“Males, anyg. Bangsat, lah!” teriak saya kepada Sidik yang mungkin belakangan menjadi lebih intens daripada bulan-bulan sebelumnya
“Sabar … ” balas Sidik tiap-tiap saya mulai tersulut emosinya karena Nyimpang.
Regi yang baru bergabung 1.5 bulan pun gak ketinggalan kena omel dan susurungut saya. Di setiap tulisan, saya mungkin sering membicarakan kedekatan saya, Farid, dan panitia Nyimpang yang lain, tapi rasa-rasanya saya gak pernah membicarakan Nyimpang sendiri. Maka, demi ketenangan hati dan tekanan darah saya tetap terjaga, maka saya memutuskan menulis ini.
Nyimpang
Puisi saya pertama kali dimuat di Nyimpang pada tahun 2019 (tanpa bayaran) oleh Farid, dan sama seperti kebanyakan penulis dan seniman lainnya, karya-karya awal saya tak jauh dari jatuh dan patah hati. Tapi bukan berarti yang berkarya soal cinta-cintaan itu ‘junior’ dan ‘tinggal kelas’, no. Maksudku, ayolah. Waktu itu masalah terbesar dalam hidup saya memang cuma cinta, bukan cicilan rumah atau gak bisa punya anak.
Yap. Pertemuan pertama saya dengan Farid selepas Aksi Kamisan 2019 itu membawa saya sampai ke titik saat ini: menjadi Pemimpin Redaksi Nyimpang yang ternyata lumayan banyak mudaratnya. 2 minggu setelah diwariskan Nyimpang, saya operasi. Setelahnya tentu saja banyak yang terjadi. Bongkar-pasang anggota, edit-edit tulisan yang macam-macam, dipundungin kontributor karena saya terang-terangan komentarin tulisannya jelek dan kelewat sampah, dan banyak hal lain yang pianjingeun.
Meskipun begitu, saya tetap garap Nyimpang dengan tulus *preeet. Eh, serius. Farid mungkin alasan utama saya buat terus-terusan di sini. Begini, hidup saya sempat berada di titik terendah sekitar tahun 2019 akhir, dan Farid adalah orang yang paling banyak menyelamatkan saya di waktu-waktu itu. Apapun bentuknya. Bahkan sampai saya hilang dan balik lagi 3 tahun kemudian, Farid masih menerima saya.
Setelah saya betul-betul stabil dan diwariskan Nyimpang, Farid lalu meminta saya untuk membuka Instagram yang sebelumnya di-private.
Duh anyg hoream!
Saya bukan nasabah pinjol, tapi saya dari dulu emang se-private itu. Bukan mau sok misterius, justru saya sadar saya terlalu frontal, dan saya gak nyaman ‘dilihat’ banyak orang, makanya saya private Instagram saya, dan tapi ya ini gueee gitu. Saya gak akan biarin orang yang gak pernah nongkrong sama saya bisa lihat foto-foto saya, wajah pasangan saya, kehidupan saya, ya gitu lah. Lalu seenak jidat Farid meminta saya buat buka Instagram hanya karena “Instagram kamu teh kurang Pemred, euy.“
Awalnya saya malas, bete, kesal dengan omongan Farid, tapi ke sini-sini saya baru ngerti alasannya dan tentu jha merasakan dampaknya. Akhirnya, saya bisa nyaman dengan saya dan media sosial saya yang sekarang, da masih ada fitur close friend ini xixi.
100 Penulis
Program ini diinisiasi Farid setelah dapat wahyu dari Tuhan. Gak tahu tah dapat wahyunya pas Rebo Weton apa Jumat Kliwon. Intinya, dia tahu teman-teman di Purwasuka punya potensi, dan udah bukan waktunya lagi minder sama Bandung, Jakarta, dan Jogja. Kalian tahu kan, Farid merasa dirinya H. B. Jassin?
Program 100 Penulis juga dibentuk berdasarkan kesakit hatian Farid melihat kawan-kawan yang aktif menulis tapi tetap gak punya uang (seperti saya). Bukan rahasia lagi, sastrawan dan seniman kecil seperti kita punya masalah umum yang sama dan itu-itu aja: miskin. Untuk menghasilkan 1 lukisan aja, seorang pelukis harus punya kanvas, cat, dan kuas. Kalau pelukis itu saya, maka 1 hari ia harus punya sebungkus rokok, minimal Garpit. Nah, yang dibutuhkan penulis untuk memproduksi tulisannya tentu saja ISBN, layout, dan ilustrasi. Kami sadar gak semua orang bahkan punya biaya untuk ongkos cetak atau katakanlah ongkos produksinya.
Iya, kan? Padahal kebutuhan tuh bukan cuma untuk ongkos produksi aja. Token listrik, bensin, BPJS, biaya naninu blau-blau. Gak usahlah pura-pura tutup mata, saya masih hidup sampai sekarang aja karena saya kerja di luar nulis buku. Gak ada dinas atau ekraf yang peduli seniman mau makan apa. Pedulinya dana CSR dan “Oke mau ngadain acara apa, sok saya nitip logo.” Gitu, kan?
Mulailah kami panitia (saya, Sidik, dan Farid) menjalankan program 100 penulis ini. Tentu aja banyak capeknya karena kami harus berupaya sabar buat:
Ngelayanin orang yang aktif nanya dan heboh nge-DM padahal jawabannya udah ada di postingan;
Ngeladenin orang yang malah curcol tapi draft bukunya belum ada;
Ngeladenin orang dengan mental ngartis yang bisanya NATO;
Nyabarin orang yang minta validasi dan pengen dibilang tulisannya bagus tapi draft aja belum beres;
Nagih tulisan ke penulis yang bukunya udah terbit tapi gak kontribusi buat situs.
Jujur saja hal itu memuakkan buat saya. Saya tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang lain di luar circle saya, bahkan butuh waktu kurang lebih setahun buat saya bisa bekerja dan ngobrol sama Sidik yang udah jelas ada di Nyimpang. Berbicara soal mendukung. Iya, memang betul saya suka meng-embrace orang lain, tapi saya baru sampai di tahap meng-embrace orang-orang yang secara lahiriah memang ada di sekitar saya.
Namun lagi-lagi, saya harus ingat betul. Ini program diinisiasi untuk bantu teman-teman, bantu pegiat literasi. Demi fokus ke program 100 Penulis, Farid merekrut Fredel dan Regi untuk bantu saya mengurus konten di situs. Hasilnya? tensi saya naik 2x lipat. Ini murni masalah saya. Saya tidak terbiasa bekerja dengan orang lain. Saya terbiasa mengerjakan semuanya sendiri karena saya gak pandai komunikasi. Tapi balik lagi, saya harus ingat apa tujuan Nyimpang: bantu teman-teman. Secara gak langsung, mungkin Nyimpang bantu Regi atau Fredel meskipun hanya berapa rupiah dalam sebulan, dan itu bisa jadi sangat berharga, kan?
Melanjutkan ke proses 100 Penulis, masalah baru selalu muncul. Mulai dari ISBN bermasalah, cover gak cocok, ganti ini-itu, ditelpon dan terus-terusan diganggu di luar jam kerja, ketidak sabaran buat diorbitkan, dan hal-hal yang sangat melelahkan buat personal saya sendiri. Semuanya sangat menguras tenaga saya di luar kerja saya di kantor, rumah tangga, jadwal liburan, nulis, dan jadwal posting saya.
Bayangkan betapa lelahnya Sidik tiap hari harus kena omelan saya. Tapi lagi-lagi, kami adalah tim kecil yang mungkin belum bisa bantu kamu wujudkan ambisi dan goalsmu yang besar blau-blau itu, tapi perlahan kami coba bantu, kok. Berurusan dengan orang lain itu memang gak mudah, dan lewat tulisan ini saya mau bilang: sabar, ya. Kami sedang berusaha.
Kalau pembaca adalah orang yang belum punya draft tapi ingin nerbitin, kamu bisa selesaikan dulu draftmu, lalu klik Sign Up di profil Instagram @nyimpangdotcom kalau sudah, harap bersabar menunggu antrian, ya!
Support Local
Menjadi panitia Nyimpang pada akhirnya mewajibkan saya untuk berinteraksi dengan masyarakat indie Purwakarta tanpa Farid. Tanpa Farid. Itu yang awalnya sulit buat saya. Jelas, dulu saya ke mana-mana ngekor Farid, kok. Lalu Farid ngenalin saya ke Eza si paling artsy itu, dan kalian semua tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Sebetulnya diskursus support local bukan hal yang baru buat kita semua, tapi siapa sih yang gak gedeg kalau ngomongin folks, pasti Bandung lagi. Jakarta lagi. Jogja lagi. Purwakarta juga punya padahal. Itu lah yang bikin kami berpikir bahwa support local tuh penting.
Anggaplah kamu sanggup nonton Coldplay, tapi giliran ada gigs yang dibintangi temen sendiri, tiketnya aja gak beli. Terus? Kamu merasa keren? Tidak, sobat~ Ya tapi bukan berarti kalau nonton Coldplay gak support local ya gak gitu juga. Tapi sadar gak, sih? Budaya-budaya ‘gak beli tiket’ atau ‘penonton ilegal’ tuh sebetulnya habit jelek.
Teman-teman, acara kolektif literasi, kolektif musik, sampai pameran lukisan pun memerlukan dana untuk gelarannya. Entah itu konsumsi buat nyuguhin pembicara lah, sound lah, atau nyewa panel.
Kalau dipikir lagi, fenomena mengeluarkan duit belanja di IKEA/ACE emang lebih nge-hype daripada jalan ke Plered buat beli keramik. Ya, jelas dong. Kan yang punya modal untuk bangun toko dan sewa lahan ya perusahaan-perusahaan itu.
Maka dari itu, kami mencoba untuk membiasakan budaya ticketing untuk acara-acara diskusi. Bukan mencoba mencari peruntungan, untuk perkara finansial, kami semua realistis dan ngerti kok, kalau mau bertahan hidup ya jangan di ruang kolektif. Saya gondok bukan main ketika ada yang bilang buku Nyimpang apa gak kemahalan 75ribu?! ya menurut ngana ngedit, layout, sama ilustrasi tuh gratis?!
Sudahilah budaya teu ngahargaan, sebab semua kerja itu membutuhkan energi, energi itu dari makanan, dan makanan dibeli pakai uang. Kalau tulisanmu dijual juga kamu pasti berhak dapat royalti, kok.
Kami tahu kerja-kerja kebudayaan dan kerja-kerja kolektif itu melelahkan, tapi kami berjuang, kok. Semangat, ya *nyemangatin diri sendiri* 🙁
Terakhir, seperti yang Arireza selalu bilang: dukung terus pegiat literasi dan seniman lokal Purwasuka<3
Hahahaaa