Angin pantai bertiup lembut sore itu. Terlihat di atas karang di bibir pantai, seorang perempuan duduk sendirian. Tangannya menyilang memangku lututnya, ia menatap kosong ke lautan lepas yang tak terlihat ujungnya.
Senja kemerahan yang mewarnai langit nampak seperti gambaran luka yang berdarah pada hati perempuan itu. Perasaan sedih, marah, dan kecewa bercampur aduk setelah semua kehilangan yang dialami.
“Tuhan tidak adil!” ketusnya pelan.
“Mengapa kau membuatku membunuh kekasihku sendiri, Tuhan?!” Ia berteriak dengan mata berkaca menghadap langit.
Hari itu adalah hari yang paling menyedihkan bagi perempuan itu. Ia Siren, seorang dewi yang ditugaskan menjaga laut oleh Tuhan. Namun nahas, untuk memenuhi tugasnya, ia harus membunuh kekasihnya sendiri.
“Aku sudah memenuhi apa maumu!” tegas Shiren dengan perasaan marah.
“Jika kau tidak bisa memberiku keadilan, izinkan aku melepas kewajiban ini dan mati tenggelam bersama kekasihku!” lanjut ia sambil berdiri tegas dengan mata menghadap langit.
***
“Mengapa kau suka hujan, Nelayan?” tanya Siren
“Kenapa, ya? Mungkin karena kesedihanku tak cukup deras untuk menangisi atas apa yang terjadi dalam hidupku.” jawab Nelayan sambil sesekali bepikir.
“Bagiku, hujan adalah rasa perhatian alam terhadap kesedihanku sendiri. Kapanpun ada deras hujan dan aku menangis kencang, hujan menyembunyikan kesedihanku serapat-rapatnya.” perjelas lelaki itu menatap Siren dengan penuh senyuman.
Pertemuan yang bermakna bagi Siren. Begitu banyak ia saksikan, manusia yang penuh rasa haus akan dirinya sendiri, tamak untuk merenggut apa yang alam berikan. Namun ternyata masih ada seorang pemuda yang baik hati, yang walaupun hidup serba kekurangan, ia tak pernah berusaha untuk memiliki apa yang tidak ia punya.
Pemuda itu adalah seorang nelayan yang tidak yang menangkap ikan tanpa meracuni laut ataupun membuat perangkap besar yang merusak karang, atau hal lainnya yang membuat Siren kesal dan marah. Pemuda itu berbeda.
Di tepi pantai itu, lama sekali mereka bercakap. Setelahnya, mereka pun berjalan beriringan menyusuri sepanjang pantai. Bercakap dan saling bertukar pendapat.
“Ah, begiitu lembut hatinya, aku kagum ia tak pernah mengeluh dengan keadaannya.” ucap Siren dalam hati.
“Hidup terlalu menyesakkan untuk digunakan memikirkan apa yang kita belum punya, bukan?” ucap lelaki nelayan yang bernama Ajo itu.
“Iya Jo, aku sepakat!” tegas Siren.
“Tapi, tak mungkinkan setiap apa yang terjadi dalam hidup kita, kita takkan memikirkannya?”
“Kau benar! Terkadang ada satu keadaan di mana sepenuhnya kita tak bisa mengelak dari masalah itu. Mungkin terlalu naif, jika aku katakan aku takkan ambil pusing dengan masalah yang terjadi di hidupku. Karena bagaimanapun, walau sedikit, itu juga menjadi beban pikiranku.”
“Tapi, Putri, aku pikir akan jadi terlalu bodoh kalo aku hanya memikirkan masalah yang terjadi di hidupku sampai aku pun lupa atas kenikmatan yang Tuhan telah berikan, seperti contoh kecil dimana aku masih bisa menghirup nafas yang segar ini.” lanjut Ajo kepada Siren sambil tersenyum manis.
Mereka pun bercakap hingga tak terasa hari sudah hampir berakhir.
“Bisakah kita bercakap lagi di lain hari, Ajo?” Siren bertanya penuh harapan.
“Tentu, Putri, aku akan berusaha meluangkan waktuku untuk menemuimu!” tegas Ajo itu meyakinkan.
***
Semenjak pertemuan itu, mereka lebih sering bertemu. Setiap sore di bawah langit pantai yang cerah mereka mengobrol bahkan saling bergurau bersama. Terkadang mereka menaiki sampan atau rakit menyusuri pinggiran laut dan memancing ikan berdua, lalu menyantapnya bersama.
Pada akhirnya lambat laun benih cinta pun muncul diantara mereka. Siren sang penjaga laut pun perlahan mulai melupakan tugasnya. Ia lebih banyak memilih menghabiskan waktu bersama Ajo, nelayan yang ia temuinya itu, ketimbang menjaga lautan. Dikarenakan si Dewi Laut yang sering mabal, kerusakan pun tak terelakkan: banyak karang yang mati karena perangkap, laut yang tercemar, dan ikan-ikan yang mati sia-sia.
Siren sebenarnya tahu kerusakan-kerusakan itu. Namun karena keegoisan cintanya, ia mengabaikan tugasnya itu. Hingga pada suatu sore, ia pun memohon kepada Ajo.
“Ajo, tolong bawa aku pergi dari sini!” ucap Siren dengan mata penuh harapan.
“Maksudmu?” tanya Ajo kebingungan.
“Bawa aku dari laut ini. Aku sudah muak dengan nelayan-nelayan itu, aku ingin lebih bahagia bersamamu. Mereka terlalu banyak menjadi beban buatku!” jelas Siren
“Tapi putri, aku tidak bisa seenaknya begitu! Apa yang akan terjadi nanti pada laut yang indah ini?”
“Aku tidak peduli. Bukankah kau sendiri yang bilang, setiap orang berhak atas dirinya sendiri. Jika memang bisa memilih, aku tidak ingin menjadi dewi. Aku ingin bahagia sebagai seorang manusia!” tegas Siren.
“Aku akan memikirkan kemauanmu. Tunggu aku di pantai selepas senja nanti.” Ajo menjawab seraya membelai rambut Siren.
Ajo pun pergi dan Siren kembali ke laut. Mereka melakukan aktivitas mereka seperti biasa, seolah rencana pelarian itu pun tidak akan terjadi.
Hingga pada malam hari, pada waktu yang telah ditentukan mereka pun kembali bertemu di pantai.
***
Malam itu, Siren menunggu kehadiran Ajo di pantai. angin pantai berhembus lebih dingin dari biasanya. Keadaan pantai sangat sunyi dan gelap, hanya ada cahaya rembulan yang menerangi. Setelah menunggu lumayan lama, Ajo pun datang.
“Putri, ikut denganku secepatnya” tegas Ajo menarik tangan Siren.
Mereka berdua pun menyusuri pantai dan mulai masuk ke dalam pulau. Melewati hutan bakau dan kemudian menyusuri hutan di kaki-kaki gunung pulau itu. Cukup lama mereka berlari berdua, tiba-tiba suara guntur terdengar kencang. Angin laut yang tadi berhembus pelan kini menjadi kencang. Dari jauh, terdengar suara gemuruh dari gunung di pantai itu. Siren yang ditarik tangannya oleh Ajo, tiba-tiba merasa kesakitan di kepala. Ia pun terjatuh lemas.
“Ada apa, Putri? Apa yang terjadi denganmu?”
Siren tak menjawab pertanyaan Ajo. Ia tahu dalam hati, kalo dewi laut tidak ada, musibah seperti ini akan terjadi. Awalnya ia pikir, ia bisa melewati itu dengan kekuatannya. Tapi entah mengapa, ia tak tahu, kepalanya kini kesakitan. Perlahan, suara jeritan nelayan yang tenggelam, karang yang mati, serta ikan yang terbunuh bersahutan di dalam kepalanya.
“Dewi Sialan!”
“Ini tak adil”
“Kau tak pantas pergi setelah apa yang kau lakukan pada kami”
“Setidaknya tuntaskan tugasmu, Sundal!”
Suara-suara itu semakin menggema. Siren duduk tersingkup lemas. Di hadapannya, Ajo kebingungan dan berusaha membangkitkan lagi Siren. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan keadaan yang begitu kalut hingga sampai di satu batu tebing, tiba-tiba Siren terjatuh lagi. suara-suara itu kembali bergema di telinganya.
“Arrrgh!” teriak shiren.
“Putri! Putri! Sadarlah, Putri! Apa yang sebenarnya terjadi!?!” Ajo bertanya setengah berteriak penuh kegelisahan memegang pundak Siren.
Suara-suara itu semakin kencang terdengar. Dari bola mata shiren, tetesan darah mulai bercucuran. Ia seperti menangis darah menahan kesakitan yang ia alami. Rasa sakit kematian nelayan yang ia tenggelamkan. Makhluk laut yang ia abaikan karena keegoisan cintanya. Dalam kesakitan itu, tiba-tiba bola mata shiren seperti tertarik ke atas. Suara itu sudah hilang dari telinganya. Tapi kini shiren seperti merasakan ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sendiri.
Di samping itu, dalam kekacauan, Ajo melihat Siren yang tiba-tiba terdiam dan menatapnya tajam dengan mata merah.
“MATI KAU!” teriak Siren dengan tangan mengangkat seperti mencekik.
Ajo tiba-tiba melayang kesakitan. Tangannya memegang lehernya seperti tercekik.
“Dewi sialan ini tak memenuhi tugasnya dengan benar!” tegas Siren.
“Setidaknya, kau akan ikut kami ke neraka, lelaki bodoh!”
Di bawah tebing air laut tiba-tiba muncul dari dalam tanah. Suara guntur dan hujan bersahutan, petir menyambar dan membakar hutan di pantai itu. Dalam bencana, Siren mencekik ajo sampai mati, dan melemparkannya ke bawah tebing. Dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, air mata pun tumpah.
Siren tertunduk menangis dalam bencana itu. 7 hari waktu berlalu hingga pada akhirnya, bencana pun mereda beriringan dengan air mata Siren yang mengering.
Siren tertunduk dalam diam di atas batu tebing itu. di sekelilingnya yang semula adalah hutan dan pulau kini menjelma lautan. Dan gunung itu hanya serupa tebing yang lebih tinggi yang ia tempati sekarang.
Tatapan Siren kosong ke depan. Di hari itu, tak ada yang ia lakukan selain berdiam tanpa gerakan, ia putus asa. Benar benar putus asa. Ia menyesali atas apa yang telah ia lakukan. Ia tahu, ia begitu mengabaikan tugasnya.
Di hadapan laut yang luas. Siren pun berdiri tegak. Satu tarikan nafas yang sangat dalam ia hembuskan.
Siren pun menjatuhkan diri ke lautan lepas di depannya. Siren terus menenggelamkan diri dan mati dengan senyuman.