang penuh ragu.

Diana tiba di pintu besar berwarna hitam legam. Ia meraih gagang pintu. Pintu terbuka dengan mudah. Diana heran, sebab ruangan ini terlarang tetapi tidak terkunci. Bahkan pintu itu tidak tertutup seutuhnya. Sempat terlintas oleh pikiran Diana, “Apakah ruangan ini sebetulnya tidak pernah terkunci?”

Baca Lainnya: Ingin Jadi Ibu

Saat Diana masuk ke dalam ruangan itu, perasaan aneh mulai muncul. Debu bertebaran, dan barang-barang di dalam ditutupi oleh kain putih. Diana hanya melewatinya begitu saja karena ia hanya mencari satu lukisan.
Tepat di hadapannya, ada satu lukisan yang tidak terlalu besar namun tidak kecil. Hanya lukisan itu yang berada di ruangan ini. Diana hendak mengambil lukisan yang berbingkai itu dengan bantuan kursi. Diana mengangkatnya dan menemukan dinding berlubang dengan brankas besi di dalamnya. Di atas brankas, tertulis angka 2-0-1-3.

Angka itu mengingatkan kembali pada tahun saat pertama kalinya Diana menerima panggilan dari nomor asing di usianya ke-20 tahun. Dalam panggilan tersebut, Diana mendengar seorang laki-laki dengan suara serak berkata, “Diana, kuharap kamu selalu baik-baik saja.” Setelah itu sambungan terputus, seolah tidak memberikan izin kepada siapa pun untuk membalasnya. Berulang kali Diana menghubungi kembali nomor asing tersebut, namun tidak membuahkan hasil. Ia merasa seperti dipermainkan lagi oleh takdir.

Tangan Diana bergetar, hatinya lagi-lagi berkecamuk saat mencoba memutar kombinasi angka 2-0-1-3.

Klik.

Brankas terbuka. Di dalamnya terdapat sebuah kotak rekaman suara, map besar bertuliskan Clinical Project Athira, amplop merah, dan satu USB. Diana termenung. Ia bertanya dalam hati,

Baca Lainnya: Payung di Ujung Surup

“Apa maksudnya semua ini?”

Tangannya terulur untuk mengambil benda yang berada di dalam brankas. Kemudian turun dari kursi, berjalan mendekati meja.

Lama menimbang, akhirnya Diana memberanikan diri menekan tombol on pada kotak rekaman. Lalu suara yang berasal dari kotak rekaman itu perlahan mulai terdengar, “Tahun dua ribu tiga belas, ini aku, Raka. Ayahku menyimpan banyak hal, Diana. Klinik praktik yang ia jalankan bukanlah sekadar tempat pengobatan. Uhuk, uhuk, uhuk, hah! Terdapat praktik eksperimen farmasi ilegal yang mengorbankan pasien dari desa terpencil. Itu adalah peredaran obat tanpa izin. Aku mengetahui semua itu saat kuliah kedokteran di Belanda. Ya, Diana, aku bukan hanya sekadar pindah ke luar kota, melainkan ke negara asing. Dengarkan aku, Diana. Aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan kembali ke Bandung untuk mencoba melaporkan kejahatan yang dilakukan oleh ayahku. Tapi aku kalah. Atas perintah ayah, mereka membungkamku dengan penyakit ini. Aku merindukanmu, sangat rindu.”

Suara terputus, menyisakan keheningan.

Napas Diana tercekat, semua benda yang berada di genggamannya jatuh ke lantai, lututnya terkulai lemas hingga luruh terduduk. Kata-kata Raka menggema seperti palu yang menghantam dada. Tak ada sepatah kata apa pun yang keluar dari mulut Diana, kepalanya berisik mengatakan kenyataan pahit yang sulit keluar dari mulutnya, “Raka tidak pergi,” “Raka tidak hanya sakit. Ia dibuat sakit.” Diana menangis, ia menjerit dan memanggil nama Raka berulang kali. Kehangatan yang sangat dirindukan, dan wajah yang selalu diharapkan untuk dilihat kembali, semuanya hilang ditelan oleh kenyataan yang menyayat hati.

Dengan keadaan sekujur tubuh bergetar hebat akibat menangis hingga tersedu-sedu, serta tangan yang lemas, Diana membuka map bertuliskan Clinical Project Athira. Di dalamnya terdapat dokumen transaksi gelap, data pasien, hingga surat izin palsu yang ditandatangani oleh ayah Raka dan beberapa tokoh medis ternama.

Diana memperhatikan tiap lembaran pada data nama tokoh-tokoh medis ternama. Kemudian Diana terpaku saat nama ibunya tercantum sebagai salah satu yang pernah bekerja sebagai perawat di klinik tersebut. “Bu?” ucap parau Diana yang nyaris tak terdengar.

Ia segera merogoh ponsel di dalam saku celana, mencoba untuk menghubungi ibunya yang berada di Jakarta.
Sambungan terhubung.

“Halo, Diana? Bagaimana perjalananmu, Nak? Sudah bertemu dengan Pak Tono? Ibu yakin bukumu akan segera terbit lagi.” Suara ibu di ujung telepon terdengar sangat girang.

Diana tidak mengatakan apa pun kepada ibunya, bahwa saat ini sedang berada di Cipaganti, menemui rumah tua yang membungkus kenangan masa kecilnya.

“Bu, kenapa tak pernah bercerita kepada Diana?” Tidak ada jawaban di seberang sana, hanya suara napas ibu yang berdesir.

Satu menit berjalan, hanya keheningan di antara keduanya. Diana kembali membuka suara yang sangat parau, “Bu, apa benar Ibu pernah bekerja dengan Clinical Project Athira?”

Lalu suara ibu terdengar pelan, “Kau mendatanginya? Memang benar, Ibu pernah bekerja di sana. Tapi Ibu keluar setelah mengetahui bahwa mereka,” ucapannya menggantung sejenak, “mereka menyuntikkan zat uji coba pada pasien tanpa persetujuan, termasuk pada anak-anak. Ibu tidak menyangka bahwa rekan kerja Ibu melakukan praktik yang sangat ilegal.”

“Ibu ingat Raka?” ucap Diana terpotong tak sanggup untuk melanjutkan.

“Raka? Tentu Ibu ingat. Ibu sangat merindukan teman laki-lakimu itu, Diana.”

Nyatanya, tidak hanya Diana yang merindukan Raka.

“Bu, Raka sudah tiada. Ia dibuat sakit, seperti mereka yang menjadi korban.”

Diana kembali terisak. Di dalam sambungan telepon, Ibu tak mengatakan apa pun, ia ikut menangis.

Diana meraih amplop merah dan membukanya. Di dalamnya terdapat surat dengan bertuliskan satu pesan,

“Laporkan semua ini ke Lembaga Hak Asasi Manusia. Kebenaran tak akan menghidupkan aku kembali, tapi setidaknya bisa menyelamatkan orang lain.”

Dengan goresan tinta yang hampir memudar, Diana paham akan pesan yang ditulis oleh Raka.
Namun Diana tahu, konsekuensinya bukan hanya sekadar menjatuhkan nama keluarga Raka yang dihormati. Di antara berkas-berkas itu, ada dokumen perekrutan perawat dengan tanda tangan ibunya di salah satu lembar persetujuan awal.

Saat ia sedang menimbang pilihan itu, seseorang berdiri di balik pintu, berbicara dengan tenang tapi mengancam, “Diana, saya tahu Anda sedang memegang dokumen itu. Dari dulu saya memang sangat membenci Anda. Jangan bermain-main dengan saya, beberapa hal sebaiknya tetap terkubur.”

Diana memasukkan kembali surat ke dalam amplop merah dan menyimpannya ke dalam saku celana. “Anda tidak pantas mempunyai anak seperti Raka. Bahkan sekarang, apa Anda masih punya rasa malu untuk tetap hidup?” geram Diana, seraya berusaha berdiri meskipun kaki terasa seperti rontok, lemas tak berdaya.

Dengan langkah yang sangat tidak nyaman, Diana berjalan keluar ruangan itu. Ia merasa ada sesuatu di dalam sepatunya. Namun Diana tetap acuh karena ia sangat tertegun melihat sosok ayah Raka yang sudah sangat menua termakan usia.

“Bagaimana mungkin seorang ayah tega melakukan hal yang sangat kejam pada anaknya sendiri?”

Pertanyaan Diana hanya diabaikan begitu saja. Hati Diana sangat sesak melihat pria tua itu. Ia berjalan gontai menuju pintu keluar, tangisnya tidak berhenti.

Diana benar-benar keluar dari rumah tua itu. Di bawah langit sore yang kelabu, kini ia berada di depan gerbang, tak
menyangka bahwa ayah Raka masih berada di dalam sana. Kedua jemarinya merogoh saku untuk mengambil amplop merah yang sempat ia selipkan. Tangannya bergetar menggenggam surat dengan tinta yang telah pudar, hingga nyaris tak terbaca apa pun. Di dalam kepalanya, rekaman suara Raka tak pernah benar-benar pergi. Diana memutuskan kembali ke Jakarta.

Saat malam hari, Diana tidak bisa tidur. Ia teringat di antara semua benda yang berada di brankas, terdapat satu benda yang belum sempat ia buka, yaitu USB. Diana kembali merogoh setiap saku celana yang ia pakai saat pergi ke rumah Raka. Saku celana sebelah kiri dan kanan kosong, tidak ada apa-apa. Diana sempat putus asa, tapi segera melihat sepatu yang ia gunakan. USB itu ada di dalam sepatunya.

Ia duduk di depan laptop, membuka file video yang berjudul “Raka Syahriz”. Wajah laki-laki yang berusia 20 tahun terlihat sangat pucat, matanya layu, tubuhnya kurus, tapi senyumnya masih terukir dengan indah.

“Tahun dua ribu tiga belas, Diana. Ini aku, Raka. Kamu masih ingat?” suara Raka di dalam video.

“Hingga berusia kepala tiga, aku masih menunggumu, Raka. Namun kini dengan keadaan yang lebih baik, aku memutuskan untuk hidup lebih panjang dengan mengabadikan dirimu dalam tulisan-tulisanku,” gumam Diana.

“Aku tidak marah jika kamu memilih untuk tidak melaporkan semuanya, Diana. Aku tahu, kamu bukan penebus dosa orang lain. Uhuk, uhuk! Aku tidak ingin terlihat sakit, aku hanya ingin memperlihatkan kepadamu bahwa aku baik-baik saja. Segala keputusan yang kuambil tidak pernah kusesali, terkecuali saat aku menerima untuk pindah dan meninggalkan dirimu. Hiduplah lebih lama, Diana. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu.”

Video perlahan berakhir dan menyisakan layar hitam.
Diana membiarkan air matanya jatuh dengan sangat deras. Kemudian menguatkan tekad, ia mengusap air matanya. Lalu, jari-jarinya bergerak mulai mengetik. Diana menarik napas dalam, menghembuskan semua rasa sakit dengan balutan huruf-huruf penyembuh. Setiap kata adalah uluran tangan, setiap paragraf adalah pelukan. Di situlah, Raka hadir meski tak terlihat.

Setahun kemudian, dunia memberi kesempatan untuk Diana dalam menyuarakan mereka yang tak sempat bicara: orang-orang yang dijebak seperti Ibu, hingga saksi mata dan penderitaan yang dirasakan oleh laki-laki yang sangat ia cintai lebih dari sekadar sahabat. Diana menerbitkan sebuah buku berjudul Suara dari Tahun 2013. Buku tersebut terjual tinggi di pasaran, hingga meraih beberapa penghargaan. Diana menerima undangan berbicara di seminar forum jurnalis, hingga Lembaga Perlindungan HAM. Semua itu menjadi ruang untuk memperluas penyelamatan korban eksperimen farmasi ilegal yang selama ini baru saja terbungkam.

Untuk mengenang Raka Syahriz.”

Diana tak lagi hidup dengan rasa kehilangan, melainkan dengan keyakinan bahwa kebenaran meskipun datang terlambat akan tetap memiliki tempat untuk lahir dan tumbuh. Nama laki-laki itu kini menjadi kekuatannya untuk tetap hidup.
Seikat bunga diletakkan di atas batu nisan yang bertuliskan nama:

Raka Syahriz
(13/1/1993 – 3/7/2013)

“Kau memanggilku, dari masa lalu, Raka. Kini aku menjawabmu, dari masa depan yang tak lagi sunyi. Istirahatlah dengan tenang. Aku mencintaimu, Raka Syahriz.”

Saya kelahiran bulan Januari dengan zodiak Capricorn dan MBTI INTJ. Memiliki ketertarikan mendalam dengan berbagai bidang kesenian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!