Pernah dengar kalimat “laki-laki masa nangis? Laki-laki ga boleh cengeng”? Seengaknya, dua hal bisa dipetik dari kalimat tersebut.
Pertama, ia bisa mengajak orang untuk lebih kuat. Kedua, ia justru menyakiti perasaan. Apakah hanya perempuan yang boleh meneteskan air mata? Sedangkan laki-laki hanya boleh mengurung perasaannya sendiri dan tidak boleh sedih? Tentu itu tidak benar!
Tahukah Anda bahwa ini termasuk dalam ketidaksetaraan gender? Stigma-stigma yang ada dan sudah melekat di dalam masyarakat menganggap bahwa laki-laki adalah sosok kuat yang harus melindungi perempuan. Mungkin betul bahwa laki-laki harus bisa melindungi, tetapi laki-laki juga punya perasaan dan tidak bisa selalu kuat. Ada kalanya mereka mengalami masa-masa kelam. Patutkah mereka menyembunyikannya?
Di negara Indonesia yang mayoritas memiliki sistem patriarki (berdasarkan garis keturunan ayah, lelaki adalah sosok pemimpin di keluarga), membuat pola pikir masyarakat terpaku pada lelaki itu sifatnya kasar dan melakukan banyak kekerasan. Tidak heran, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki-laki.
Tetapi tunggu dulu, apakah dengan sedikitnya berita di media sosial bahwa laki-laki jarang dilecehkan, sesuai dengan fakta di lapangan? Ataukah mereka (laki-laki) takut mengungkapkan pelecehan yang dialami karena “Laki harus jantan, jangan mau dilecehkan atau direndahkan, lawan!”.
Lagi-lagi stigma di masyarakat membuat individu menutup dirinya dan cerita menyeramkan yang dihadapinya. Pemikiran- pemikiran yang “kolot” seharusnya diubah mengikuti zaman. Zaman sekarang tidak bisa disamakan dengan zaman dahulu. Perubahan yang begitu cepat meningkatkan stress tiap individu, jangan sampai adat pun menambah tekanan atau justru mengakibatkan semakin tingginya kesetressan seseorang.
Dampaknya akan merugikan banyak orang. Kasus bunuh diri, pemerkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi akan meningkat karena pemberontakan dalam diri laki-laki.
Bayangkan seperti ini, jika sedari kecil anak laki-laki tidak dibolehkan nangis. Kalau dipukul, harus diam. Kalau bisa dilawan untuk menunjukkan kejantanan. Ada luka, tidak boleh nangis, harus tahan banting. Jangan tunjukkan kesedihan sehabis putus cinta, tidak maskulin. Hal ini akan membentuk sikap dan sifat lelaki yang ‘dingin’.
Mereka akan kehilangan empati dan mempraktikkan apa yang telah didapat sejak kecil kepada lingkungannya, termasuk kepada perempuan. Mereka akan berlaku kasar dan tidak segan-segan meluapkan emosi atau amarah yang brutal. Kekerasan demi kekerasan terjadi hingga pada tahap pernikahan. Lebih lanjut, angka perceraian di negara akan meningkat.
Masalah sosial itu sebenarnya muncul akibat pelabelan masyarakat atau orang-orang kepada individu laki-laki mengenai definisi kejantanan adalah keras, kuat, dan agresif. Mereka mengesampingkan emosi, lelaki harus bisa memainkan logika dalam situasi tertekan tanpa membawa perasaan. Atau harus berani melakukan segala hal tanpa rasa takut yang berarti.
Maksudnya adalah laki-laki tidak boleh takut akan masalah yang dihadapi atau tidak boleh jijik terhadap suatu hal. Atau lelaki tidak boleh bersifat kemayu, terutama bergaya seperti wanita. Lebih menyedihkannya, lelaki dianggap tidak pernah mengalami pelecehan seksual, tetapi mereka menikmati hal tersebut. Inilah yang disebut toxic masculinity atau kemaskulinan beracun. Kenapa beracun? Karena definisinya yang lebih banyak menghancurkan daripada membangun.
Contoh gampangnya, berikan satu kata untuk mendefinisikan seorang laki-laki yang tidak bisa mengangkat meja, sedangkan teman perempuannya, yang lebih kecil badannya, bisa mengangkat meja tersebut! (pikirkan jawabannya dahulu).
Lemah? Apakah itu jawaban Anda? Mungkin sebagian dari Anda akan berpikiran seperti itu. Kita terpaku oleh laki-laki yang maskulin harus lebih kuat daripada perempuan sehingga jika ada hal yang demikian, lelaki akan diolok atau diejek. Kenapa bukan kata “ayo” yang terpikirkan? Mengapa harus menggunakan kata-kata yang melukai hati orang saat ada kata-kata yang bisa membangkitkan semangat?
Semua pemikiran ini entah darimana datangnya. Satu hal yang pasti, kemaskulinan beracun telah ada sejak lama dan diwariskan turun temurun sehingga sudah menjadi bagian yang tidak terlepas dari masyarakat. Hanya mereka yang berpikiran terbuka dan meyakini pentingnya persamaan gender lah yang memahami dan menyuarakannya. Akan tetapi, perlu usaha yang memakan waktu dan tenaga dalam mengubah kebiasaan yang telah ada.
Memang, terkadang apa yang telah mengakar sejak lama itu tidak bisa diubah atau memerlukan waktu yang lama untuk mengubahnya. Pada akhirnya, ini semua adalah pilihan Anda bagaimana menanggapi kemaskulinan. Apakah Anda akan berjuang untuk merubah kepercayaan toxic masculinity atau melestarikannya.
Namun hal berikut bisa dilakukan untuk mengatasi atau meminimalisir cap negatif tentang lelaki yang harus berhati keras, mengesampingkan emosi, dan melakukan kekerasan sebagai lambang kekuatan:
Emosi adalah sesuatu yang tidak bisa ditahan atau disembunyikan karena semua orang memiliki perasaan. Akan lebih baik jika emosi yang ada dikontrol agar tidak meluap-luap dan tidak terlalu menonjol ketika ada tekanan.
Dampak dari toxic masculinity yang berupa kekerasan dapat dicegah dengan tidak selalu mengucapkan hal-hal yang merendahkan kaum lelaki dan mengajarkan secara berulang-ulang tentang tata karma berinteraksi dengan sesama. Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting sebagai teladan dan juga pengajar.
Tidak menekankan bahwa kekerasan adalah hal yang keren. Mispersepsi ini sebenarnya banyak dilihat dari film atau tontonan yang menganggap bahwa bad boy itu keren. Padahal, mereka melakukan kekerasan yang seharusnya tidak dijadikan contoh yang baik bagi kaum adam. Perlu diingat, kekerasan juga bisa membuat seseorang dipenjara karena melawan hukum.
Hargai orang lain. Tidak akan ada orang yang memiliki sikap dan sifat yang sama. Seorang laki-laki akan lebih maskulin dari yang lainnya atau seorang laki-laki lebih kemayu dari yang lainnya.
Lakukan sosialisasi agar semua golongan paham bahwa kesalahpahaman tentang kemaskulinan itu bisa membawa bencana sehingga akan lebih baik meminimalisir stigma-stigma yang negatif dan menggantikannya dengan stigma yang positif tentang kejantanan seorang lelaki.