Hi, aku Arif.
Setelah lama aku merasa patah dari hati yang rapuh, hingga berpasrah, dan berupaya mampu mengendalikan diri, akhirnya aku kembali menemukan cinta. Hari itu Sabtu-malam Minggu, malam dimana muda-mudi bergelora dengan cintanya mereka, dan ya, pada jumpa pertama, aku menemukan kembali cinta yang lama sekali tak pernah kurasa.
Tegur sapa tanpa banyak bicara, di suatu kedai kopi, sebelum senja tenggelam. Kutemukan namanya yang cantik, begitu cantik. Biasa saja, tanpa rasa berlebih, aku mengenalnya. Sebab pada hari aku berjumpa, aku tak pernah berpikir apa-apa. Sederhana saja: baik, cantik, dan ya sudah.
Senja tenggelam seketika, magrib berkumandang, dan sama sekali tak ada perbincangan hangat. Suasana sangat dingin malam itu. Ya karena aku memang tidak percaya diri saja. Hingga saatnya tiba, ia bergegas pergi ke tempat lain, dan setelahnya ya sudah hanya berpamitan.
Bergumam karena tidak percaya diri ternyata sangat mengganggu. Namun tak lama, kubuka gawai dan aku memantau social media-nya. Aku follow dan ya tak ada harapan apapun. Tak lama, ia pun kembali mengikuti akunku.
Setelahnya, tak ada pertemuan, tak ada percakapan. Kami saling melirik kegiatan satu sama lain. Ya, mungkin ia pun melirik atau hanya sekadar swipe story. Banyak sekali kegiatan yang ia jalani, dan terkagum-kagumlah aku di sana. Tidak ada percakapan melalui direct message yang seharusnya kubangun itu.
Setelah jauh dari hari itu, aku memulai untuk membuka percakapan dengannya reply story postingan acara yang akan ia jalani. Singkat saja, aku mengirim pesan: mantap. Tak lama setelahnya, ia membalas pesanku dengan ajakan untuk datang ke sana, namun sangat disayangkan kami sedang terpisah antarkota.
Satu ketika, percakapan semakin hangat setelah dering telepon masuk pada jam 3 pagi kala itu. Ia, seketika menelponku, tanpa aba-aba, tanpa isyarat, dan percakapan itu terjadi begitu saja hingga muazin mengumandangkan azan subuh. Hingga pedagang-pedagang menyiapkan dagangannya, dan ayam berkokok begitu keras. Fajar semakin menghangatkan suasana percakapan panjang itu.
“Halo, kamu belum tidur? Aku gak apa-apa telepon kamu? Aku belum bisa tidur …
Sapaannya kala itu, lembut suaranya yang sangat terbayang. Membawa gejolak asmara yang begitu berapi-api. Ya, terdengar klasik, tapi memang begitu adanya. Tak kusangka, percakapan yang kukira akan biasa saja, ternyata sedikit membuahkan hasil yang baik. Pada akhirnya kami saling mengenal.
Setelahnya, kami terhanyut pada percakapan dan sapaan-sapaan hangat. Kami saling melontarkan perhatian, ditambah setiap malam menuju pagi buta, kami selalu bertukar cerita. Sesekali, ia memberikan kabar kesibukannya, pun begitu denganku.
Satu hari kami kembali bertemu, pada kegiatan yang sama. Ia menemaniku di hari pertama, dan hari kedua berbalik aku menemaninya. Aku rasa, kedekatan kami sangat hangat pada momen-momen itu, bak kekasih yang baru saja menemukan cintanya, aku merasa gembira, betul-betul gembira. Dalam setiap perjalanan, kami menceritakan kesukaan-kesukaan yang ternyata hampir sama. Satu diantaranya adalah kesamaan kami menyukai musik yang sedang didengarkan. Aku merasakan suasana yang semakin hangat. Pada dekap tubuhnya, pada rambut yang menjulur panjang, pada suara lembutnya, pada gumpal pipinya, dan ya aku mengingat satu lirik dari penyanyi yang sama-sama kami sukai. Sal Priadi, pada lagunya ”Bulan Yang Baik”, aku menyertai liriknya:
“Dengan kekuatan bulan yang paling baik, harapanku besar dunia kembali asyik, lari ke hadapan orang yang kusayang, Tuhan bolehkah ini yang aku perjuangkan?”
Setelahnya, kami hanyut dalam hangat yang begitu lekat.