Pagi, Bagaimana?
Lampu kota mengerdip di balik kaca
Sungai cahaya mengalir deras dari balik kacamata
Kesepian para sopir
Pemandangan umum seperti menelan sarapan pagi. Homo Jakartensis mengantri pengetahuan
Di balik catatan Khalil Gibran
Arus ekonomi si Budi seperti membeli mi instan di warung kaki lima. Atau berjejal mengantre sop ayam dan membicarakan pembangunan kota.
Pemandangan purba dari ruang patriarki kita.
Jalanan hampir besok hampir kemarin
Semua warna menyatu dalam pedal koplingnya
Terkadang subuh datang dengan umpatan
Terkadang magrib menjerit di lampu merah. Hampir gelap hampir terang. Semua berjalan dalam kehampiran sesaat. Hampir pulang dan hampir pergi. Semua jalan tertutup pawai kebudayaan berkaki empat. Gue juga bisa patah hati, katanya sesaat sebelum musim pewari. Matanya pucat seperti berduka, barangkali lupa barangkali ingat. Sebuah pagi datang kembali. Bicara padaku pantat AC dalam mobil sepanas ini. Lengkap dengan tai cicaknya. Dengan dangdut koplonya. Dengan filsafat membaca zodiaknya. Apakah kau sagitarius? Apakah kau gemini?
Hari ini dia menyelinap ke buku-buku
Menjadi kesunyian bintang-bintang.
Pagi ini hari Kamis. Hari tentang sop ayam. Tentang berita bola. Tentang harga rokok dan sabun cuci. Hari ini kau menua bersama tai cicak. Bersama para penyair downbeat yang biasanya jongkok di pinggir kali. Apakah kau pernah memetik kembang sepatu dan berharap dewa datang membantu?
Pagi ini delay di bandara, lengkap dengan ruang tunggu noirnya. Dengan pengeras suara, kembali bernyanyi bocah riang dengan sedikit dubstep yang dipaksakan. Koper-koper seperti tetris berjalan. Menu makan malam gameboy dan Saint Seiya. Memanjat pohon rambutan sembari bermain Crush Gear. Sekarang aku rasa hidup ini begitu yoyo, tak sebanding keinginanku untuk menjadi Naruto. Bayangan homo sapien kembali mengernyit di spion ini. Impian menguap seperti es kepal milo. Sartre mementaskan huis clos di pemakamannya. Para supir meledak di jalan. Sedikit membawa koper, hampir purba, hampir punah.
Ini berita pagi untukmu,
Dari aku yang sibuk mengeja nama kota
Di balik layar itu.
11 Juni 2024
—-
Stasiun Tugu 6 Pagi
Pagi ini memanjang lagi
Karena orang-orang telah mulai berlari
Karena tukang becak minum teh panasnya
Karena anak kecil bermain petak umpet di gang kecil penuh dengan batu bata.
Pagi memanjang karena seluruh kelas diliburkan
Mereka melebur ke jalan
Menjadi penjual angkringan penjual bubur ayam
Servis motor servis mobil servis sepeda.
Pagi ini memanjang kembali
Menerjang menukik di dalam koran dan kopi, serta gorengan panasnya
Para driver ojek onlen telah mengantri di depan stasiun
Ruang berpindah dari meja angkringan
Ke meja kantor
Segalanya telah prasasti
Terlukis di depan layar monitor 24 inch
Login beberapa site
Jangan lupa password
Ingat kembali jam loginnya
Harus presisi
Seperti rantai dan pagar bajanya
Juga gembok gembok bahasa jangkauannya
Kita tak pernah bisa memilih
Di antara pilihan lain tersedia dalam dingin dindingnya.
Bila kau nanti juara kelas
Satu menu special combo KFC untukmu
Pelajaran hapalan dan rumus matematika
Menjadi tisu dilap ke mulut setelah tersisa hanya tulang belulang.
Ini satu saus tomat untukmu juga sedotannya
Membantumu melewati hari hari panjang les matematika
12 Juni 2024
—-
Sore dan Rafika Duri
Sore hari mendengar Rafika Duri
Menyanyikan bossanova
Di dalam paru paru kedap udara
Dari pasar loak
Hasil peperangan manusia telinga.
Ia menari di sana
Tersesat di labirin kota
Dengan nafsu penuh birahi anak mama.
Ia bosan, lalu belajar menari salsa,
Tapi tak kuasa menghitung matematika.
Ia gusar lalu menabrakan diri ke udara,
Hingga yang tersisa hanya
Juntaian benang dari langit
Membawa pesan
Dengan isinya kira kira begini:
“Malam memanjang dalam kota sebening langit kaca. Ini sangumu, sarung tinju dan peluru”.
Kita tak lagi dua makhluk dalam asuhan dewata
Tak lagi juga museum patriarki ruang keluarga
Tak jua lemah lembut dalam ruang dapurnya
Tak lagi bertekuk memeluk lutut
sendirian di sabana,
Seolah hidup ini tak pernah ada artinya.
Namun kita berusaha mematahkan sayap
Agar tidak terjebak dalam kesialan yang sama.
Kembali bernyanyi penjajah mimpi:
tak lagi mencari cinta dalam tungku yang telah padam.
Melalui sisa adzan di trotoar jalan,
kita memungut sisa langit, untuk merubahnya
Menjadi permen kapas.
13 Juni 2024