Kalau hidup adalah permainan, aku kalah setiap hari oleh diriku sendiri (Aan Mansyur)
Seminggu sehabis menonton Squid Game dan mengamati euforianya, di suatu daerah di Jawa Tengah terjadi peristiwa yang memilukan. Seorang pegawai bank meninggalkan surat wasiat setelah ia bunuh diri. Isinya adalah permintaan maaf sekaligus rincian cicilannya di berapa platform pinjaman online. Sambil menyebut “minta maaf telah menjadi beban keluarga”. Coba bacalah surat itu langsung. Betapa menyakitkan isinya.
Jika dipikir-pikir, dalam kondisi seperti itu, apa arti dia sebagai warga negara? Lebih panjang lagi, apa arti dia bagi walikotanya, presidennya, imam masjidnya, keluarga besarnya, dan seterusnya.
Kejadian ini membuat kita mengingat kembali tema dan topik apa yang diangkat oleh serial Squid Game tersebut, yakni “orang-orang tertimbun utang” dan “keinginan mereka untuk mati”. Untuk topik “orang-orang berutang” mungkin bisa kita lihat jelas dalam serial tersebut. Namun keinginan mati dari para peserta game tersebut, merupakan hal yang subtil dan cuma bisa kita sadari jika kita perhatikan pelan-pelan.
Coba pikirkan, orang-orang seperti apa yang mau ikutan permainan seperti Squid Game? Sudahlah yang kalah pasti mati, dan kemungkinan menangnya pun cuma 1 banding 200-an. Sungguh pertaruhan yang besar, mengingat resikonya yang bukan main-main. Jadi mustahil orang-orang itu datang ke sana, semata-mata karena uang saja. Pasti ada yang mendaftar dengan maksud ingin mati. Ingat karakter sepasang suami istri yang mnegikuti permainan tersebut?
Hidup sebagai Permainan
Dalam banyak ayat, al-Quran sering menyebut bahwa kehidupan ini hanyalah permainan. Hal tersebut agaknya tak salah, sebab kita sudah melihat contoh konkretnya setiap hari: ada yang menang, ada yang kalah, ada yang masih berusaha, dan ada yang menyerah.
Meski Squid Game hanyalah cerita fiktif, tapi orang-orang yang meninggal karena sebab-sebab “permainan” ekonomi dan kekuasaan adalah cerita-cerita nyata yang terus bisa kita saksikan sepanjang zaman.
Dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan kita bergulat dengan cicilan bulanan, tagihan utang, jam kerja yang panjang, lapangan pekerjaan yang menuntut sogokan, BPJS yang tidak mengcover semua keluhan penyakit kita, bahkan cinta yang bertepuk sebelah tangan sebab belum punya kendaraan.
Semuanya memang terasa sepele saja jika dilihat satu-persatu, tapi jika kita pandang secara keseluruhan, kita bisa lihat, masyarakat kita selama ini berhadapan dengan sistem ekonomi yang tidak adil, birokrasi yang ribet dan njelimet, sistem pendidikan yang kolot dan kaku, dan yang lebih sial adalah, budaya masyarakat kita yang lebih menghargai kepemilikan seseorang atas benda-benda dan posisi kita dalam dunia kerja.
Seolah kita ini cuma mainan orang-orang bermodal. Sebuah angka dari neraca laba-rugi bank dan jumlah pemilih di kotak pemilu.
Menyiasati Permainan
Dalam salah satu dialog di serial Squid Game, si karakter potagonis menegaskan bahwa ia bukanlah kuda dalam sebuah judi pacuan, yang dipecut untuk beradu lari dan bersaing sesamanya, ia adalah manusia–sesuatu yang lebih. Dialog ini menarik, karena sang protagonis menempatkan nilai kemanusiaan seseorang lebih dari sekadar bersaing dan menjadi pion bagi para pemilik kuasa dan uang.
Hingga hari ini, kita bisa melihat bagaimana beberapa negara dan wilayah berjuang untuk membangun sistem kesehatan yang lebih baik seperti di Kuba, politik yang lebih sehat seperti di Kanada, keamanan yang lebih menjamin seerti Finlandia, dan lingkungan kerja yang sehat seperti di New Zealand. Ini belum lagi yang bisa kita lihat dalam fenomena gotong royong yang kita lihat sehari-hari, entah di dalam keluarga, wilayah RT, bahkan platform online seperti Kitabisa.
Itu semua bisa kita lihat sebagai upaya manusia untuk bersiasat dari permainan yang merugikan. Kalau pun toh belum bisa disebut sebagai “keluar dari permainan” setidak-tidaknya manusia bisa berpindah ke permainan yang lebih baik.
Memang kita bisa melihat hidup ini sebagai permainan, namun kita sebetulnya punya peluang untuk mengubah permainan yang ada menjadi permainan yang tak seperti Squid Game; berorientasi pada uang (kepemilikan benda-benda), membunuh yang kalah, memaksa berkhianat para pesertanya, dan menghina kemanusiaan orang-orang di dalamnya.
Sebab ada hal lain dalam kehidupan kita selain persaingan. Ada semangat kolaborasi dan gotong royong, yang mana selama ini terbukti telah bekerja lebih baik dari pada hal-hal yang telah dijadikan kebijakan pemerintah kita, atau didesain sedemikan rupa oleh para pemain utama pasar bebas. Jadi kenapa kita tak coba berpaling dari “persaingan” dan memandang lebih serius pada kata sekeren “kolaborasi”?
Saya sedang tidak bicara perubahan besar-besaran. Semisal menyaingi BPJS yang ruwet dan mahal, atau mencetak mata uang baru untuk lari dari cengkeraman Bank Indonesia, atau membangun sekolah dengan kurikulum baru.
Ada hal lain yang lebih sederhana dan barangkali terjangkau. Mungkin kita bisa mendorong perubahan dalam skala yang kecil dan mudah. Sebutlah membentuk komunitas belajar untuk mengimbangi institusi pendidikan yang mandek, koperasi tabungan dan investasi untuk menyaingi bank-bank yang ribet, Baitul Maal di masjid lingkungan RT/RW untuk menyiasati zakat, arisan keluarga, dan hal-hal lain yang bisa kita bentuk bersama dalam masing-masing komunitas kecil kita.
Semua ini tak lain bisa jadi upaya untuk menyiasati “permainan besar” yang membuat kita selalu bersaing, kalah, dan nyaris musnah.