Waktu lihat video santri nutup kuping pas ada musik itu saya datar-datar saja. Namun begitu scroll twit-twit yang menyambarnya barulah saya merasa dongkol. Ada yang bilang lebay, radikal, korban cuci otak, agen taliban, dan entah apa lagi. Eneug rasanya.
Sebabnya begini, dua puluh tahun silam sayalah anak-anak itu; yang tersiksa karena kuping dijejali sesuatu yang kami hindari. Jika saya anak-anak itu, saya akan teriaki mereka: ngafalin quran itu lama dan susah, woy!
Tapi marilah kita obrolin itu lebih jauh lagi. Kita mulai dari pertanyaan; kenapa ada santri yang bersikap begitu pada musik?
Apakah betul kami seperti yang dituduhkan: korban cuci otak, atau lebay, dll. Bisa jadi iya, bisa jadu tidak. Namun izinkan saya bercerita sedikit soal santri dan pesantren Tahfidz Al-Aquran.
Pesantren khusus Tahfidz Al-Quran punya perbedaan dari umumnya pesantren yang kita kenali, atau sebutlah pesantren salaf dan pesantren modern. Pesantren genre Tahfidz ini punya kurikulum dan tradisinya sendiri. Tidak, tidak, kami tidak diajari amalan meggandakan uang atau memperlancar jodoh. Itu “pesantren” genre lain.
Sebagai contoh, di tempatku mesantren dulu, rerata kami mulai nyantri di usia SMP. Selama 3-4 tahun kami semua tidak sekolah, kami komitmen dan fokus pada dua hal saja: hafal 30 juz dan mahir berbahasa arab secara lisan dan tulisan.
Bagaimana dengan pelajaran khas pesantren yang lain seperti fiqih dan tauhid? Ada, tapi cuma pelajaran mendasar dan tidak sebanyak porsi dua hal tadi. Namanya juga difokuskan.
Nah nanti, jika sudah khatam hafalan dan bahasa arabnya cas-cis-cus, biasanya kami disuruh lanjut belajar hal lain di Al-Azhar Kairo, atau bakal ada kelas ‘aliy (senior)yang khusus mendalami ilmu lain, seperti Tafsir, Hadits, Ushul Fiqh, Sastra Arab, dll.
Di tahun-tahun awal tadi itulah, kami nyaris dilarang mengakses pengetahuan atau hiburan apapun. Kami gak boleh baca RPUL (meski iseng), novel, sekalipun ada label “novel islami” dan semacamnya, dan tentunya musik. Tapi khusus untuk musik, kami cuma diperbolehkan punya kaset qasidah, itupun sebagai bagian dari pembelajaran bahasa arab. Yak betul “kaset tape”.
Nah, di sinilah inti persoalannya. Larangan mendengar musik jadi yang lebih sering diulang, sehingga (tak bisa disangkal) terasa seperti diharamkan dibanding larangan yang lain. Karena musik itu bisa lebih acces-able dibanding yang lain, seperti sebutlah nonton bokep.
Pada zamanku, sekitar awal 2000-an, alat elektronik yang dibolehkan cuma tape kecil seperti walkman, dan kami cuma diperkanankan punya dua jenis kaset: tilawah al-Quran dan Qasidah yang dibacakan oleh laki-laki. Kami bahkan dilarang mendengarkan “Cinta Rasul” yang di dalamnya ada suara Sulis.
Belum lagi, jika ditambah dengan kenakalan santri-santri agak senior, yang biasa menukar gulungan dalam kaset Tilawah Misyari Rasyid dengan gulungan pita kaset Bintang di Surga, Peterpan. Jadilah kaset tilawah itu memutar bunyi yang lain dari tulisan yang tertera di casingnya. Sehingga kenakalan ini menambah kerja para mu’allim kami, untuk memeriksa kaset satu demi satu. Nah hal terkahir ini mungkin agak plot-twist. Tapi ya begitulah.
(Oh Fyi saat Peterpan sedang naik daun, beberapa di antara kami, terutama santri-santri yang udah agak senior ada yang digelari Hafiz Fitirfiiin~)
***
Yok kita fokus pada kasus awal tadi. Itulah dia, para santri baru (biasanya) mereka yang sedang berjuang-berjuangnya menghafal quran. Nah ini yang penting, santri baru, biasanya berjuang ekstra keras, karena belum ketemu metode menghafal yang cocok, sehingga ya metode apapun yang diajarkan (untuk menghafal) ya dipegang teguh. Beda perkara kalau udah agak senior. Sudah agak terbiasa melafal dan menghafal Al-Quran.
Saya misalnya, saat sudah masuk ke tahun kedua, itu menghafal dengan metode membaca terjemahan dan meniru alunan tilawah tertentu, metode yang saya nikmati dan tentunya tidak diajarkan. Persoalan, bahwa hafalan itu kemudian tercecer di kursi-kursi gelap bioskop, itu lain cerita.
Sekali lagi soal santri-santri menutup telinga dari musik itu agaknya bukan karena “musik itu haram”, tapi lebih pada pantangan mereka saja, sehingga fokus mereka hanya pada Al-Quran saja. Jadi clear-lah ya. Keributan ini agaknya gak usah diseret-seret pada radikalisasi atau semacamnya. Toh, mereka cuma menutup telinga, bukan membakar sound systemnya.
Para santri itu niatnya vaksin doang, tapi malah disuguhi musik yang tidak mereka minta.Coba cek lagi deh, apa itu bukan lagunya Pamungkas, i love you to the bone?
Oh ya. Saya punya semacam plot-twist lain. Satu malam sebelum teman saya khataman (ujian akhir santri senior: membaca 30 juz, dua hari, tanpa melihat mushaf) dia kabur ke warnet buat nonton bokep. Alasannya refreshing. Sampai hari ini saya nggak tahu harus merespon cerita itu kayak gimana. Yang jelas begitulah. Hidup gak sesederhana video yang tersebar di twitter. Gak segampang pikiran para opini maker di sana.