ArtikelSerupa

 

Suara Cicak dari Timur Jauh

 

Apa yang berharga di laut tak bernama

Bau berbiji lada, manisan buah pala?

Hal-hal apa yang penting?

Mimpi-mimpi para tekukur berlayar dalam sejarah terbakar?

Serta nafsu kemarau dalam bubuk mesiu di palka perahu;

 

Atau noktah di laut lepas dan moncong senjata yang meregang di jantung hidungmu?

Atau dansa meriam di pening pikiranmu dengan bossanova kesia-siaan semata? Atau tanduk kuda dengan lidah kaku kuli-kuli;

atau serpihan Hiroshima dengan cambuk api – ladang gandum bersimpuh, bersepah sisa nyeri?

 

Sekarang, melankoli dilahirkan cicak, menjadi tahi,

tersungkur berjamur di ujung kamar.

Di loteng bertengger dua pasang tekukur lengkap dengan sarangnya,

kudengar langkahmu melantur lagi.

Di ruang tamu feminin tak kutemukan kau.

Sisa sejarah kutemui hanya cambuk-cambuk api,

kutu-kutu berkelindan mencatat kisahnya sendiri.

Para budak sedang sibuk membakar habis mimpinya sendiri.

 

Jogja, November 2023

 

 

 

Reggae Non-Spesifik

untuk Black

 

Ia hadir di sana

Dalam kanvas dalam surau temaram

Dalam kuas dan melankoli suara.

Ruang terbuka

Menyebar dingin

Yang tak terekam pada termometer.

Seketika, dinding mengeriput seperti kemarau

Seperti menghunjam beribu belibis di jendela

Yang membawa lipstik pesisir,

Dari gencatan kota-kota Babilonia.

 

Kau pernah tahu                           

Pada suatu waktu,

Luka terluka

Luka melukai

terasah seperti bedil pemburu

memapah jerit hewan terluka.

 

Di malam dingin, sekon tak kedip

Aku rebah dalam nyiur suara

Dalam hempasan kesia-siaan ombak saja.

 

Jogja, Desember 2023

 

 

 

Pasar Senen – Kemayoran

untuk A.M.

 

Apakah aku mengenalmu?

Di persimpangan, di tiang Listrik, di derak kuda, di knalpot motor, suara bising kota?

 

Jalan-jalan Panjang mencari tangan, potongan tubuh hewan terluka, suaka dari Swarga Mahajana, atau langit sebiru kamar mandiku saat ini. Apakah aku mengenalmu lewat pengeras suara, mode pesawat, juga tanda tanya dalam pesan WhatsApp yang gundul itu?

 

Apakah benar kamu pernah hinggap di atapku, lalu menjatuhkan pohon rambutan di sana?

Sehingga atap itu berlubang dan aku ternganga, terpaku mencari jejak cicak di antara mistar Thanatos? Apakah kau yang menunggu di lubang itu dan bersembunyi di balik rongga dada, yang membaca, menanti, menunggu, seperti memflush tanda baca dalam lubang kakus itu?

 

Apakah kau benar pernah berjumpa denganku?

Di tiang listrik aku melihat namamu dipajang

Sebagai pamflet sedot WC.

Seperti menempel pisang di kepalamu yang tak kunjung dibeli orang.

 

Apakah kau pernah dengan benar berjumpa denganku, saat kepala itu lepas dan menggelinding lalu menjadi tubuh atas tubuhnya sendiri, lahir atas lahirnya sendiri, menghirup asap knalpot dan bising suara dengan paru-parunya sendiri? Apakah aku mengenal dirimu dengan demikian adanya?

 

Dari pasar Senen ke Kemayoran, berbotol bir pecah dan melukai pohon-pohon, teater Sunda, pasar raya, kemacetan, umpatan, juga restoran dibakar serta membakar dirinya sendiri.

Apakah aku pernah berkenalan denganmu, melalui dangdut juga pil kobra?

 

Aku bertanya lagi, setelah ini aku bunuh diri sebentar.

Apakah kau benar cicak itu yang gemar mencari potongan ekornya sambil melintas lalu berpikir bahwa engkau adalah bayangan dari cicak itu?

 

Jejak Coen di supermarket yang tak sedingin kemarin, tak seluas kemarin, dan tak pernah ada menu buah-buahan di sana,

apakah kau penjaga kasir yang selalu bertanya ‘apakah sudah terdaftar sebagai member’ atau ‘adakah uang yang lebih kecil?’.

 

Jika semua itu sudah terjawab, mungkin aku akan mengenalmu.

Seperti mengingat beribu pasir, dalam migrasinya ke kamar mandi.

Seperti memandikan pidato retak, yang menyusun dirinya sendiri.

 

Jogja, Mei 2024