

Seperti film Avengers: premisnya sama, hanya ditambah member saja. Konsepnya seperti yang iya melawan tambang, tapi ujung-ujungnya film Amerika-sentris lagi. Huft. Capek.
Saya lupa kapan pertama kali menonton Now You See Me dan/atau siapa yang membuat saya menonton Now You See Me, yang jelas, saya menikmati menonton film pertamanya. Ah! Yang jelas dan pasti, saya menonton film ini sebelum mendapat mata kuliah Apresiasi Film, karena saya tidak ingat mengomentari dan mengulang-ulang film ini untuk diulas secara serius.
Untuk seseorang yang dikenali dunia magic dari zaman Rommy Rafael, Deddy Corbuzier dengan gaya rambut vampir Cina, dan Joe Sandy, menonton film ini tentu merupakan sebuah kesegaran dan gerbang “dunia pengetahuan” untuk ke luar dari jebakan kebodohan saya pada ilmu sihir di masanya.
Meskipun pada waktu dulu, di Global TV juga muncul acara (di atas jam 9 malam) yang membongkar trik-trik pesulap. Pembongkar tentu saja pesulap bertopeng hitam motif zebra. Ya, Pesulap Merah mungkin terinspirasi dari tayangan ini mungkin ya.
Yang jelas, jika ada sesuatu yang bisa membuat saya mendalami sejarah sihir dan mejik-mejik tentu saja saya akan membacanya, karena saya juga penasaran soal penyihir-penyihir Fir’aun pada masa-masa Musa. Tunggu, pesulap dan penyihir apakah sama? mari kita cari tahu nanti.
Ah, omong-omong, di film pertamanya, Now You See Me hadir dengan animasi-animasi dan filosofi The Eye (selanjutnya filosofi itu membentuk The Horsemen) yang menjadi semacam “White Lotus“-nya para pesulap. Dalam animasi “The Eye” yang ditampilkan sejak dari film pertamanya, saya langsung teringat slogan,
“You’re all caught up.” di Instagram setiap kali kita habis doomscrolling. Belakangan, saya sedang membaca Careless People, memoar seorang mantan petinggi Facebook yang kemudian menjadi penulis nomor 1 di New York Best seller karena memoarnya menguliti Facebook (sekarang Meta) habis-habisan.
Saya yang sejak kencan dengan Ragil mendadak menjadi 100% menutup privasi dan wajah saya di medsos untuk urusan personal pun sangat yakin bahwa memang setiap gerik kita selalu di awasi dan di”mata-mata”i. Jujur saja, saya sedikit takut. Terlebih, saya orang yang menggandrungi teori konspirasi Illuminati. Hihi.
Kisah diawali dengan *membaca dengan nada IQ7* ketiga pesulap muda yang nge-fans berat dengan The Horsemen, dan selalu melakukan aksi dengan tekonolooojia (AI tentu saja) yang membuat seolah-olah pertunjukkan itu dibuat oleh The Horsemen.
Bukan tanpa alasan, tentu saja selain mengidolakan The Horsemen yang kini sudah bubar dan berjalan masing-masing, ketiga pemuda bernama Charlie, Bosco, dan June ini berasal dari masyarakat kelas bawah yang muak dengan orang-orang tajir yang culas.
Sama seperti idolanya, para pemuda ini selalu membagikan “doorprize” secara cuma-cuma kepada para hadirin berupa nominal di rekening hasil “rampokan” alias hacking.
Nyatanya, setiap kali melakukan pertunjukkan yang membuat The Horsemen seolah-olah masih aktif manggung membuat The Horsemen sering disatroni polisi. Hal ini pun membuat Henley (pesulap eskapisme di film Now You See Me pertama) kembali muncul membawa jawaban.
“Memangnya selama ini Henley ke mana?”
Singkat saja, Henley ternyata sudah berkeluarga dan menikmati kehidupan barunya. Kemudian, muncul juga para senior The Horsemen yang lain. Mereka mengaku mendapatkan kartu (yang dalam universe film ini berarti adalah sebuah misi).
Seketika, penuh lah satu layar dengan 7 pesulap jalanan heroik itu. Di titik ini lah saya merasa Hollywood kelewatan. Agak gimana, ya?
Kesannya, semuanya jadi harus “reunited” demi memenuhi standar cinematic universe yang serakah itu aja, gitu. Tidak ada urgensi yang benar-benar “Wow.”
Tapi ya, bukan kah selalu begitu film-film ini? Seperti Bad Boys misal.
Kemudian tentu saja, The Horsemen harus kembali dipertemukan demi satu alasan klasik film Amerika: menyelamatkan dunia dari korporasi jahat yang basisnya Amerika-Amerika juga. Ah! Dasar aseng!
Saking Amerikanya, negara-negara lain cuma jadi latar belakang eksotis yang muncul sebagai background dan tempat persembunyian para pesulap nakal itu za.
Misinya kali ini dinarasikan seolah-olah misi “paling” berbahaya dan menjadikan perusahaan tambang (precious stone) milik mantan penjahat Nazi sebagai dalangnya. Ah, ya. Tentu saja basi.
Mengambil latar tambang di Afrika Selatan, si pewaris tunggal perempuan bernama Veronika ini digambarkan punya gurita bisnis yang menjanjikan. Di ceritanya (yang sama dengan realita), ia merupakan seorang pebisnis multisektor yang memainkan peran dan menggunakan uangnya untuk kejahatan-kejahatan struktural lain seperti perakitan senjata perang, dan deforestasi di negara-negara berkembang. Wakwaw.
Ya, intinya seperti itu lah.
Henley dan Lula yang Hanya Digambarkan sebagai Pemanis Saja
Henley dan Lula, yang setelah bertahun-tahun hidup damai, ternyata masih harus join ketika plot membutuhkan perempuan kuat dan unique, tapi sayangnya, karakter keduanya tak cukup dikembangkan. Karakterisasi June saya rasa cukup untuk menahan kebebalan dan arogansi Daniel dan Jack sebagai “legenda”.
Veronika? Tak ada alasan tak membenci Veronika. Kadang memang ada perempuan-perempuan overpower di negara ini seperti Veronika, dan kita semua tahu siapa orangnya. Cukup sebutkan dalam hati saja tapi: Puan Maharani.
Saya cukup puas dengan Veronika dan June, tapi Henley dan Lula? Oh come on! Put more spotlight on them!
Jangan gantungkan saya tentang Henley dan Lula yang saling mengenal! Jangan asal bikin line tapi gak dikasih kedalaman emosional memadai ya ini tolong ini siapa script-writernya?!
Lagipula, ke mana kembarannya Meritt?!
Narasi Nanggung, Thaddeus Dimatikan, dan Dylan Tiba-Tiba VC
Thaddeus muncul karena dapat kartu juga tapi mati, lalu Dylan yang sejak awal ini diceritakan di penjara di Rusia tiba-tiba VC di akhir filmnya. 🙁
Film ini sebenarnya punya potensi besar melalui narasi perlawanan kelasnya yang sekarang makin sering digaungkan dan bisa jadi merupakan inovasi bentuk perlawanan politik dari seniman sulap.
Tapi eksekusinya itu loh astaga. Saya sudah bosan menjalani plot yang sama untuk semua film sebelumnya. Malah, dengan munculnya banyak aktor di sini membuat saya merasa film ini “terlalu mahal HPP”nya.
The Horsemen ini, mau sejenius apa pun konsepnya, akhirnya tidak lebih dari mockingan sistem “bisnis” raksasa yang, ironisnya, Amerika sendirilah dalangnya.
Akhirnya, perjalanan The Horsemen dan tiga anggota barunya ini kembali ditarik menuju satu klimaks yang tentu saja, di tangan Hollywood, harus berakhir dengan kemenangan idealis ala Amerika. Percis seperti film sebelumnya.
Kejahatan dibongkar dan ditayangkan live. Ah! Antiklimaks nih, Bos!
Akhirul kalam, saya gak bilang film ini buruk karena saya juga menikmatinya, tapi cenderung biasa dan gak sebagus kedua film sebelumnya. Se-simple itu.
Kalau boleh jujur, saya ingin film ini memberi saya sesuatu yang baru trik sulap menumbuhkan rambut di kepala Bahlil yang sudah mengalami deforestasi, misalnya?
Sebagai penonton yang tumbuh dengan Rommy Rafael, Deddy Corbuzier dengan style rambut vampir Cina, dan Joe Sandy, saya kira saya akan masuk bioskop dan ke luar nonton dengan sparks yang sama seperti yang saya dapat di film pertama dan keduanya, tapi malah kecewa. Heu.
Tapi gakpapa, meskipun kecewa, saya tetap menghargai upaya. Mwah!